عن ابن عباس سمع عمر رضي الله عنه يقول على المنبر سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول لا تطروني كما أطرت النصارى بن مريم فإنما أنا عبده فقولوا عبد الله ورسوله Dari Ibnu Abbas, dia mendengat Umar berkata di atas mimbar, “Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian terlalu berlebih-lebihan kepadaku sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan kepada Isa bin Maryam, sesunggunhya aku hanyalah seorang hamba Allah maka katakanlah hamba Allah dan RasulNya” HR Al-Bukhari no 3445, 6830 Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah” menunjukan bahwa beliau hanyalah manusia biasa, demikian juga para nabi yang lain. Oleh karena itu para nabi makan, minum, beristri, memiliki keturunan, mereka juga ditimpa dengan penyakit, mereka meninggal, bahkan ada di antara mereka yang dibunuh. · Dalil-dalil yang menunjukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang manusia sangat banyak, di antaranya: (ُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ﴾ (الكهف: من الآية110) (قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَراً رَسُولاً﴾ (الاسراء:93) Katakanlah:”Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul” (QS. 17:93). Kedua ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada umatnya bahwa dia adalah seorang manusia biasa seperti mereka (وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً﴾ (الفرقان:7) Berkata Ibnu Katsir, “Allah mengabarkan tentang keras kepalanya orang-orang kafir dan pembangkangan mereka serta pendustaan mereka terhadap kebenaran tanpa hujjah dan dalil dari mereka. Mereka hanya bisa beralasan (untuk mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan perkataan mereka, “Mengapa ada Rasul yang makan makanan sebagaimana kami juga memakan makanan dan ia membutuhkan makanan sebagaimana kami, dan ia berjalan di pasar yaitu dia bolak-balik ke pasar dalam rangka mencari penghasilan dan untuk berdagang” Ayat ini jelas menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti manusia yang lainnya, tidak sebagaimana perkataan sebagian orang yang mengatakan bahwa tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terang mengeluarkan cahaya sehingga beliau tidak memiliki bayangan karena cahaya matahari terpantul terkena cahaya tubuh beliau. Bantahan akan hal ini sebagai berikut: – Kalau seandainya demikian tentunya orang-orang kafir akan langsung beriman karena melihat cahaya tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah manusia biasa. Namun kenyataannya mereka mendustakan kerasulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada bedanya dengan mereka sama-sama manusia, sebagaimana hal ini juga dikatakan kepada nabi-nabi terdahulu (قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ) – Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di payungi tatkala melempar jumroh Aqobah عن يحيى بن الحصين عن أم الحصين جدته قالت حججت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم حجة الوداع فرأيت أسامة وبلالا وأحدهما آخذ بخطام ناقة النبي صلى الله عليه وسلم والآخر رافع ثوبه يستره من الحر (و في رواية: من الشمس) حتى رمى جمرة العقبة Dari Yahya bin Al-Hushoin dari nenek beliau Ummul Hushoin, ia berkata, “Aku berhaji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu haji wada’ maka aku melihat Usamah dan Bilal, salah satu dari mereka berdua memegang kendali unta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya mengangkat bajunya menutupi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena panas (dalam riwayat yang lain[1] : karena matahari) hingga Nabi selesai melempar jumroh Aqobah”[2] Kalau memang tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercahaya sehingga cahaya matahari terpantul dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki bayangan tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak butuh untuk dipayungi karena ia tidak akan merasa kepanasan karena terik matahari. – Kisah ‘Aisyah yang berbaring di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau sholat. عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها قالت كنت أنام بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجلاي في قبلته فإذا سجد غمزني فقبضت رجلي فإذا قام بسطتهما قالت والبيوت يومئذ ليس فيها مصابيح Dari ‘Aisyah Istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Saya tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di kiblatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu ditempat sujud beliau). Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud maka beliau memegangku maka akupun melipat kedua kakiku, dan jika ia telah berdiri maka aku kembali menjulurkan kedua kakiku”. Aisyah berkata, “Pada waktu itu rumah-rumah belum ada lampunya”[3] Berkata Imam An-Nawawi mengomentari perkataan Aisyah “Pada waktu itu rumah-rumah belum ada lampunya”, “Aisyah menyampaikan alasannya, ia berkata “Seandainya jika di rumah-rumah ada lampunya maka aku sudah melipat kedua kakiku tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak sujud sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak butuh untuk menyentuhku (mengisyaratkan kepadaku bahwa ia ingin sujud)”[4]. Hadits ini jelas sekali menunjukkan bahwa tubuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengeluarkan cahaya, karena kalau mengeluarkan cahaya tentunya ‘Aisyah tidak butuh lagi terhadap lampu. (وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيراً﴾ (الفرقان:20) (وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً ﴾(الرعد:38) (إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ﴾ (الزمر:30) ( وَقَتْلَهُمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ﴾ (آل عمران: من الآية181) ﴿ وَقَتْلِهِمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ﴾ (النساء: من الآية155)
· Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui ilmu goib (kecuali sebagian ilmu goib yang Allah kabarkan kepadanya), diantara dalil-dalil akan hal ini: قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ Katakanlah:”Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. 27:65) (إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴾ (لقمان:34) عن الرُّبَيِّعِ بنت مُعَوِّذٍ قالت دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم غداةَ بُنِيَ عَلَيَّ فجلس على فراشي كمَجْلََِسِك مني وجُوَيْرِيَات يضربن بالدف يندُبْنَ من قتل من آبائهن يوم بدر حتى قالت جارية وفينا نبي يعلم ما في غد فقال النبي صلى الله عليه وسلم لا تقولي هكذا وقولي ما كنت تقولين Dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuiku di pagi hari dimana aku diserahkan[5] kepada suamiku, lalu ia duduk di tempat tidurku ini sebagaimana engkau (Kholid bin Dzakwan)[6] duduk dihadapanku sekarang, dan anak-anak wanita kecil sedang menandungkan sya’ir-sya’ir yang berisi pujian-pujian terhadap bapak-bapak mereka yang meninggal pada waktu perang Badar hingga ada salah seorang anak yang berkata, “Dan bersama kami seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepada anak itu, “Janganlah engkau berucap demikian, ucapkanlah apa yang tadi telah engkau ucapkan (yaitu sya’ir-sya’ir yang berisi puji-pujian)”[7] (قُُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلا ضَرّاً إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ﴾(لأعراف:188) Katakanlah:”Aku tidak berkuasa menarik kemanfa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (QS. 7:188) Oleh karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa datang maka beliaupun ditimpa dengan kemudhorotan. Di antaranya beliau memakan kambing yang merupakan hadiah dari seorang wanita yahudi yang diberi racun. أن يهودية من أهل خيبر سمت شاة مصلية ثم أهدتها لرسول الله صلى الله عليه وسلم فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم الذراع فأكل منها وأكل رهط من أصحابه معه ثم قال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم ارفعوا أيديكم وأرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى اليهودية فدعاها فقال لها أسممت هذه الشاة قالت اليهودية من أخبرك قال أخبرتني هذه في يدي للذراع قالت نعم قال فما أردت إلى ذلك قالت قلت إن كان نبيا فلن يضره وإن لم يكن استرحنا منه فعفا عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يعاقبها وتوفي بعض أصحابه الذين أكلوا من الشاة وأحتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم على كاهله من أجل الذي أكل من الشاة حجمه أبو هند بالقرن والشفرة وهو مولى لبني بياضة من الأنصار Dari Jabir bin Abdillah bahwasanya ada seorang wanita yahudi dari penduduk Khaibar meletakkan racun pada kambing pangang kemudian menghadiahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil paha kambing tersebut dan memakannya. Sekelompok sahabat (kurang dari 10 orang) ikut memakan kambing beracun tersebut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian (tatkala sedang makan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka, “Angkat tangan-tangan kalian (yaitu berhenti makan)!”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada wanita yahudi tersebut untuk memanggilnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada wanita itu, “Apakah engkau meletakkan racun pada kambing ini?”, wanita tersebut berkata, “Siapakah yang mengabarkanmu?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Paha kambing ini yang mengabarkan aku”. Wanita itu berkata, “Iya (akulah meletakkan racun)”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang engkau kehendaki?”, wanita itu berkata, “Aku berkata seandainya orang ini (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah seorang Nabi maka racun ini tidak akan membahayakannya, dan jika ia bukan seorang nabi maka kami akan beristirahat darinya (karena akan mati setelah teracuni)”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkan wanita tersebut dan tidak menghukumnya. Sebagian sahabat yang ikut memakan kambing beracun itu meninggal. Aku membekam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bagian atas punggung beliau karena racun yang dimakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan Abu Hind (seorang budak milik bani Bayadhoh dari kaum Ansor) membekam Rasulullah di tempat yang bernama Al-Qorn dengan menggunakan pisau yang lebar”[8] ‘Ikrimah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan ia dalam keadaan muhrim karena memakan kambing beracun yang berasal dari seorang wanita. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih terus merasakan sakitnya” As-Sunan Al-Kubro 4/377 Hadits ini jelas menunjukan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, jangankan besok hari bahkan satu detik di masa depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu apa yang akan terjadi. Kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu mestinya dia tidak akan memasukkan secuil dagingpun dalam mulut beliau, apalagi sampai membiarkan sebagian para sahabatnya meninggal karena memakan kambing beracun tersebut. Contoh yang lain adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terluka tatkala perang Uhud. عن سهل قال لما كسرت بيضة النبي صلى الله عليه وسلم على رأسه وأدمي وجهه وكسرت رباعيته وكان علي يختلف بالماء في المجن وكانت فاطمة تغسله فلما رأت الدم يزيد على الماء كثرة عمدت إلى حصير فأحرقتها وألصقتها على جرحه فرقأ الدم Dari Sahl –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, “Tatkala pecah pelindung kepala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajah beliau berdarah dan pecah gigi seri beliau Ali bolak-balik mengambil air dengan menggunakan perisai (sebagai wadah air) dan Fatimah mencuci darah yang ada di wajah beliau. Tatkala Fatimah melihat darah semakin banyak lebih daripada airnya maka Fatimahpun mengambil hasir (yaitu tikar yang terbuat dari daun) lalu diapun merobeknya dan menempelkan robekan tersebut pada luka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berhentilah aliran darar” HR Al-Bukhari no 2903 Kalau memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ilmu goib tentunya ia tidak akan terluka demikian parahnya apalagi sampai banyak dari para sahabat yang terbunuh tatkala perang Uhud, karena kalau ia tahu ilmu goib maka ia akan mengetahui siasat apa yang digunakan oleh orang-orang musyrik tatkala perang. Contoh yang lain tatkala Aisyah kehilangan kalungnya tatkala itu ia sedang dalam perjalanan di malam hari bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya (termasuk ayahnya Abu Bakar As-Siddiq). Mereka saat itu tidak memiliki air yang cukup untuk berwudlu kemudian perjalanan terhenti (atas perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) demi untuk mencari kalung Aisyah yang hilang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sebagian para sahabatnya untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang mendatangi Abu Bakar mengeluh atas apa yang terjadi gara-gara Aisyah. Abu Bakarpun mencela Aisyah. Hingga tatkala subuh hari dan tiba waktu sholat mereka mencari air untuk berwudlu namun mereka tidak mendapatkan air maka turunlah ayat tentang bolehnya tayammum. Lihat kisah selengkapnya dalam HR Al-Bukhari no 334 Renungkanlah…jangankan apa yang akan terjadi di masa depan, bahkan apa yang terjadi di masa yang di alami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau juga tidak tahu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu dimana kalung Aisyah yang hilang, bahkan beliau memerintahkan para sahabat untuk mencari kalung tersebut. Kalau beliau mengetahui dimana letak barang hilang (sebagaimana pengakuan sebagian orang-orang yang mengaku-ngaku diri mereka adalah wali) tentunya beliau tidak perlu repot-repot semalaman mencari kalung hilang tersebut. Contoh yang lain, kisah tentang tuduhan terhadap Aisyah bahwa ia telah berbuat serong bersama Sofwan bin Al-Mu’aththil As-Sulami. Kemudian tersebar berita ini di kota Madinah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengetahui hakekat kejadian yang sebenarnya. Beliaupun tidak meminta kepada jin untuk mencari berita. Hingga akhirnya Allah yang memberitahu beliau bahwa berita tersebut tidak benar. Lihat kisah selengkapnya dalam HR Al-Bukhari no 4141 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إني لم أومر أن أنقب قلوب الناس ولا أشق بطونهم عن أسامة قال بعثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في سرية فصبحنا الحرقات من جهينة فأدركت رجلا فقال لا إله إلا الله فطعنته فوقع في نفسي من ذلك فذكرته للنبي صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أقال لا إله إلا الله وقتلته قال قلت يا رسول الله إنما قالها خوفا من السلاح قال أفلا شققت عن قلبه حتى تعلم أقالها أم لا فما زال يكررها علي حتى تمنيت أني أسلمت يومئذ Dari Usamah bin Zaid ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami bersama pasukan kecil maka kamipun menyerang beberapa dusun dari qobilah Juhainah, maka akupun berhadapan dengan seseorang (tatkala dia telah kalah dan akan aku bunuh) dia mengucapkan la ilaha illallah, akupun tetap menikamnya. Namun setelah itu aku merasa tidak enak akan hal itu maka akupun menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah ia mengucapkan la ilha illallah lantas engkau tetap membunuhnya??”. Aku berkata, “Ya Rasulullah, dia mengucapkannya hanya karena takut pedangku!”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mengapa engkau tidak membelah hatinya hingga engkau tahu bahwa dia mengucapkannya karena takut atau tidak!?”. Berkata Usamah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulang-ngulang perkataannya kepadaku itu hingga aku berangan-angan seandainya aku baru masuk Islam saat itu” HR Muslim 1/96 Ibnu Hajar berkata, “Rasulullah berkata, “Mengapa engkau tidak membelah hatinya…” maknanya “Sesungguhnya engkau (wahai Usamah) jika engkau tidak mampu untuk melakukannya maka cukuplah engkau menilai perkataannya” Fathul Bari 12/243 Kisah Usamah ini jelas sekali bahwa para sahabat juga tidak mengetahui hati manusia, karena isi hati manusia adalah termasuk perkara yang ghoib. Oleh karena itu para sahabat tidak mengetahui orang-orang munafik yang menyembunyikan kekafirannya dalam dada mereka. عن أم سلمة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم ألحن بحجته من بعض فمن قضيت له بحق أخيه شيئا بقوله فإنما أقطع له قطعة من النار فلا يأخذها Dari Ummu Salamah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian berselisih di hadapanku, dan bisa jadi sebagian kalian lebih pandai mengungkapkan hujjahnya (argumennya) daripada yang lain. Barangsiapa yang aku memutuskan hukum dengan memberikan sesuatu dari hak milik saudaranya baginya karena kepandaian berbicaranya maka sesungguhnya aku telah memberikannya sebuah bongkahan api maka janganlah ia mengambilnya” HR Al-Bukhari no 2680 Hadits ini sangat jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui isi hati manusia, karena kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya tentu ia tidak akan tertipu dengan kepandaian berbicara seseorang yang berdusta. Dan masih banyak lagi contoh yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui ilmu ghoib. Tidak sebagaimana kumpulan syair (yang bernama Burdah) yang dibuat oleh Al-Bushiri yang terlalu belebih-lebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga akhirnya malah terjatuh dalam kesyirikan. Al-Bushiri berkata dalam syairnya menyeru kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: فإن من جودك الدنيا وضرَّتَها ومن علومك علمَ اللوح والقلم Sesungguhnya diantara kedermawananmu adalah dunia dan akhirat dan diantara ilmumu adalah ilmu lauhil mahfuz dan yang telah dicatat oleh pena (yang mencatat di lauhil mahfuz apa yang akan terjadi hingga hari kiamat) Hal ini jelas merupakan kesyirikan dan menyamakan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Allah. Karena hanya Allahlah yang mengetahui ilmu lauhil mahfuz, pengucap syair ini telah mengangkat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga pada derajat ketuhanan dan ini merupakan kekufuran yang nyata. Berkata Syaikh Utsaimin, “Ibnu Rojab berkata, “Sesungguhnya penyair ini tidak meninggalkan sesuatupun milik Allah, jika dunia dan seisinya serta akhirat adalah merupakan bagian dari kedermawanan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mana bagian Allah?”. Kita bersaksi bahwa orang yang mengucapkan perkataan ini ia tidak bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah, bahkan ia bersaksi bahwa Muhammad lebih tinggi dari Allah, bagaimana ia bisa sampai berlebih-lebihan begini??. Sikap berlebih-lebihan ini lebih parah dari apa yang dilakukan oleh Kaum Nashrani yang mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah dan Allah adalah salah satu dari Tuhan yang tiga”[9] Allah berfirman: (قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرّاً وَلا نَفْعاً إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ﴾ (يونس:49) Katakanlah:”Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah” (QS. 10:49) (قُُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلا ضَرّاً إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ﴾(لأعراف:188) Katakanlah:”Aku tidak berkuasa menarik kemanfa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (QS. 7:188) Dua ayat di atas jelas sekali menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak bisa mendatangkan kemanfaatan bagi dirinya dan tidak bisa mencegah datangnya mudhorot kepadanya karena yang menguasai itu semua hanyalah Allah أن أبا هريرة رضي الله عنه قال قام رسول الله صلى الله عليه وسلم حين أنزل الله عز وجل ﴿وأنذر عشيرتك الأقربين﴾ قال يا معشر قريش -أو كلمة نحوها- اشتروا أنفسكم لا أغني عنكم من الله شيئا يا بني عبد مناف لا أغني عنكم من الله شيئا يا عباس بن عبد المطلب لا أغني عنك من الله شيئا ويا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا ويا فاطمة بنت محمد سليني ما شئت من مالي لا أغني عنك من الله شيئا Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Tatkala Allah menurunkan ayat﴿وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ﴾ “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat!”, (QS. 26:214), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berseru, “Wahai kaum Quraisy – atau perkataan yang mirip ini-, selamatkanlah jiwa kalian sesungguhnya aku tidak bisa menolong kalian sama sekali. Wahai bani Abdu Manaf, aku sama sekali tidak bisa menolong kalian. Wahai Abbas bin Abdilmuttholib, aku tidak bisa menolongmu sama sekali. Wahai Sofiyah bibinya Rasululllah, aku sama sekali tidak bisa menolongmu. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau kehendaki dari hartaku, aku sama sekali tidak bisa menolongmu” HR Al-Bukhari no 4771 Bahkan orang-orang terdekat dari kerabat karib beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bisa mengatakan “Selamatkan jiwa kalian masing-masing sesungguhnya aku sama sekali tidak bisa menolong kalian” Berkata Syaikh Sulaiman bin Abdillah “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak berkuasa menarik kemanfa’atan bagi dirinya dan tidak (pula) menolak kemudharatan dari dirinya dan tidak mampu mencegah adzab Allah yang akan menimpanya jika ia bermaksiat kepada Allah sebagaimana firman Allah (قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ﴾ (الأنعام:15) (الزمر:13 ) Katakanlah:”Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Rabbku” (QS. 6:15) (QS 39:13) maka bagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa memberikan kemanfaatan kepada selainnya dan menolak kemudharatan dari orang lain?, atau mencegah adzab Allah dari orang lain?. Adapun syafaat beliau kepada sebagian para pelaku maksiat (kelak di hari akhirat) adalah atas karunia yang bersumber dari Allah bagi beliau dan bagi para pelaku maksiat tersebut, bukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi syafaat kepada siapa saja yang ia kehendaki dan memasukkan ke surga siapa yang dia kehendaki!!”[10] Oleh karena itu hanyalah kepada Allah karena Dialah satu-satunya yang menguasai kemanfaatan dan kemudharatan. Tidak sebagaimana perkataan Al-Bushiri dalam bait-bait syair “Burdah”nya menyeru kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam يا أكرمَ الخلْقِ ما لِي مَنْ أَلُوْذُ به سِواكَ عند حلولِ الحادثِ العَمَم إن لم تكن في مَعَادِي آخذًا بِيَدِيْ فضلا وإلا فَقُلْ يا زَلَّةَ القَدَمِ Wahai makhluk yang paling mulia tidak ada bagiku tempat untuk bersandar selain engkau tatkala terjadi bencana yang menyeluruh Jika engkau pada hari akhirat kelak tidak mengambil tanganku dengan karuniamu, dan (jika tidak demikian) maka katakanlah wahai yang tergelincir (dalam kebinasaan) Perkataan ini jelas merupakan kesyirikan kepada Allah.[11] Berkata Syaikh Sulaiman, “Sungguh menakjubkan syaitan menghiasi kekufuran dan kesyirikan ini sehingga nampak pada mereka merupakan bentuk cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pengagungan kepadanya dan meneladaninya. Demikanlah pekerjaan syaitan yang terlaknat, dia pasti mencampurkan kebatilan dengan kebenaran agar bisa laris kekufuran dan kesyirikan tersebut…”[12] Bahkan bait-bait ini tidak boleh dibaca sembarangan, namun harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti, harus berwudlu[13], menghadap kiblat, dan yang membacanya harus mengerti apa isi bait-bait tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah buat-buatanya orang-orang sufi yang ingin agar mereka saja yang bisa membaca bait-bait tersebut dengan benar. Apalagi telah nampak sebuah kelompok khusus yang dikenal sebagai pembaca burdah, sehingga sering dipanggil untuk membaca bait-bait burdah ini pada acara-acara selamatan, syukuran, ataupun acara kematian[14] Berkata Syaikh Abdurrahman bin Hasan, “Al-Bushiri mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkara-perkara yang membuatnya marah dan sedih. Kemarahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuncak hanya karena perkara yang dibawah (lebih ringan) dari apa yang dikatakan oleh Al-Bushiri sebagaimana diketahui orang-orang yang berilmu…”[15] Imam As-Syaukani berkata, “Lihatlah bagiamana ia (Al-Bushiri) menafikan semua tempat berlindung kecuali hamba Allah dan Rasul-Nya dan melupakan Tuhannya sendiri dan Tuhannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”[16] Berkata Syaikh Utsaimin, “Sikap berlebih-lebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengantarkan kepada pemyembahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana kenyataan yang terjadi sekarang. Ada orang yang berdoa meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah di sisi kuburan beliau dengan berkata, “Wahai Rasulullah, tolonglah kami, Wahai Rasulullah pertolonganmu, Siramilah kami dengan hujan, wahai Rasulullah negeri kami kering, musim kemarau…” dan demikianlah doa-doa mereka. Bahkan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri seseorang berdoa kepada Allah dibawah mizab ka’bah[17] dengan membelakangi ka’bah dan menghadap ke Madinah karena menurut dia menghadap kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mulia dan lebih afdhol dibanding menghadap kiblat. Na’udzubillah. Sebagian mereka berkata, “Ka’bah lebih afdhol daripada hujroh[18], namun jika Nabi berada dalam hujroh tersebut maka demi Allah ka’bah sama sekali tidak lebih afdhol daripada hujroh, tidak cuma ka’bah bahkan ‘Arsy dan para malaikat yang mengangkat ‘Arsy, tidak juga surga”. Ini merupakan sikap berlebih-lebihan yang tidak diridhoi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kita dan juga bagi dirinya. Yang benar memang jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih afdhol, adapun perkataan hujroh lebih afdhol daripada ka’bah, Arsy, dan surga karena Rasulullah ÷ berada di dalamnya adalah kesalahan yang sangat besar. Semoga Allah menyelamatkan kita dari hal ini” Al-Qoul Mufid 1/372 Firanda Andirja Catatan Kaki: [1] HR Muslim 312 [2] HR Muslim 311, Ahmad (6/402) [3] HR Al-Bukhari no 382, Muslim 262 [4] Al-Minhaj 4/453, Perkataan Aisyah ini menunjukan bahwa beliau tatkala itu tidak tidur pulas, karena jika tidurnya pulas maka ia tidak akan bisa merasakan apa-apa sama saja jika ada lampu di rumah atau tidak ada lampunya (lihat Umdatul Qori 4/114) [5] Yaitu tinggal bersama suaminya setelah sebelumnya masih bersama walinya. Karena terkadang terjadi pernikahan namun sang istri belum langsung tinggal bersama sang suami, sebagaimana pernikahan Aisyah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [6] Yaitu perawi hadits yang meriwayatkan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz [7] HR Al-Bukhari no 4001, 5147 [8] HR Abu Dawud 4/173, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykat Al-Masobiih no 5931 [9] Al-Qoul Mufid 1/69 [10] Taisir Al-‘Azizil Hamid hal 215 [11] Jika mereka yang melantunkan perkataan Bushiri ini berkata, “Maksud dari perkataan Bushiri “Wahai makhluk yang paling mulia tidak ada bagiku tempat untuk bersandar selain engkau tatkala terjadi bencana yang menyeluruh” adalah ia meminta syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah, maka kita katakan, “Perkataan Bushiri “Jika engkau pada hari akhirat kelak tidak mengambil tanganku dengan karuniamu, dan (jika tidak demikian) maka katakanlah wahai yang tergelincir (dalam kebinasaan)” menunjukan bahwa ia meminta langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karunia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?? Padahal syafaat adalah semata-mata karunia Allah yang Allah idzinkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semata-mata milik Allah. Dan meminta syafaat merupakan doa, dan doa adalah ibadah yang sangat agung yang hanya diserahkan kepada Allah. Oleh karena itu semestinya meminta syafaat hanyalah kepada Dzat Yang menguasai seluruh syafaat, yang tidak ada syafaat kecuali dengan idzinNya” Maka perkataan Bushiri ini tidak bisa dipungkiri merupakan kesyirikan yang sangat jelas. (Taisir Al-‘Azizil Hamid hal 183) [12] Taisir Al-‘Azizil Hamid hal 263 [13] Prof DR Syaikh Abdurrozaq menjelasakan bahwa yang sangat menyedihkan banyak sekali kaum muslimin yang mengapalkan bait-bait ini, hingga anak-anakpun ikut menghapalkannya. Barangsiapa yang membaca bait-bait ini dengan syarat harus diatas wudhu, maka tatkala ia berwudhu ia telah terlepas dari hadats kecil, kemudian tatkala ia melantunkan bait-bait burdah karya Al-Bushiri ini maka ia telah kembali berhadats, bukan sekedar hadats kecil, bahkan hadats yang terbesar yaitu kesyirikan dan kekufuran yang terkandung dalam bait-bait tersebut. [14] Lihat muqoddimah diwan Al-Bushiri [15] Ad-Duror As-Sunniah 9/80 dan lihat 9/49,84,193. [16] Ad-Dur An-Nadid hal 26 [17] Mizab yaitu tempat aliran air yang berada di atas ka’bah [18] Hujoh yaitu tempat Nabi ÷ dikuburkan
Katakanlah:”Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku…” (QS 18:110).
Dan mereka berkata:”Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia, (QS. 25:7)
”Mereka menjawab:”Kalian tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kalian tidak lain hanyalah para pendusta belaka”. (QS. 36:15)
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kamu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi yang lain. Sanggupkah kamu bersabar Dan Rabbmu Maha Melihat”. (QS. 25:20)
”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.”. (QS. 13:38)
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)”. (QS. 39:30)
“…dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar..” (QS 3:181, 4:155)
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. 31:34)
“Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk memeriksa isi hati manusia dan membelah perut mereka” HR Al-Bukhari no 4351
· Nabi tidak bisa memberikan kemanfaatan bagi dirinya sendiri dan tidak bisa mencegah kemudhorotan dari dirinya sendiri
www.firanda.com
Home » Posts filed under Aqidah
Berlebih-lebihan Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Hingga Mengangkat Beliau pada Derajat Ketuhanan
Berjihad Melawan Riyaa’
Berkata As-Suusi rahimahullah: الإِخْلاَصُ فَقْدُ رُؤْيَةِ الإِخْلاَصِ، فَإِنَّ مَنْ شَاهَدَ فِي إخْلاَصِهِ الإِخْلاَصَ فَقَدْ احْتَاجَ إِخْلاَصُهُ إِلَى إِخْلاَصٍ Yusuf bin Al-Husain Ar-Roozi rahimahullah berkata : أَعَزُّ شَيْءٍ في الدُّنْيَا الإخْلاَصُ، وَكَمْ أَجْتَهِدُ فِي إِسْقَاط الرِّيَاءِ عَنْ قَلْبِي وَكَأَنَّهُ يَنْبُتُ فِيْهِ عَلَى لَوْنٍ آخَرَ “Perkara yang paling berat di dunia adalah ikhlas, betapa sering aku berijtihad (bersungguh-sungguh) untuk menghilangkan riyaa’ dari hatiku akan tetapi seakan-akan riyaa’ tersebut kembali muncul lagi dalam bentuk yang lain” (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam 42) Untuk berjihad melawan riyaa’ maka dibangun diatas ilmu dan usaha. Adapun ilmu maka ada empat hal yang harus kita renungkan atau kita pikirkan, yaitu : Pertama : Akibat buruk bagi seorang yang riyaa di akhirat Kedua : Akibat buruk bagi orang yang riyaa’ di dunia Ketiga : Merenungkan hakekat oang yang kita harapkan pujiannya. Keempat : Merenungkan hakekat diri kita
Kesudahan orang yang riyaa’ di akhirat: Pertama : Barang siapa yang riyaa’ dan sum’ah di dunia maka di akhirat kelak ia akan dipermalukan oleh Allah di hadapan khalayak ramai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ “Barangsiapa yang memperdengarkan maka Allah akan memperdengarkan tentangnya, dan barangsiapa yang memperlihatkan (riyaa’) maka Allah akan memperlihatkan tentang dia” (HR Al-Bukhari no 6499) Al-Khotthobi berkata, “Maknanya adalah barang siapa yang mengamalkan sebuah amalan tanpa ikhlas, akan tetapi karena ingin dilihat oleh masyarakat dan disebut-sebut oleh mereka maka ia akan dibalas atas perbuatannya tersebut, yaitu Allah akan membongkarnya dan menampakan apa yang dulu disembunyikannya” (Fathul Baari 11/344-345) Al-Mubaarokfuuri berkata, “Barangsiapa yang menjadikan dirinya tersohor dengan kabaikan atau yang lainnya karena kesombongan atau karena riyaa’ maka Allah akan mensohorkannya pada hari kiamat kelak dihadapan khalayak manusia di padang mahsyar dengan membongkar bahwasanya ia adalah orang yang riyaa’ pendusta. Allah mengabarkan kepada manusia riyaa’nya dan sum’ahnya, maka terbongkarlah aibnya di hadapan manusia” (Tuhfatul Ahwazi 4/186). Diantara makna hadits ini sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar adalah : – Barangsiapa yang mengesankan bahwasanya ia telah melakukan suatu amal sholeh padahal ia tidak melakukannya maka Allah akan membongkar kebohongannya tersebut (lihat Fathul Baari 11/337) – Barangsiapa yang beramal dengan mengesankan kepada masyarakat bahwasanya ia adalah orang yang ikhlas namun ternyata beramal karena riyaa’, maka pada hari kiamat kelak Allah akan menunjukan pahala amalannya tersebut seakan-akan pahala amalan tersebut untuknya namun ternyata Allah menghalanginya dari pahala tersebut. (lihat Fathul Baari 11/337) Oleh karenanya para pembaca yang budiman, sebelum kita melakukan riyaa’ maka renungkanlah apakah kita siap untuk dipermalukan oleh Allah pada hari kiamat kelak??!. Kita menampakkan pada guru kita, pada murid-murid kita, pada sahabat-sahabat kita seakan-akan kita selalu beramal karena Allah, ternyata kita hanya menipu mereka, ternyata kita hanya mengharapkan pujian atau penghormatan mereka. Bagaimana jika Allah membongkar busuknya niat kita di hadapan mereka…, tentunya kita sangat dipermalukan. Wall’iyaadzu billah. Kedua : Setelah orang-orang yang riyaa’ dipermalukan oleh Allah di hadapan seluruh manusia di padang mahsyar lantas orang-orang yang riyaa’ itulah yang pertama kali diadzab oleh Allah. Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Aku mendengar Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda: إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ، رَجُلٌ اسْتَشْهَدَ فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَى اسْتَشْهَدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، لَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيْءٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ، وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا فَعَلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، لَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَّادٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ “Sesungguhnya manusia paling pertama yang akan dihisab urusannya pada hari kiamat adalah: Seorang lelaki yang mati syahid, lalu dia didatangkan lalu Allah mengingatkan nikmat-nikmatNya (yang telah diberikan kepadanya-pen) maka diapun mengakuinya. Allah berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat dengan nikat-nikmat tersebut?” dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berfirman, “Kamu berdusta, akan tetapi sebenarnya kamu berperang agar kamu dikatakan pemberani, dan kamu telah dikatakan seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan masuk ke dalam neraka. Dan (orang kedua adalah) seseorang yang mempelajari ilmu (agama), mengajarkannya, dan dia membaca (menghafal) Al-Qur`an. Maka dia didatangkan lalu Allah mengingatkan nikmat-nikmatNya (yang telah diberikan kepadanya -pen) maka diapun mengakuinya. Allah berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat padanya?” dia menjawab, “Aku mempelajari ilmu (agama), mengajarkannya, dan aku membaca Al-Qur`an karena-Mu.” Allah berfirman, “Kamu berdusta, akan tetapi sebenarnya kamu menuntut ilmu agar kamu dikatakan seorang alim dan kamu membaca Al-Qur`an agar dikatakan, “Dia adalah qari`,” dan kamu telah dikatakan seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan masuk ke dalam neraka. Dan (yang ketiga adalah) seseorang yang diberikan keluasan (harta) oleh Allah dan Dia memberikan kepadanya semua jenis harta. Maka dia didatangkan lalu Allah mengingatkan nikmat-nikmatNya (yang telah diberikan kepadanya-pen) maka diapun mengakuinya. Allah berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat padanya?” dia menjawab, “Aku tidak menyisakan satu jalanpun yang Engkau senang kalau seseorang berinfak di situ kecuali aku berinfak di situ untuk-Mu.” Allah berfirman, “Kamu berdusta, akan tetapi sebenarnya kamu melakukan itu agar dikatakan, “Dia adalah orang yang dermawan,” dan kamu telah dikatakan seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan masuk ke dalam neraka.” (HR. Muslim mo. 1905) Nasib orang yang riyaa’ di dunia Pertama : Orang yang riyaa’ senantiasa di atas kegelisahan. Karena amal yang ia kerjakan dibangun di atas mencari pujian orang lain, maka ia akan selalu menderita, baik sebelum beramal, tatkala sedang beramal, maupun setelah beramal. Iapun juga selalu menderita baik dipuji apalagi jika tidak dipuji. Sebelum beramal ia akan gelisah memikirkan amal apa dan bagaimana bisa ia lakukan agar ia dipuji manusia, ia khawatir jika amalannya salah atau kurang baik maka ia akan dicela dan tidak dipuji serta tidak dihargai atau dihormati orang lain. Tatakala beramalpun demikian, perasaan tersebut masih terus menyertai hatinya. Apalagi setelah beramal, maka gelisahpun semakin menjadi-jadi menanti pujian yang diharap-harapkan. Jika ternyata pujian yang diharapkan tak kunjung tiba maka hatinya sangat kesal… seakan-akan tersayat-sayat… ungkapan penyesalanpun bertumpuk di hatinya.. seraya berkata, “Percuma saya memberi sedekah kepadanya, ia adalah orang yang tidak tahu berterima kasih…”, “percuma saya menolong si fulan, ia tidak menghargai pertolonganku..”. “Percuma saya berhaji dengan mengeluarkan uang puluhan juta, toh masyarakat tidak menghormatiku dan tidak memanggilku dengan gelaran pak haji…”. “Percuma saya memberi ceramah-ceramah agama kepada mereka, toh mereka kurang menghormati saya…” Jika akhirnya pujian dan sanjungan yang ditungu-tunggu itupun tiba ternyata … terkadang pujian tersebut tidak seperti yang ia harapkan. Ia ingin agar sanjungan dan penghormatan yang ia raih lebih daripada apa yang ia dengar. Maka menderitalah hatinya. Jika pujian yang ia nanti-nantikan ternyata sesuai dengan yang ia harapkan maka iapun bahagia sekali…kepalanyapun membesar… hatinya berbinar-binar…, akan tetapi ketahuilah para pembaca yang dirahmati Allah… kebahagiaan tersebut hanyalah semu.. karena sebentar lagi ia akan kembali menderita karena hatinya bergejolak ingin pujian tersebut langgeng dan abadi… namun kenyataannya terkadang pujian tersebut hanya sebentar saja.. lalu sirna. Hatinya kembali gelisah… kapan ia dipuji lagi seperti pujian tersebut…??!!. Kedua : Orang yang riyaa’ memang terkadang meraih pujian dan sanjungan yang ia harapkan dari masyarakat. Jadilah ia tersohor dan dikenal harum namanya oleh masyarakat. Hal ini sebagaimana yang ditunjukan oleh hadits مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan bahwasanya di antara tafsiran dari hadits ini adalah bahwasanya makna dari ((Allah memperdengarkan tentangnya)) adalah barangsiapa yang beramal dengan maksud untuk meraih kedudukan dan kehormatan di masyarakat dan bukan karena mengharap wajah Allah maka Allah akan menjadikan dia bahan pembicaraan di antara orang-orang yang ia ingin dihormati oleh mereka. Akan tetapi ia tidak akan mendapatkan pahala di akhirat. (lihat Fathul Baari 11/336-337) Dan hal ini sesuai dengan firman Allah مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ (١٥)أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (١٦) Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan (QS Huud : 15-16). Oleh karenanya bukanlah hal yang mengherankan kalau seseorang yang riyaa’ dipuji-puji dan dielu-elukan oleh masyarakat. Karena itulah memang yang ia inginkan dan Allah mengabulkan keinginannya tersebut tanpa mengurangi sama sekali. Hal ini juga ditunjukkan oleh hadits yang telah lalu tentang tiga orang yang pertama kali diadzab di akhirat kelak, di mana keinginan mereka untuk dikenal sebagai pahlawan pemberani, dikenal sebagai seorang yang alim, dan dikenal sebagai dermawan dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi para pembaca yang budiman, apakah pujian dan sanjungan ini akan lenggeng dan kekal…??? Tentunya tidak, Allah terkadang membongkar aibnya dan kedustaannya tersebut di dunia sebelum di akhirat. Ibnu Hajr rahimahullah menyebutkan bahwa di antara makna hadits ((Allah memperdengarkan tentangnya)) adalah barangsiapa yang beramal sholeh karena ingin disebut-sebut maka Allah akan membuat ia tersohor di antara orang-orang yang ia harapkan pujian mereka akan tetapi tersohor dengan celaan, dikarenakan busuknya niatnya. (lihat Fathul Baari 11/337). Hal ini dikuatkan dengan sebuah hadits berikut ini : عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْتَقَى هُوَ وَالْمُشْرِكُونَ فَاقْتَتَلُوا فَلَمَّا مَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عَسْكَرِهِ وَمَالَ الْآخَرُونَ إِلَى عَسْكَرِهِمْ وَفِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ لَا يَدَعُ لَهُمْ شَاذَّةً وَلَا فَاذَّةً إِلَّا اتَّبَعَهَا يَضْرِبُهَا بِسَيْفِهِ فَقَالَ مَا أَجْزَأَ مِنَّا الْيَوْمَ أَحَدٌ كَمَا أَجْزَأَ فُلَانٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ أَنَا صَاحِبُهُ قَالَ فَخَرَجَ مَعَهُ كُلَّمَا وَقَفَ وَقَفَ مَعَهُ وَإِذَا أَسْرَعَ أَسْرَعَ مَعَهُ قَالَ فَجُرِحَ الرَّجُلُ جُرْحًا شَدِيدًا فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ بِالْأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَى سَيْفِهِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَخَرَجَ الرَّجُلُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ الرَّجُلُ الَّذِي ذَكَرْتَ آنِفًا أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَأَعْظَمَ النَّاسُ ذَلِكَ فَقُلْتُ أَنَا لَكُمْ بِهِ فَخَرَجْتُ فِي طَلَبِهِ ثُمَّ جُرِحَ جُرْحًا شَدِيدًا فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ فِي الْأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ Dari sahabat Sahl bin Sa’ad As-Saa’idi radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang melawan kaum musyrikin. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke pasukan perangnya dan kaum musyrikinpun telah kembali kepasukan perang mereka (untuk menanti perang selanjutnya-pen), dan diantara sahabat-sahabat Nabi (yang ikut berperang) ada seseorang yang tidak seorang musyrikpun yang menyendiri dari pasukan musyrikin atau terpisah dari kumpulan kaum musyrikin kecuali ia mengikutinya dan menikamnya dengan pedangnya, maka ada yang berkata, “Tidak ada diantara kita yang memuaskan kita pada perang hari ini sebagaimana yang dilakukan oleh si fulan”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Adapun si fulan maka termasuk penduduk api neraka”. Salah seorang berkata, “Saya akan menemani (membuntuti) si fulan tersebut”. Maka iapun mengikuti si fulan tersebut, jika si fulan berhenti maka ia ikut berhenti, jika sifulan berjalan cepat, iapun berjalan cepat. Maka si fulan ini (setelah berperang-pen) terluka parah, maka iapun segera membunuh dirinya. Ia meletakkan pedangnya di tanah kemudian mata pedangnya ia letakkan di dadanya, lalu pun menindihkan dadanya ke pedang tersebut maka iapun membunuh dirinya. Orang yang membuntutinya segera menuju ke Rasulullah dan berkata, “Aku bersaksi bahwasanya engkau adalah utusan Allah”. Rasulullah berkata, “Ada apa?”. Ia berkata, “Orang yang tadi engkau sebutkan bahwasanya ia masuk neraka !!, lantas orang-orangpun merasa heran, lalu aku berkata biarlah aku yang akan mengeceknya. Maka akupun keluar mengikutinya, lalu iapun terluka sangat parah lantas iapun meletakkan pedangnya diatanah dan meletakkan mata pedangnya di dadanya lalu iapun menindihkan dadanya ke mata pedang tersebut, dan iapun membunuh dirinya”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Sesungguhnya seseorang sungguh-sungguh melakukan amalan penghuni surga menurut apa yang nampak bagi manusia padahal ia termasuk penghuni neraka, dan seseorang melakukan amalan penghuni neraka menurut apa yang nampak bagi manusia padahal ia termasuk penduduk surga” (HR Al-Bukhari no 2898 dan Muslim no 179) Maka Sungguh benar perkataan Hammad bin Salamah : مَنْ طَلَبَ الْحَدِيْثَ لِغَيْرِ اللهِ مُكِرَ بِهِ Kita dapati adanya orang-orang yang tersohor dengan ilmunya, jadilah ia pemimpin para dai, namun ternyata pada akhirnya iapun ditinggalkan oleh para pengikutnya…. Semua ini karena buruknya niat yang tersembunyi. Tahukah kita siapa hakikat orang yang kita harapkan pujiannya tatkala kita beribadah?, tatkala kita sholat dengan menghinakan jidat kita di tanah?, tatkala kita menuntut ilmu dengan susah payah?, tatkala cape untuk berdakwah??!! Saya mengajak para pembaca sekalian merenungkan hakikat orang yang kita harapkan pujiannya tersebut… Pertama : Manusia yang berada di hadapan kita, yang kita harapkan pujiannya adalah makhluk yang tidak bisa memberi manfaat dan mudhorot kedua : Lihatlah manusia yang …kita harapkan pujiannya, ternyata merupakan makhluk yang sangat lemah, coba lihat dan ingat tatkala ia sedang sakit dan terbaring di rumah sakit, maka perihalnya seperti anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa. Makhluk yang seperti ini maka buat apa kita mengharapkan pujiannya?? Ketiga : Jika manusia yang kita harapkan pujiannya itu meninggal dan tidak dikubur tentunya akan menimbulkan bau yang sangat busuk dan mengganggu. Bahkan bau busuknya bisa mengganggu warga sekampung, bahkan busuknya mayatnya bisa menimbulkan beraneka ragam penyakit. Jika perkaranya demikian, maka apakah pantas kita mengharapkan pujian dari makhluk yang seperti ini??!! Keempat : Bisa jadi kita lebih baik daripada makhluk yang kita harapkan pujiannya tersebut, kalau begitu buat apa mengharap pujian dari orang yang lebih rendah dari kita..?? Kelima : Makhluk yang kita harapkan pujiannya ini memang memuji kita dengan pujian yang indah, tapi coba kalau dia bermasalah dengan kita, tentunya akan memaki kita juga dengan makian yang lebih indah juga. Keenam : Orang yang riyaa’ pada hari kiamat disuruh mencari pahala dari orang-orang yang dia dahulu mengharapkan pujian dan penghormatan dari mereka tatkala di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : إِنَّ أَّخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَُرُ، قَالُوْا : وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ؟ قَالَ : الرِّيَاءُ، يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَصْحَابِ ذَلكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إذَا جَازَى النَّاسَ : اِذْهَبُوْا إِلَى الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تُرَاءُوْنَ فِي الدُّنْيَا، فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً ؟! “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil”. Mereka berkata, “Apakah itu syirik kecil?”. Nabi berkata, “Riyaa’, pada hari kiamat tatkala Allah membalas perbuatan manusia maka Allah berkata kepada orang-orang yang riyaa’ : “Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu di dunia kalian riyaa kepada mereka, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan amalan (riyaa) kalian di sisi mereka??!” (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam ash-Shahihah no 951). Para pembaca yang budiman apakah orang-orang yang kita harapkan pujian mereka akan bisa membantu kita sedikitpun di akhirat kelak?, apakah mereka bisa memberikan sedikitpun ganjaran amal sholeh kita?. Jawabannya tentu tidak. Ketujuh : Meskipun kita dipuji setinggi langit akan tetapi kita yang lebih tahu tentang hakikat diri kita yang penuh dengan dosa. jika seandainya satu dosa kita saja dibongkar oleh Allah maka seluruh orang yang tadinya memuji kita tentu akan berbalik mencela kita….wallahu a’lam Hakikat kita yang dipuji Sesungguhnya pujian dan sanjungan orang lain kepada kita tidaklah akan merubah hakikat kita di hadapan Allah Yang maha Mengetahui apa yang nampak dan tersembunyi. Orang lain boleh terpedaya dengan penampilan kita… dengan indahnya perkataan kita… dengan ta’jubnya tulisan-tulisan kita… akan tetapi kitalah yang lebih tahu tentang hakikat diri kita yang penuh dosa. Sungguh indah perkataan Muhammad bin waasi’ rahimahullah : لَوْ كَانَ لِلذُّنُوْبِ رِيْحٌ مَا جَلَسَ إِلَيَّ أَحَدٌ “Jika seandainya dosa-dosa itu mengeluarkan bau maka tidak seorangpun yang akan duduk denganku” (Siyaar A’laam An-Nubalaa’ 6/120) Jika setiap dosa yang kita lakukan memiliki bau busuk yang khas tentunya akan keluar beraneka ragam bau yang busuk dari tubuh kita. Maka semua orang akan lari dari kita. Jika seandainya Allah membongkar satu saja aib kita yang selama ini kita sembunyikan tentunya semua orang yang tadinya memuji dan menghormati serta menyanjung kita akan berbalik mencela dan merendahkan. Wallahul musta’aan. Sebagai renungan maka silahkan membaca kembali artikel ini (https://www.firanda.com/index.php/artikel/wejangan/27-wasiat-ibnu-masud-1-qkalau-kalian-mengetahui-dosa-dosaku-maka-tidak-akan-ada-dua-orang-yang-berjalan-di-belakangkuq-) dan juga artikel (https://www.firanda.com/index.php/artikel/34-penyakit-hati/105-kenapa-mesti-ujub) Akhirnya… selamat berjuang dan berjihad melawan riyaa… sungguh jihad yang sangat sulit.., sungguh jihad yang tiada hentinya… hingga nafas yang terakhir. Madinah Munawwarah, 10 Safar 1432 / 14 Januari 2011 Firanda Andirja
“Ikhlas adalah hilangnya perasaan memandang bahwa diri sudah ikhlash, karena barang siapa yang melihat tatkala dia sudah ikhlash bahwasanya ia adalah seorang yang ikhlash maka keikhlasannya tersebut butuh pada keikhlasan” (Tazkiyatun Nufuus 4)
“Barangsiapa yang memperdengarkan maka Allah akan memperdengarkan tentangnya, dan barangsiapa yang memperlihatkan (riyaa’) maka Allah akan memperlihatkan tentang dia” (HR Al-Bukhari no 6499)
“Barangsiapa yang mencari hadits bukan kerana Allah maka akan dibuat makar kepadanya” (Al-Jaami’ li Akhlaaq Ar-Roowi wa Aaadaabus Saami’ 1/126 no 20)
Hakikat orang yang kita harapkan pujiannya
www.firanda.com
Apakah Anda Terjangkiti Penyakit Riyaa’?
Penyakit yang sangat berbahaya ini… mengakibatkan hancurnya amalan dan menjadikannya seperti debu yang berterbangan tidak bernilai. Betapa banyak amalan yang telah dikumpulkan oleh seseorang selama bertahun-tahun –dan bisa jadi puluhan tahun- dan bisa jadi sudah bertumpuk amalan tersebut setinggi gunung yang menjulang ke langit… akan tetapi ternyata semuanya hancur lebur tidak bernilai sama sekali di sisi Allah. Allah berfirman : كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا Seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan (QS Al-Baqoroh : 264) Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu hujan yang deras tersebut menjadikan batu yang licin tersebut bersih, yaitu tanpa tersisa sedikitpun tanah sama sekali, bahkan seluruh tanah telah sirna. Maka demikianlah amalan-amalannya orang-orang yang riyaa’ akan hancur dan sirna di sisi Allah, meskipun yang nampak pada orang-orang, mereka memiliki amal sebagaimana tanah (yang nampak di atas batu licin tadi -pen). Oleh karenanya Allah berfirman ((mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan))” (Tafsir Ibnu Katsiir 1/319) Sungguh ini merupakan permisalan yang sangat menghinakan orang-orang yang beramal karena riyaa’. Mereka menyangka bahwasanya mereka telah mengumpulkan amal yang banyak. Bahkan bukan hanya mereka yang menyangka demikian, tetapi orang-orang lain yang melihat mereka juga menyangka demikian, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang sholeh yang memiliki banyak amalan. Akan tetapi ternyata amalan mereka dimusnahkan oleh Allah dengan sekejap bahkan tidak tersisa sama sekali seperti tanah yang nampak bertumpuk di atas batu yang licin lantas tersiram dengan hujan yang sangat deras sekali, sehingga hilanglah tanah tersebut dan tidak tersisa sama sekali. Na’uudzu billaahi min dzaalik, kita berlindung kepada Allah dari kehinaan ini. Inilah hal yang sangat menyedihkan dan sangat menyakitkan serta sangat menghinakan, tatkala orang yang beramal dengan riyaa’ menyangka bahwasanya ia telah mengumpulkan amal dengan sebanyak-banyaknya, dan ia telah berbangga dengan hal itu, bahkan masyarakat menyangka dirinya sebagai orang sholeh dan memujinya, namun ternyata pada hakekatnya amalannya tidak bernilai sama sekali di sisi Allah. Oleh karenanya disebutkan dalam hadits tentang tiga orang yang riyaa’ yang pertama kali didzab di neraka (yaitu orang yang mati syahid, orang yang berilmu, dan orang yang dermawan), maka Allah mengatakan kepada mereka bertiga, “Apa yang kalian lakukan dengan kenikmatan yang telah Aku berikan kepada kalian?”, maka mereka bertiga menjawab, “Kami beramal ikhlas karena Engkau yaa Allah”. Maka Allah membantah mereka dengan berkata, “Kalian dusta, akan tetapi kalian beramal supaya dikatakan (oleh masyarakat) sebagai pemberani…, supaya dikatakan sebagai orang alim…, supaya dikatakan sebagai dermawan, dan sungguh telah dikatakan demikian…” (lihat HR Muslim no 1905) Sungguh masyarakat benar-benar menyangka mereka bertiga adalah orang-orang sholeh yang banyak beramal, dan masyarakat menyebut-nyebut mereka, akan tetapi semua itu hanyalah semu, karena pada hakekatnya amalan mereka tidak bernilai sama sekali. Bahkan…bukan hanya tidak bernilai akan tetapi malah menyebabkan mereka menjadi orang-orang yang pertama diadzab di neraka jahanam. Yang menjadi permasalahan besar adalah penyakit ini sangat sulit untuk dideteksi, sungguh betapa banyak orang yang merasa diri mereka ikhlas namun pada kenyataannya ia telah terjangkiti penyakit berbahaya ini. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengkhawatirkan penyakit ini. Beliau bersabda : إِنَّ أَخْوَفَ ما أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قالوا وما الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يا رَسُولَ اللَّهِ قال الرِّيَاءُ يقول الله عز وجل لهم يوم الْقِيَامَةِ إذا جُزِىَ الناس بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إلى الَّذِينَ كُنْتُمْ تراؤون في الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هل تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً “Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil”, mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil?”, beliau berkata, “Riyaa’, pada hari kiamat tatkala manusia dibalas amal perbuatan mereka maka Allah berkata kepada orang-orang yang riyaa’, “Pergilah kaliah kepada orang-orang yang dahulu kalian riyaa’ kepada mereka (mencari pujian mereka -pen) semasa di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan ganjaran kalian dari mereka?” (HR Ahmad dalam musnadnya 5/428 no 23680 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam As-Shahihah no 951) Rasulullah juga bersabda : أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هو أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي من الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ قال قُلْنَا بَلَى فقال الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ لِمَا يَرَى من نَظَرِ رَجُلٍ “Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang perkara yang lebih aku takutkan menimpa kalian daripada Dajjal?”, kami (para sahabat) berkata, “Tentu wahai Rasulullah”, beliau berkata, “Syirik yang samar, yaitu seseorang berdiri melakukan sholat lalu ia perindah sholatnya karena dia tahu ada orang lain yang sedang melihatnya sholat” (HR Ahmad 3/30 no 11270 dan Ibnu Majah no 4204 dan dihasankan oleh Syaikh Albani) Finahnya riyaa’ lebih ditakuti Nabi menimpa sahabat lebih daripada fitnahnya Dajjal karena dua perkara: – Karena sulitnya seseorang untuk menyelamatkan hatinya dari riyaa. Syaikh Utsaimin berkata, “Fitnah yang paling besar di dunia ini adalah fitnahnya Dajjaal, akan tetapi ketakutan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap fitnahnya syirik yang samar ini (riyaa’-pen) lebih besar daripada ketakutan beliau terhadap fitnahnya Dajjaal. Hal ini dikarenakan sangat sulitnya menghindarkan diri dari riyaa'” (Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail syaikh Al-‘Utsaimiin 10/712) – Karena fitnah Dajjal hanya muncul di akhir zaman menjelang hari kiamat, adapun fitnah riyaa’ senantiasa dan selalu mengancam. (lihat Mirqootul Mafaatiih 15/262) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan riyaa’ dengan syirik yang samar, yang tidak nampak oleh orang lain, dan juga menimpa seseorang terkadang tanpa ia sadari. Sahl bin Abdillah At-Tusturi pernah berkata, لاَ يَعْرِفُ الرِّيَاءَ إِلاَّ مُخْلِصٌ، وَلاَ النِّفَاقَ إِلاَّ مُؤْمِنٌ، وَلاَ الْجَهْلَ إِلاَّ عَالِمٌ، وَلاَ الْمَعْصِيَةَ إِلاَّ مُطِيْعٌ “Tidaklah mengetahui riyaa’ kecuali orang yang ikhlash, tidak mengetahui kemunafikan kecuali orang mukmin, tidak mengetahui kejahilan kecuali orang yang ‘alim, dan tidak mengetahui kemaksiatan kecuali orang yang ta’at” (Syu’ab Al-Iiman karya Al-Baihaqi 1/188 no 6480) Sungguh benar… memang hanya orang yang berusaha meraih keikhlasan yang senantiasa memperhatikan gerak-gerik hatinya, senantiasa mengecek kondisi hatinya, apakah hatinya berpenyakit riyaa? Apakah berpenyakit ujub?. Kecintaan Manusia terhadap Pujian Merupakan perkara yang semakin menjadikan seseorang mudah terjangkiti penyakit riyaa’ yaitu karena sifat dasar manusia adalah ingin dipuji dan ingin dihargai. Sungguh kenikmatan yang dirasakan seseorang tatkala dipuji dan dihormati sangatlah besar…sangatlah lezaat…, jauh lebih besar dari kenikmatan-kenikmatan yang lain… bahkan jauh lebih nikmat dari nikmatnya seseorang yang memiliki harta berlimpah. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika didapati seseorang yang mengorbankan hartanya yang begitu banyak untuk disedekahkan –bahkan mungkin hingga ratusan juta, atau bahkan sampai miliayaran- hanya demi untuk dihormati dan dipuji dan dikatakan sebagai dermawan. Demikian juga tidaklah mengherankan jika didapati seseorang yang menghabiskan waktunya siang dan malam tidak kenal lelah selama bertahun-tahun untuk mempelajari ilmu dan mendakwahkannya, atau untuk mempelajari Al-Quran, menghafalkannya dan mengajarkannya, hanya demi untuk dikenal oleh masyarakat bahwasanya ia adalah seorang yang ‘alim atau seorang qoori’ yang ahli baca Al-Qur’an. Bahkan yang lebih dari ini semua adalah tidak mengherankan jika didapati seseorang yang telah mengorbankan sesuatu yang paling berharga yang ia miliki di dunia ini, yaitu ruhnya dan nyawanya hanya agar dipuji oleh masyarakat dan dikenal sebagai pahlawan pemberani. Bukankah tidak semua orang yang meninggal di medan pertempuran adalah seorang yang mati syahiid? Ada seseorang bertanya kepada Nabi : الرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً فَأَيُّ ذلك في سَبِيلِ اللَّهِ؟ “Seseorang berperang karena membela sukunya, ada yang berperang karena menampakan keberaniannya, dan ada yang berperang karena riyaa’, maka manakah diantara mereka yang fi sabiilillah?” (Dalam riwayat yang lain فإن أَحَدَنَا يُقَاتِلُ غَضَبًا “Sesungguhnya salah seorang di antara kami ada yang berperang karena marah? (HR Al-Bukhari no 123), dalam riwayat yang lain الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُذْكَرَ وَيُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ من في سَبِيلِ اللَّهِ “Seseorang berperang untuk mencari gonimah (harta rampasan perang), seseorang berperang agar dikenang, dan seseorang berperang agar nampak kedudukannya (dalam hal keberanian dan kepahlawanannya -pen), maka manakah di antara mereka yang fi sabiilillah?” (HR Al-Bukhari 2958) Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : من قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ في سَبِيلِ اللَّهِ Memang ketenaran dan popularitas adalah suatu kenikmatan yang sangat ledzat, yang senantiasa dikejar-kejar oleh banyak orang dengan melalui banyak pengorbanan… bahkan mengorbankan jiwa raga… Mereka menyangka bahwasanya dengan tersohornya mereka dan dikenalnya mereka sebagai seorang yang alim -atau seorang yang rajin ibadah, atau seorang pemberani, atau seorang dermawan- merupakan puncak kemuliaan dan kebahagiaan. Apakah mereka tidak tahu bahwasanya mencari ketenaran merupukan puncak dari kehinaan dan keterpurukan..??? Ikhlas atau Riyaa? (Uji diri sendiri!!!) Keikhlasan merupakan amalan hati tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, bahkan terkadang seseorang merasa dirinya telah ikhlas namun ternyata ia tidak ikhlas, bahkan ternyata ia telah terjangkiti penyakit riyaa’ tanpa ia sadari. Oleh karenanya seorang muslim hendaknya senantiasa mengecek kondisi relung-relung hatinya pada lubuk hatinya yang paling dalam. Berikut ini beberapa pertanyaan yang membantu kita –baik para pembaca sekalian maupun si penulis sendiri- untuk mengetahui jauh dekatnya diri kita dari keikhlasan, demikian untuk mengetahui juga parah tidaknya penyakit riyaa’ yang telah menjangkiti kita. Dan diharapkan pertanyaan-pertanyaan berikut dijawab dengan jujur dan teliti. Pertama : Apakah engkau senantiasa berhenti sejenak sebelum beramal apapun (baik sebelum sholat, sebelum berdakwah, sebelum menulis sebuah tulisan ilmiyah, sebelum menulis status maupun catatan, atau memberi komentar di facebook, dll) untuk mengecek apakah niatku sudah benar ikhlas karena Allah atau tidak?? (Selalu – sering – terkadang –jarang – hampir tidak pernah) Untuk menjawab pertanyaan ini ada sebaiknya kita merenungkan atsar berikut ini : Ada orang yang berkata kepada Naafi’ bin Jubair rahimahullah, أَلاَ تَشْهَدُ جَنَازَةً؟, “Apakah engkau tidak menghadiri janazah?” maka beliaupun berkata, كَمَا أَنْتَ حَتَّى أنْوِيَ “Tetaplah di tempatmu hingga aku berniat”. Beliaupun berfikir sejenak lantas beliau berkata, “Mari kita jalan” (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam 29). Kedua : Apakah engkau senantiasa berusaha menjadikan kecintaan dan kebencian pada seseorang adalah karena Allah bukan karena perkara dunia apapun? (Selalu –sering –terkadang –jarang –hampir tidak pernah) Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita renungkan yang berikut ini : Kita semua mengetahui akan keutamaan cinta dan benci karena Allah. Betapa indahnya tatkala kita mengucapkan kepada saudara kita Uhibbuka fillah (Aku mencintaimu karena Allah), lantas saudara kita menjawab Ahabbakallahu aldzii ahbatnii fiih (Semoga Allah –yang engkau mencintaiku karenaNya- juga mencintaimu). Kita semua sudah mengetahui sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَوْثَقُ عُرَى الإِيْمَانِ الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ وَالْحُبُّ فِي اللهِ وِالْبُغْضُ فِي اللهِ “Tali keimanan yang paling kuat adalah berwalaa’ karena Allah dan memusuhi karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 998) Bukankah kita tahu bahwasanya yang hanya boleh dibenci secara mutlak seratus persen hanyalah orang kafir, sedangkan seorang muslim yang bercampur pada dirinya maksiat dan ketaatan maka tidak boleh kita membencinya secara total. Demikian juga seorang muslim yang tercampur pada dirinya sunnah dan bid’ah maka tidak boleh kita membencinya secara total. Akan tetapi kita mencintainya sesuai dengan kadar ketaatan dan sunnah yang dilakukannya dan kita membencinya sesuai dengan kadar maksiat dan bid’ah yang dilakukannya. (lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu’ Al-Fataawaa) Inilah penerapan yang benar dari kaidah Al-Walaa wal Baroo’. Namun sering kita dapati : – Ternyata terkadang kita sangat membenci saudara kita yang menyelisihi kita dalam beberapa perkara, padahal perkara-perkara tersebut merupakan perkara khilafiah ijtihadiah – Terkadang kita membenci saudara kita secara total padahal saudara kita tersebut hanya terjerumus dalam sebuah bid’ah dan kita telah mengetahui semangatnya dalam melaksanakan sunnah dan ketaatan kepada Allah. – Terkadang kita ikut-ikutan mentahdziir dan menghajr saudara kita sesama ahlus sunnah bukan karena Allah, akan tetapi lantaran kita takut kalau kita tidak ikut mentahdzir maka kitalah yang kena tahdzir dan dihajr, padahal batin kita menolak hal tersebut???!!!. Ini berarti kita beramal karena selain Allah, mentahdzir bukan karena takut kepada Allah akan tetapi karena takut kepada manusia. Ketiga : Apakah engkau senantiasa bergembira tatkala ada orang lain (dari manapun juga dia, dan dari pondok atau yayasan atau lulusan manapun) yang ikut menyebarkan dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah? (selalu – sering – terkadang – jarang – hampir tidak pernah). Suatu penyakit yang sering menimpa seorang da’i tatkala datang seorang da’i yang lain yang lebih berilmu atau lebih pandai berceramah bahkan lebih disukai oleh para pendengar atau pemirsa. Terkadang seseorang berdakwah selama bertahun-tahun dan berhasil mengumpulkan banyak pengikut, dan selama itu ia merasa bahwa dirinya telah ikhlas dalam berdakwah. Namun kebenaran keikhlasannya teruji tatkala datang seorang da’i yang lebih piawai daripada dirinya. Di sinilah akan nampak apakah ia ikhlas ataukah tidak. Jika dia ikhlas tentunya ia akan sangat bergembira karena ada dai yang lain yang membantunya dalam menyebarkan dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, terlebih lagi akan bertambah kegembiraannya tatkala ia tahu bahwasanya dai tersebut sangat pandai dalam berdakwah. Akan tetapi jika ternyata selama ini dakwah yang ia bangun bukan di atas keikhlasan maka yang timbul adalah rasa hasad dan dengki yang amat sangat terhadap dai tersebut. Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang yang berdakwah kepada selain Allah terkadang berdakwah kepada dirinya sendiri, ia berdakwah kepada al-haq (kebenaran) agar ia diagungkan di hadapan masyarakat dan dihormati” (Al-Qoul Al-Mufiid 1/126) Beliau juga berkata, “Banyak orang yang kalau berdakwah kepada kebenaran mereka berdakwah kepada diri mereka sendiri” (Al-Qoul Al-Mufiid 1/136) Cukuplah bagi kita kisah berharga yang pernah di alami oleh Al-Imam Al-Bukhari, dimana beliau ditahdzir dan dihajr oleh gurunya sendiri karena hasad (sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim dalam As-Sowaa’iq Al-Mursalah dan juga Ibnu Hajr dalam Hadyu As-Saari). Padahal sebelum kedatangan Imam Al-Bukhari maka gurunya tersebut banyak memuji beliau dan menganjurkan murid-muridnya untuk menghadiri majelis Imam Al-Bukhari. Namun tatkala majelis Imam Al-Bukhari ternyata dihadiri banyak orang maka timbullah hasad dalam diri sang guru tersebut. Keempat : Apakah engkau senantiasa mengecek niatmu di tengah amalmu? (selalu – sering –terkadang – jarang – hampir tidak pernah) Kita harus menyadari bahwasanya meraih keikhlasan adalah perkara yang sulit, akan tetapi lebih sulit lagi adalah menjaga keikhlasan tersebut. Ada dua bentuk menjaga kelanggengan keikhlasan – Menjaga keikhlasan agar tetap langgeng pada amalan-amalan berikutnya. – Menjaga keikhlasan tatkala sedang beramal. Yaitu sebagaimana kita ikhlas tatkala memulai amalan (di awal amalan) demikian juga kita berusaha menjaga keikhlasan tersebut tatkala melakukan amalan. Sufyan At-Tsauri pernah berkata, مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي لأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَلَيَّ “Tidak pernah aku meluruskan sesuatu lebih berat dari meluruskan niatku, karena niatku selalu berbolak-balik padaku” (jaami’ul ‘Uluum wal Hikam 29) Sungguh benar perkataan Sufyan, niat selalu berbolak-balik dan berubah-ubah. Sulaiman bin Dawud Al-Haasyimi berkata, رُبَّمَا أُحَدِّثُ بِحَدِيْثٍ وَلِيَ فِيهِ نِيَّةٌ، فَإِذَا أَتَيْتُ عَلَى بَعْضِهِ تَغَيَّرَتْ نِيَّتِي، فَإِذَا الْحَدِيْثُ الْوَاحِدُ يَحْتَاجُ إِلَى نِيَّاتٍ “Terkadang aku menyampaikan sebuah hadits dan aku memiliki niat yang benar dalam menyampaikan hadits tersebut. Maka tatkala aku menyampaikan sepenggal dari hadits tersebut berubahlah niatku. Ternyata untuk menyampaikan satu hadits membutuhkan banyak niat” (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam 41) Kelima : Apakah engkau selalu berusaha menyembunyikan segala amalan sholehmu? (selalu – sering – terkadang – jarang – hampir tidak pernah) Menyembunyikan amalan merupakan perkara yang sulit sekali, karena memang hati kita berusaha dan gembira tatkala ada orang yang mengetahui amalan sholeh kita, sehingga orang tersebut akan tahu kedudukan kita. Akan tetapi barangsiapa yang berusaha untuk menyembunyikan amalan sholehnya serta membiasakan dirinya dengan hal itu maka akan dimudahkan oleh Allah. Para salaf dahulu berusaha untuk menyembunyikan amalan mereka (silahkan lihat https://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/1-ikhlas-dan-bahaya-riya?start=2) Keenam : Apakah engkau selalu tidak terpengaruh dengan pujian dan celaan masyarakat, karena yang engkau perhatikan hanyalah penilaian Allah dan bukan penilaian manusia? (Selalu – sering –terkadang – jarang – hampir tidak pernah) Inilah hakekat inti dari keikhlasan, yaitu seseorang hanya menyibukan hatinya untuk mengetahui bagaimana penilaian Allah terhadap amal sholeh yang ia kerjakan, dan tidak peduli dengan penilaian masyarakat. Sungguh ini merupakan perkara yang sulit dan butuh perjuangan yang sangat berat untuk bisa mencapai hal ini. Oleh karenanya di antara definisi ikhlas adalah : نِسْيَانُ رُؤْيَةِ الْخَلْقِ بِدَوَامِ النَّظْرِ إِلَى الْخَالِقِ “Melupakan pandangan makhluq (manusia) dengan selalu memandang kepada Maha Pencipta” (Tazkiyatun Nafs 13) Pertanyaan-pertanyaan di atas hanyalah sebagai renungan bagi kita semua, yang mungkin selama ini di antara kita ada yang telah merasa ikhlas dan terlepas dari riyaa’ maka hendaknya kita bermuhasabah dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Madinah Munawwarah, 05 Safar 1432 / 09 Januari 2011 Firanda Andirja
“Barangsiapa yang berperang agar perkataannya Allah-lah yang tertinggi maka itulah yang fi sabiilillah” (HR Al-Bukhari no 7020)
www.firanda.com
Bukti-Bukti Cinta Kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
1. Membenarkan kabar yang disampaikan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam Diantara keimanan yang sangat urgen adalah meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam ma’sum (terjaga) dari kedustaan dan kebohongan, yang konsekuensi dari hari hal ini adalah pembenaran kepada semua yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, baik khabar berita tentang masa silam, masa sekarang, ataupun berita di masa mendatang. Allah berfirman; ﴿وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىمَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى﴾ (لنجم:1-4) Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. 53:1-4) ﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾ (الحشر: من الآية7) Apa yang datang dari Rasul kepada kalian maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. 59:7) Lihatlah kepada derajat yang sangat tinggi yang diraih oleh Abu Bakar As-Siddiq yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dengan keimanan yang sesungguhnya.Ia membenarkan seluruh perkataan dengan tanpa keraguan sedikitpun. عن عائشة رضي الله عنها قالت ثم لما أسري بالنبي صلى الله عليه وسلم إلى المسجد الأقصى أصبح يتحدث الناس بذلك فارتد ناس ممن كان آمنوا به وصدقوه وسعى رجال من المشركين إلى أبي بكر رضي الله عنه فقالوا هل لك إلى صاحبك يزعم أنه أسري به الليلة إلى بيت المقدس قال أو قال ذلك قالوا نعم قال لئن قال ذلك لقد صدق قالوا أو تصدقه أنه ذهب الليلة إلى بيت المقدس وجاء قبل أن يصبح فقال نعم إني لأصدقه ما هو أبعد من ذلك أصدقه في خبر السماء في غدوة أو روحة فلذلك سمي أبا بكر الصديق رضي الله عنه Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Tatkala Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam isro’ (dijalankan oleh Allah) menuju ke Masjdil Aqsho, maka dipagi harinya orang-orang membicarakan hal itu. Orang-orang yang tadinya beriman kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan membenarkannya murtad (keluar dari Islam). Beberapa orang dari kaum musyrikin menemui Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Tidakkah engkau menemui sahabatmu (yaitu Rasulullah), dia menyangka bahwa dirinya tadi malam dijalankan ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsho)?”. Abu Bakar berkata, “Apakah dia mengatakan demikian?”, mereka berkata, “Iya”. Abu Bakar berkata, “Jika ia memang mengatakan demikian maka dia telah jujur!”. Mereka berkata, “Apakah engkau membenarkan perkataannya bahwa dia tadi malam pergi ke Baitul Maqdis kemudian tiba kembali (ke Mekah) sebelum subuh?”, Abu Bakar berkata, “Iya, (bahkan) saya membenarkannya pada perkara yang lebih (aneh) dari pada perkara ini. Saya membenarkannya tentang berita yang ia terima dari langit di pagi hari atau di sore hari”. Oleh karena itu Abu Bakar dinamakan As-Siddhiq (yang selalu membenarkan)”[1] عن أبي هريرة رضي الله عنه قال صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الصبح ثم أقبل على الناس فقال بينا رجل يسوق بقرة إذ ركبها فضربها فقالت إنا لم نخلق لهذا إنما خلقنا للحرث فقال الناس سبحان الله بقرة تكلم فقال فإني أومن بهذا أنا وأبو بكر وعمر وما هما ثم وبينما رجل في غنمه إذ عدا الذئب فذهب منها بشاة فطلب حتى كأنه استنقذها منه فقال له الذئب هذا استنقذتها مني فمن لها يوم السَّبُعِ يوم لا راعيَ لها غيري فقال الناس سبحان الله ذئب يتكلم قال فإني أومن بهذا أنا وأبو بكر وعمر وما هما ثَمَّ Dari Abu Hurairoh berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam sholat subuh kemudian beliau menghadap para jemaah sholat lalu berkata, “Tatkala seseorang menggembala seekor sapi, kemudian diapun menunggangi sapi tersebut dan memukul sapi tersebut. Sapi itupun berkata, “Sesungguhnya aku tidaklah diciptakan untuk ini (untuk ditunggangi), namun aku hanyalah diciptakan untuk membajak.” Orang-orangpun berkata, “Maha suci Allah, sapi berbicara??”. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku beriman terhadap hal ini, demikian juga Abu Bakar dan Umar beriman.” Berkata Abu Hurairah, “Dan tatkala itu Abu Bakar dan Umar sedang tidak ada (tidak bersama mereka sholat subuh-pen)”. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Dan tatkala seorang penggembala sedang menggembalakan kambing-kambingnya tiba-tiba datang serigala dan membawa lari seekor kambingnya. Maka sang penggembalapun mengejar serigala tersebut dan sepertinya dia berhasil membebaskan kambing tersebut dari cengkraman serigala. Sang serigala tersebut berkata kepada sipenggembala, “Engkau telah membebaskan kambing itu dariku, maka siapakah yang akan menunggui (memperhatikan) kambing ini selain aku pada hari dimana singa datang mengambil kambing ini?[2]” Orang-orangpun berkata, “Maha suci Allah, serigala berbicara?”, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku beriman terhadap hal ini, demikian juga Abu Bakar dan Umar beriman”. Berkata Abu Hurairah, “Tatkala itu Abu Bakar dan Umar sedang tidak hadir”[3] Berkata Ibnu Hajar, “Kemungkinan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam mengatakan demikian (padahal Abu Bakar dan Umar tatkala itu tidak hadir-pen) karena Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tahu akan besarnya keimanan mereka berdua dan kuatnya keyakinan mereka”[4]. Beliau juga berkata, “…Dan kemungkinan juga beliau berkata demikian karena mereka berdua akan membenarkan khabar tersebut jika mereka mendengarnya dengan tanpa keraguan”[5] Coba seandainya kita sampaikan hadits ini kepada orang-orang yang mengagungkan akal mereka, tentu kita akan dapati banyak diantara mereka yang menolak hadits ini. Mungkin diantara mereka akan ada yang berkata “Bagaimana hewan bisa berbicara?, mana akalnya?”, ataupun diantara mereka ada yang mengatakan “Hadits ini lemah karena tidak masuk akal, meskipun dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari!!.”[6] Padahal Allah mampu untuk melakukan semuanya, jangankan hewan yang masih memiliki otak dan lisan bahkan tangan dan kakipun serta kulit yang tidak berotak dan tidak berlisan akan berbicara pada hari kiamat sebagaimana firman Allah: ﴿الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ﴾ (يّـس:65) “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. 36:65) ﴿وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴾ (فصلت:21) Dan mereka berkata kepada kulit mereka:”Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami” Kulit mereka menjawab:”Allah yang telah menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS. 41:21) Apakah mereka menolak ayat-ayat ini karena menurut mereka tidak masuk akal?? Berkata Ibnul Qoyyim, “Maka adab yang paling tertinggi terhadap Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam adalah pasrah menerima apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, mematuhi dan menjalankan perintahnya, menerima dan membenarkan berita yang datang dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tanpa mempertentangkannya dengan khayalan yang batil yang dinamakan “masuk akal” atau menolaknya karena syubhat atau ragu atau mendahulukan pendapat orang-orang dan kotoran-kotoran otak mereka diatas berita yang datang dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam…”[7] Di zaman sekarang ini banyak orang yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dengan alasan bertentangan dengan akal. Apakah mereka lupa bahwa Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tidaklah berbicara kecuali dengan bimbingan Allah?? Apakah akal mereka yang lemah itu hendak mereka gunakan untuk menimbang kebenaran berita yang datang dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam??. Penolakan terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam semakin banyak jika hadits-hadits tersebut berkaitan dengan perkara-perkara goib. Mereka yang menentang hadits-hadits Nabi tersebut mengukur kebenaran hadits Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dengan akal mereka yang lemah. Mereka mengqiaskan (mengukur) perkara yang ghoib dengan hal-hal yang mereka lihat di alam nyata. Tentunya ini adalah kesalahan yang sangat fatal karena akal yang sehatpun tidak menerima bahwa alam ghaib disamakan dengan alam nyata. Inilah yang telah menimpa para pendahulu mereka dari kalangan orang-orang musyrik yang menolak dengan akal mereka berita isro’nya Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho dalam satu malam. Demikianlah syaitan senantiasa menggelincirkan umat ini dari jalan kebenaran. Lihatlah perkataan Umar bin Al-Khottob yang telah dijamin masuk surga, yang syaitan tidak berani bertemu dengannya, yang telah diberi oleh Allah kecerdasan dan ilmu yang tinggi, lihatlah perkataan beliau: قال يا أيها الناس اتهموا الرأي على الدين فلقد رأيتني أرد أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم برأيي اجتهادا فوالله ما آلو عن الحق وذلك يوم أبي جندل والكتاب بين رسول الله صلى الله عليه وسلم وأهل مكة فقال اكتبوا بسم الله الرحمن الرحيم فقالوا ترانا قد صدقناك بما تقول ولكنك تكتب باسمك اللهم فرضي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبيت حتى قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم تراني أرضى وتأبى أنت قال فرضيت “Wahai manusia sekalian, curigailah pemikiran kalian dalam permasalahan agama[8]. Sungguh aku telah membantah perintah Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dengan pendapatku (pemikiranku) karena aku berijtihad. Demi Allah aku bersungguh-sungguh (berijtihad dengan pemikiranku itu) untuk menuju kepada kebenaran. Hal itu terjadi pada waktu kejadian Abu Jandal[9], tatkala buku di antara Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan penduduk Mekah (yaitu orang-orang musyrik), lalu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Tulislah Bismillahirrohmanirrahim!”, mereka berkata, “Apakah engkau mengira kami telah membenarkan engkau (adalah utusan Allah)?, tapi engkau tulis saja “Bismikallahumma”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam rela dengan hal itu, adapun aku tidak setuju, hingga Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata kepadaku “Engkau melihat aku telah ridha (setuju) lantas engkau enggan?”. Umar berkata, “Maka akupun rela”[10] Ungkapan seperti ini juga diucapkan oleh para sahabat yang lain, diantaranya Sahl bin Hunaif, beliau berkata: أيها الناس اتهموا أنفسكم فإنا كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الحديبية ولو نرى قتالا لقاتلنا فجاء عمر بن الخطاب فقال يا رسول الله ألسنا على الحق وهم على الباطل فقال بلى فقال أليس قتلانا في الجنة وقتلاهم في النار قال بلى قال فعلام نعطي الدنية في ديننا أنرجع ولما يحكم الله بيننا وبينهم فقال يا بن الخطاب إني رسول الله ولن يضيعني الله أبدا فانطلق عمر إلى أبي بكر فقال له مثل ما قال للنبي صلى الله عليه وسلم فقال إنه رسول الله ولن يضيعه الله أبدا فنزلت سورة الفتح فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم على عمر إلى آخرها فقال عمر يا رسول الله أو فتح هو قال نعم “Wahai manusia sekalian, curigailah diri kalian, sesungguhnya kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam pada waktu terjadi perjanjian Hudaibiyah[11] dan jika menurut kami adalah berperang maka kami akan berperang. Lalu datanglah Umar bin Al-Khottob dan berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka berada di atas kebatilan?”, Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam menjawab, “Tentu saja”. Umar berkata, “Bukankah orang-orang yang terbunuh diantara kita (jika kita memerangi mereka) masuk surga dan orang-orang yang terbunuh dari mereka masuk neraka?”, Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam menjawab, “Tentu saja”. Umar berkata, “Jika demikian, lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama kita?, apakah kita kembali ke Madinah padahal Allah belum memutuskan perkara antara kita dengan mereka?”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Wahai Ibnul Khottob, sesungguhnya aku adalah utusan Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya”. Lalu Umar pergi ke Abu Bakar dan ia berkata kepadanya apa yang telah dikatakannya kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, Abu Bakarpun berkata kepaanya, “Sesungguhnya ia adalah utusan Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakannya selamanya”. Lalu turunlah surat Al-Fath dan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam membacakannya kepada Umar hingga akhir surat, lalu berkata Umar, “Wahai Rasulullah, apa itu adalah Al-Fath (kemenangan kita di Mekah kelak)?”, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam menjawab, “Iya”[12] Ali bin Abi Tholib berkata, لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه وقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسح على ظاهر خفيه “Jika seandainya agama itu (hanya sekedar) bersandar dengan akal maka bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap (tatkala wudlu-pen) daripada bagian atas khuf. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam mengusap bagian atas kedua khufnya”[13] Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyah[14], فيا ليت شعرى بأي عقل يوزن الكتاب والسنة فرضى الله عن الإمام مالك بن أنس حيث قال أو كلما جاءنا رجل أجدل من رجل تركنا ما جاء به جبريل الى محمد لجدل هؤلاء “Seandainya saya tahu dengan dengan akal siapakah hendak ditimbang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam?, Semoga Allah meridhai Imam Malik bin Anas tatkala beliau berkata, “Apakah setiap datang orang yang lebih pandai bedebat daripada orang yang lain lantas kita tinggalkan apa yang diturunkan Jibril kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alihi wa sallam karena kepandaian debat mereka??”[15] 2. Mengagungkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan tidak menentangnya dengan pendapat sendiri Diantara bukti yang paling kuat yang menunjukkan kecintaan seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam yaitu pengagungan terhadap sabda-sabda dan wejangan-wejangan beliau dan tidak menentang keputusan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam. Inilah yang telah direalisasikan oleh para sahabat dan para imam kaum muslimin sepeninggal para sahabat. Allah berfirman: ﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً﴾ (الأحزاب:36) Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. 33:36) ﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً﴾ (الأحزاب:21) Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21) ﴿وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلاغُ الْمُبِينُ﴾ (النور: من الآية54) “Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS 24:54) ﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من الآية63) maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. 24:63) ﴿أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِداً فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ﴾ (التوبة:63) Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasannya barangsiapa menentang Allah dan Rasuil-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itulah adalah kehinaan yang besar. (QS. 9:63) Berkata Al-Humaidi, “Kami sedang bersama Imam Asy-Syafi’i, lalu datanglah seseorang dan bertanya tentang suatu permasalahan. Maka As-Syafi’i berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam telah memutuskan permasalahan ini dengan hukum demikian dan demikian”. Orang itu berkata kepada Imam As-Syafi’i, “Bagaimana menurut pendapat Anda?”, maka Imam As-Syafii berkata, سبحان الله!! تراني في كنيسة؟! تراني في بيعة؟! ترى على وسطي زُنَّارًا؟! أقول لك قضى فيها رسول الله وأنت تقول: ما تقول أنت؟! “Maha suci Allah, apakah engkau sedang melihatku di gereja?!, apakah engkau sedang melihatku di tempat ibadah orang-orang yahudi?!, apakah engkau melihat di pinggangku ada zunnar (yaitu sabuk yang dipakai oleh orang-orang Nasrani)?!. Aku katakan kepadamu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam memutuskan perkara ini dengan hukuman demikian dan demikian lantas engkau berkata “Bagaimana menurut pendapatmu?”?![16] عَنْ عَبْدِ الله بْنِ مُغَفَّلٍ : نَهَى النَّبِيُّ عَنِ الْخَذْفِ وَقَال((إِنَّهَا لاَتَصْطَادُ صَيْدًا وَلاَ تَنْكَأُ عَدُوًا وَلَكِنَّهَا تَفْقَأُ الْعَيْنَ وَتَكْسِرُ السِّنَّ)) فَقَالَ رَجُلٌ : وَمَا بَأْسُ هَذَا؟ فَقَالَ : إِنِّي أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَتَقُوْلَ هَذَا؟ وَاللهِ لاَأُكَلِّمُكَ أَبَدًا Dari Abdullah bin Mugoffal bahwasanya Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam melarang khadzf (mengutik dengan kerikil tatkala berburu untuk melukai hewan buruan-pen) dan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya khadzf (kutikan) itu tidaklah menghasilkan hewan buruan, juga tidak mematikan musuh, namun hanya membutakan mata dan mematahkan gigi”. Orang itupun berkata kepada Abdullah, “Memangnya kenapa dengan khadzf?”, maka Abdullah berkata, “Saya menyampaikan kepada engkau hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam lalu engkau berkata demikian?, demi Allah saya tidak akan berbicara denganmu selamanya!”.[17] Imam An Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan pemboikotan terhadap ahlul bid’ah dan pelaku kefasikan dan penentang sunnah setelah dijelaskan kepadanya, dan boleh memboikotnya secara terus menerus. Adapun larangan dari memboikot seorang muslim lebih dari tiga hari hanyalah berlaku pada orang yang bersalah karena kepentingan pribadi atau karena persoalan kehidupan dunia. Adapun para ahlul bid’ah dan semisal mereka maka pemboikotan terhadap mereka dilakukan secara terus menerus.[18] Padahal disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa pria yang diboikot oleh Abdullah tersebut merupakan kerabat keluarga beliau. Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini menunjukan akan bolehnya memboikot orang yang menyelisihi sunnah meninggalkan berbicara dengannya, dan hal ini tidak termasuk dalam larangan dari memboikot (saudara sesama muslim) lebih dari tiga hari, karena larangan tersebut hanyalah jika berkaitan dengan pemboikotan karena perkara pribadi”[19] Dari Salim bin Abdillah, bahwasanya Abdullah bin Umar berkata: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : ((لاَتَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأَنَّكُمْ إِلَيْهَا)). فَقَالَ بِلاَلُ بْنِ عَبْدِ الله : وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ. فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدِ الله فَسَبَّهُ سَبًّا شَدِيْدًا مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطٌ, وَقَالَ : أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُلِ اللهِ وَتَقُوْلُ : وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian pergi ke mesjid-mesjid jika mereka telah meminta idzin kepada kalian” Lalu berkatalah Bilal bin Abdullah bin Umar (yaitu putra Abdullah bin Umar-pen), “Demi Allah kami akan melarang mereka (ke mesjid)”. Maka Abdullah bin Umarpun menghadap kepadanya lalu mencelanya dengan celaan yang sangat keras yang saya sama sekali tidak pernah mendengar ia mencela seperti itu, lalu berkata, “Saya mengabarkan kepadamu hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam lantas engkau berkata “Demi Allah kami akan melarang mereka”??”[20] Dalam satu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim فَضَرَبَ فِيْ صَدْرِهِ “Maka Abdullahpun memukul dadanya” Imam Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan hukuman terhadap orang yang protes terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan yang membantah sunnah dengan pemikirannya. Hadits ini juga menunjukan (bolehnya) hukuman seorang bapak kepada anaknya walaupun sang anak telah dewasa”[21] Berkata Ibnu Hajar[22], “Tidaklah Abdullah mengingkari putranya Bilal dengan pengingkaran yang sangat keras karena Bilal secara langsung menyelisihi hadits, namun kalau seandainya Bilal berkata misalnya “Sesungguhnya zaman sudah berubah, dan sebagian wanita terkadang nampak dari mereka keinginan pergi ke mesjid namun ternyata mereka punya maksud yang lain” maka yang nampak Abdullah bin Umar tidak akan mengingkarinya (sedemikian rupa) sebagaimana yang diisyaratkan oleh Aisyah[23]” Beliau juga berkata, “Dan diambil (faedah) dari pengingkaran Abdullah kepada putranya yaitu pemberian hukuman dan pelajaran kepada orang yang menentang sunnah Nabi dengan berlandaskan pikirannya dan kepada orang alim namun mengikuti hawa nafsunya, dan bolehnya seorang bapak memberi hukuman dan pelajaran kepada anaknya walaupun sang anak telah besar dan dewasa jika ia mengucapkan suatu perkataan yang tidak pantas, serta bolehnya memberi hukuman dengan menghajr (memutuskan hubungan). Telah datang riwayat dari jalan Ibnu Abi Najiih dari Mujahid pada Musnad Imam Ahmad فَمَا كَلَّمَهُ عَبْدُاللهِ حَتَى مَاتَ (Maka Abdullah bin Umar tidak pernah berbicara kepada anaknya (Bilal) hingga wafat)[24]. Jika riwayat ini shahih maka ada kemungkinan bahwa salah satu dari keduanya tidak lama kemudian meninggal setelah terjadinya kisah ini.”[25] عن عطاء بن يسار : أن رجلا باع كِسرة من ذهب أو ورق بأكثر من وزنها، فقال له أبو درداء : سمعت رسول الله يقول: ((يُنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذَا إِلاَّ مَثَلا بِمَثَلٍ)). فقال الرجل: ما أرى بمثل هذا بأسًا. فقال أبو درداء : من يعذرني من فلان؟، أحدثه عن رسول الله ويخبرني عن رأيه، لا أساكنه بأرض أنت بها Dari ‘Ato bin Yasar, ada seseorang yang menjual sepotong (sebongkah) emas atau perak dengan harga yang lebih berat dari berat bongkahan tersebut. Maka Abu Darda’pun berkata kepadanya, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata ((Dilarang dari yang seperti ini kecuali sama beratnya )antara emas atau perak yang di jual (di tukar) dengan perak atau emas yang di jadikan sebagai pembayar)). Orang tersebut berkata, “Menurut saya tidak mengapa”. Maka Abu Darda’pun berkata kepadanya, “Siapa yang menghalangiku dari orang ini?, aku sampaikan kepadanya hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam lantas dia menyampaikan kepadaku pendapatnya (yang menentang hadits). Saya tidak akan tinggal di tempat yang kamu berada di situ”[26] عن الأعرج قال : سمعت أبا سعيد الخدري يقول لرجل: أتسمعني أحدث عن رسول الله أنه قال: ((لاَ تَبِيْعُوْا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمِ إِلاَّ مَثَلا بِمَثَلٍ، وَ لاَ تَبِيْعُوْا مِنْهَا عَاجِلاَ بِآجِلٍ)) ثم أنت تفتي بما تفتي؟، والله لايؤويني وإياك ما عشت إلا المسجد!” Dari Al-A’roj berkata, “Saya mendengar Abu Said Al-Khudri berkata kepada seseorang, “Tidakkah engkau mendengarkan perkataanku?, aku sampaikan kepadamu hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bahwasanya ia bersabda ((Janganlah kalian menjual dinar dengan dinar atau dirham dengan dirham kecuali jika sama sama berat timbangannya, dan janganlah kalian menjualnya dengan tidak kontan)), kemudian engkau berfatwa dengan fatwamu (yang menyelisihi hadits)??. Demi Allah kita tidak akan berada di bawah satu atap selama hidupku kecuali di mesjid”[27] Berkata Al-Hakim, :”Saya mendengarnya –yaitu Abu Bakar As-Shibgi (wafat pada tahun 342 H)- tatkala dia sedang berbicara dengan seorang ahli fikih, dia berkata, “Sampaikanlah kepada kami riwayat hadits dari jalan Sulaiman bin Harb!”. Maka ahli fiqh itu berkata, حَدَّثَنَا دَعْنَا مِنْ “Tinggalkan kami dari perkataan حَدَّثَنَا (Telah menyampaikan kepada kami), إِلَى مَتَى حَدَّثَنَا وَ أَخْبَرَنَاsampai kapan terus (kita sibuk dengan) حَدَّثَنَا dan أَخْبَرَنَا (Telah mengabarkan kepada kami)??. Maka Abu Bakar As-Sibgi berkata, يا هذا لست أشُمُّ من كلامك رائحة الإِيْمَانِ، وَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تدخل دَاري “Wahai fulan, saya tidak mencium dari perkataanmu bau kaimanan, dan tidak halal bagi engkau memasuki rumahku”. Kemudian diapun memboikot ahli fikh tersebut hingga dia wafat.[28] Abul Husain At-Thobsi berkata, “Saya mendengar Abu Sa’id Al-Ashthikhri berkata –dan tatkala itu datang seseorang kepadanya dan bertanya kepadanya, “Apakah boleh beristinja’ dengan tulang?- maka ia (Abu Sa’id) menjawab, “Tidak boleh”. Orang itu berkata, “Kenapa tidak boleh?”, ia berkata, “Karena Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda ((هُوَ زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنَ الْجِنِّ)) “Dia adalah bekal (makanan) saudara-saudara kalian dari golongan jin”. Orang itu menimpali, “Bukankah manusia lebih mulia daripada jin?” ia berkata, “Tentu manusialah yang lebih mulia”. Orang itu berkata, “Jika demikian, lantas mengapa boleh beristinja’ dengan air, padahal air adalah minuman manusia?”, iapun menerjang orang itu dan memegang lehernya dan berkata “Wahai zindik (munafik), engkau menentang sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam??. Lalu ia (Abu Sa’id) mencekik orang itu, kalau tidak segera saya cegah mungkin ia telah membunuh orang itu”[29] Ibnul Qoyyim berkata, “Apakah ada diantara para sahabat yang tatkala mendengar hadits Nabi lantas memabantahnya dengan qiyasnya?, atau dengan perasaannya?, atau dengan pendapatnya?, atau dengan akalnya?, atau dengan siasat politiknya???…apakah ada diantara mereka yang lebih mendahulukan akal atau qiyas atau perasaan atau politik atau taklid dari pada hadits Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam ??… Sungguh Allah telah memuliakan dan mensucikan dan menjaga mata mereka dari melihat wajah orang yang demikian halnya (yang menentang hadits Nabi dengan akal atau perasaannya) atau membiarkan ada orang seperti ini dizaman mereka. Umar bin Khottob telah memberi hukuman pedang kepada orang yang mendahulukan pendapatnya dari pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dengan berkata, “ini adalah pendapatku”. Ya Allah… bagaimana jika Umar melihat apa yang kita lihat sekarang ini?? Jika Umar menyaksikan musibah yang menimpa kita berupa sikap mengedepankan pendapat si fulan dan si fulan dari pada perkataan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam yang terjaga dari kesalahan?? Bagaimana jika Umar melihat penentangan orang-orang yang menampilkan pendapat-pendapat mereka dan lebih mengedepankan pendapat dan pemikiran mereka daripada perkataan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam?? Hanyalah Allah tempat meminta pertolongan, Dari Dialah kita diciptakan dan kepadaNyalah kita kembali”.[30] Allah berfirman: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ﴾ (الحجرات:2) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dam janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. 49:2) Berkata Ibnul Qoyyim mengomentari ayat ini, “Maka Allah memperingatkan orang-orang mukmin dari terhapusnya amalan mereka jika mereka mengeraskan suara mereka di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam sebagaimana mereka mengeraskan suara mereka diantara mereka. Dan terhapusnya amalan dalam permasalahan ini bukanlah dikarenakan kemurtadan tetapi dikarenakan kemaksiatan yang bisa menghapuskan amal padahal pelakunya tidak merasa. Bagaimana pula dengan orang yang mengedapankan perkataan, petunjuk, dan jalan selain Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam diatas perkataan, petunjuk, dan jalan Rasulullah??, bukankah orang seperti ini juga telah menghapus amalannya dan dia dalam keadaan tidak sadar??[31] 3. Tidak mengedapankan perkataan siapapun diatas perkataan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam As-Sya’bi berkata kepada seseorang, مَا حدَّثُوك عن رسول الله فخذ به وما قالوه برأيهم فَأَلْقِهِ في الحُشِّ “Apa saja yang mereka sampaikan kepadamu dari Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam maka ambillah dan apa saja yang mereka katakan dari pendapat mereka maka buanglah di jamban (tempat buang air)[32] Berkata Umar bin Abdilaziz, لارأْيَ لأَحَدٍ مع سنةٍ سنَّهَا رسولُ الله “Tidak dilihat pendapat siapapun jika telah ada sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam”[33] Imam As-Syafi’I berkata, أَجْمعَ الناسُ على أنَّ من استبانتْ له سنةٌ عن رسول الله لم يكن له أنْ يَدَعَها لِقول أحد من النَّاس “Manusia telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya suatu sunnah dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena mengikuti perkataan (pendapat) seseorang”. Dan telah sah bahwasanya beliau juga pernah berkata, لا قول لأَحَدٍ مع سنةِ رسولِ الله “Tidak dilihat pendapat siapapun jika telah ada sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam”[34] Berkata Ibnu Khuzaimah, , لا قول لأَحَدٍ مع رسولِ الله إِذَا صَحَّ الْخَبَرُ غنه “Tidak dipandang perkataan siapapun jika telah sah sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam”[35] Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Nabi berhaji tamattu’[36], maka Urwah bin Az-Zubair berkata, “Abu Bakar dan Umar melarang tamattu’”. Ibnu Abbas menimpali perkataannya, أُرَاهُم سَيَهْلَكُوْنَ، أَقُوْلُ قَالَ النَّبِيُّ وَيَقُوْلُوْنَ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَ عُمَرُ “Aku melihat mereka akan binasa, aku menyampaikan kepada mereka “Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda demikian”, namun mereka berkata “Abu Bakar dan Umar melarang.”[37] Dalam riwayat yang lain beliau berkata, يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ، أَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُونَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ؟؟! “Hampir saja menimpa kalian hujan batu dari langit, aku berkata “Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata demikian” lantas kalian berkata, “Abu Bakar dan Umar berkata demikian dan demikian”[38] Berkata Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, “Abu Bakar dan Umar adalah orang yang paling terbaik dari umat ini, dan yang paling dekat kepada kebenaran. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam telah bersabda إِنْ يُطِيْعُوا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَرْشُدُوا “Jika mereka patuh kepada Abu Bakar dan Umar maka mereka akan mendapat petunjuk”[39], dan diriwayatkan juga dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda اِقْتَدَوْا بِالَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ “Teladanilah dua orang sepeninggalku yaitu Abu Bakar dan Umar!”[40]. Beliau shallallahu ‘alihi wa sallam juga bersabda عَلَيْكُمْ بِسُنّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَجَذَِ “Wajib atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku. Berpegangteguhlah dengannya dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian”[41]. Dan tidak pernah diketahui dari Abu Bakar dan Umar bahwasanya keduanya menyelisihi hadits yang sangat jelas dari Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dengan akal mereka berdua. Maka jika ada orang yang menghadapkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar maka dikawatirkan akan turun hujan batu dari langit bagaimana lagi dengan orang yang menentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dengan membawakan perkataan orang yang jauh di bawah derajat mereka berdua?? Padahal perbedaan antara orang tersebut dengan Abu Bakar dan Umar seperti bedanya langit dan bumi??, tentunya hukumannya lebih parah lagi.[42]” Berkata Salim bin Abdillah, إني لجَاَلِسٌ مع ابن عمر في المسجد إذ جاءه رجل من إهل الشام فسأله عن التمتع بالعمرة إلى الحج؟ فقال ابن عمر : حسن جميل. فقال: فإن أباك كان ينهى عن ذلك؟ فقال: ويلك! فإن كان أبي قد نهى عن ذلك وقد فعله رسول الله وأمر به، فبقول أبي تأخذ أم بأمر رسول الله؟ قال بأمر رسول الله. فقال : فقم عني “Aku sedang duduk bersama Ibnu Umar di masjid tiba-tiba datang seseorang dari penduduk negeri Syam, lalu dia bertanya kepada Ibnu Umar tentang umrah bersama haji?, maka Ibnu Umar berkata, “(Ini adalah perkara yang) baik dan bagus”. Orang itu berkata, “Tapi ayahmu (yaitu Umar bin Al-Khottob) dulu melarang perkara ini?”. Ibnu Umar berkata, “Celaka engkau, jika ayahku telah melarang perkara ini dan perkara ini telah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan telah memerintahkannya maka perkataan ayahku yang kau pegang ataukah perintah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam?!”. Orang itu berkata, “Perintah Nabi”. Ibnu Umar lalu berkata, “Menyingkirlah dariku!!”.[43] Berkata Abu As-Saib, “Kami berada bersama Imam Waki’ lalu beliau berkata kepada seseorang yang termasuk ahlu ro’yi أَشْعَرَ رَسُوْلُ اللهِ “Rasulullah berbuat isy’ar[44]”. Orang itupun menimpali, “Tapi Abu Hanifah berpendapat bahwa isy’ar itu adalah mutslah (penyiksaan dengan mencincang)”. Kemudian orang itu melanjutkan perkataannya, “Telah datang dari Ibrahim An-Nakho’i bawhasanya dia berkata, “Isy’ar itu mutslah”. Maka akupun melihat Imam Waki’ marah besar dan berkata: أَقُوْلُ لَك ٌَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ؟؟ مَا أَحَقَّكَ بِأَنْ تُحْبَسَ ثُمَّ لاَتَخْرُجَ حَتَّى تَنْزِعَ عَن قَوْلِكَ “Aku berkata kepadamu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda demikian lantas engkau berkata Ibrahim berkata demikian..!!, engkau sungguh sangat pantas untuk dipenjara kemudian tidak keluar dari penjara tersebut hingga engkau mencabut perkataanmu ini!”[45] Berkata Imam Ahmad: عجِبتُ من قَومٍ عرَفوا الإسنادَ وَصِحَّتَهُ يذهبون إلى رَأْيِ سُفيانَ واللهُ يقول : ﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من الآية63). أتدري ما الفتنة؟ الفتنة شرك، لعله إذا ردَّ بعضَ قوله أَن يقعَ في قلبه شيء من الزيغ فَيهْلِك “Aku heran terhadap sauatu kaum yang mereka mengetahui tentang isnad dan shohihnya isnad tersebut lantas mereka mengikuti pendapat Sufyan (At-Tsauri yang menyelisihi hadits Rasulullah-pen), padahal Allah telah berfirman: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. 24:63). Tahukah engkau apa yang dimaksud dengan fitnah dalam ayat ini?, maksudnya adalah keyirikan, karena ia jika menolak sebagian hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam maka akan masuk dalam hatinya suatu penyimpangan lalu ia celaka”[46] Namun yang sangat menyedihkan apa yang terjadi pada kaum muslimin, banyak dari mereka yang terlalu berlebihan dalam mengagungkan imam madzhab mereka, guru-guru mereka, kiyai-kiyai mereka sampai-sampai mereka lebih mendahulukan pendapat imam-imam mereka daripada hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam. Ibnu Sirin menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam kepada seseorang lalu orang itu berkata, “Si fulan dan si fulan telah berkata ini dan itu..”, maka Ibnu Sirinpun berkata أُحَدِّثُكَ عَنِ النَّبِيِّ وَتَقُوْلُ قَالَ فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ كَذَا وَكَذَا؟، وَاللهِ لاَأُكَلِّمُكَ أَبَدًا “Aku menyampaikan kepadamu hadits dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam lantas engkau berkata, “Si fulan dan si fulan telah berkata ini dan itu”?, demi Allah aku tidak akan berbicara denganmu selamanya”[47] 4. Berhukum kepada sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam jika terjadi perselisihan dalam permasalahan apapun Allah berfirman ﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً﴾ (الأحزاب:36) Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. 33:36) ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً﴾ (النساء:59) Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59) Firman Allah شَيْءٍ “sesuatu”, dalam ayat ini mencakup seluruh perselisihan baik dalam masalah usul maupun masalah furu’[48] ﴿فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾ (النساء:65) Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. 4:65) Berkata Ibnu Taimiyah, “Semua yang keluar dari sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan syari’atnya (tidak berhukum dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam) maka Allah telah bersumpah dengan Dzatnya Yang Suci bahwasanya mereka tidaklah beriman hingga mereka ridha dengan hukum yang diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam di semua perkara yang mereka perselisihkan baik perkara agama maupun perkara dunia, dan hingga tidak tersisa dalam hati mereka rasa keberatan terhadap keputusan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam”[49] ﴿ألَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُوداً﴾ (النساء:60-61) Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul,” niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS. 4:60-61) Berkata Ibnul Qoyyim, “Maka Allah menjadikan sikap berpaling dari apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan sikap memandang kepada hukum selain hukum Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam merupakan hakikat dari kemunafikan, sebagaimana hakikat dari keimanan adalah menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam pemutus perkara dan tidak adanya keberatan dalam dada dari keputusan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam serta pasrah menerima dengan keputusan tersebut, ridha sesuai dengan kehendak sendiri karena kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam. Inilah hakikat dari keimanan, dan sikap berpaling adalah hakikat dari kemunafikan”[50] Dan hal inilah (kembali kepada sunnah Nabi tatkala terjadi perselisihan) yang diserukan oleh para Imam madzhab. Namun sungguh menyedihkan betapa banyak para pengikut madzhab yang fanatik dengan madzhab mereka. Mereka memegang teguh pendapat imam madzhab mereka, seakan-akan perkataan imam mereka turun dari langit[51], seakan-akan imam mereka ma’sum (terjaga dari kesalahan). Padahal ini menyelisihi wasiat dari para imam madzhab tersebut.[52] a. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi, Diantara wasiat-wasiat beliau adalah: إذا صح الحديث فهو مذهبي “Jika telah shahih suatu hadits maka itulah madzhabku”[53] لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه “Tidak halal bagi seorangpun untuk mengambil pendapat kami jika dia tidak tahu dari mana kami mengambil pendapat tersebut”[54] وفي رواية : ( حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي ) Dalam riwayat yang lain, “Haram atas orang yang tidak mengetahui dalilku untuk berrfatwa dengan pendapatku” زاد في رواية : ( فإننا بشر نقول القول اليوم ونرجع عنه غدا ) Dalam riwayat yang lain, “Sesungguhnya kami hanyalah manusia, kami menyatakan suatu pendapat pada hari ini kemudian esok harinya kami cabut pendapat tersebut” وفي أخرى : ( ويحك يا يعقوب ( هو أبو يوسف ) لا تكتب كل ما تسمع مني فإني قد أرى الرأي اليوم وأتركه غدا وأرى الرأي غدا وأتركه بعد غد ) Dalam riwayat yang lain, “Celaka engkau wahai Ya’qub (yaitu Abu Yusuf), janganlah engkau menulis semua yang kau dengar dariku, karena aku terkadang menyatakan suatu pendapat pada hari ini kemudian esok harinya aku tinggalkan pendapatku tersebut, dan terkadang aku menyatakan suatu pendapat di esok hari kemudian lusanya aku tinggalkan pendapatku tersebut.” Berkata Syaikh Al-Albani, “Hal ini terjadi karena Imam Abu Hanifah banyak membangun pendapat-pendapatnya di atas qias, lalu nampak baginya ada qias lain yang lebih kuat, atau sampai kepadanya hadits Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam (yang tadinya tidak diketahuinya) kemudian diapun mengambil hadits tersebut dan meninggalkan pendapatnya yang lalu”[55] Diantara wasiat-wasiat beliau adalah: إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه “Sesungguhnya aku hanyalah manusia berbuat benar dan bersalah, maka lihatlah kepada pendapatku, semua pendapatku yang sesuai denga Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam maka ambillah dan semua yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam maka tinggalkanlah”[56] ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم Tidak seorangpun setelah sepeninggal Nabi shallallahu ‘alihi wa sallamkecuali pendapatnya bisa diterima atau ditolak, kecuali Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam”[57] قال ابن وهب : سمعت مالكا سئل عن تخليل أصابع الرجلين في الوضوء ؟ فقال : ليس ذلك على الناس، قال فتركته حتى خف الناس فقلت له : عندنا في ذلك سنة فقال : وما هي ؟ قلت : حدثنا الليث بن سعد وابن لهيعة وعمرو بن الحارث عن يزيد بن عمرو المعافري عن أبي عبد الرحمن الحنبلي عن المستورد بن شداد القرشي قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يدلك بخنصره ما بين أصابع رجليه . فقال : إن هذا الحديث حسن وما سمعت به قط إلا الساعة ثم سمعته بعد ذلك يسأل فيأمر بتخليل الأصابع Berkata Ibnu Wahb, “Saya mendengar Malik ditanya tentang (hukum) menyela-nyela jari-jari kaki tatkala wudlu”, beliau berkata, “Hal itu tidak dilakukan oleh orang-orang”, maka akupun meninggalkannya hingga orang-orang sudah sepi lalu aku katakan kepadanya, “Kami mengetahui sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tentang hal itu”, Imam Malik berkata, “Sebutkan sunnah tersebut!”. Aku berkata, “Telah menyampaikan kepada kami Al-Laits bin Sa’ad dan Ibnu Lahi’ah dan ‘Amr bin Al-Harits dari Yazid bin ‘Amr Al-Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habali dari Al-Mustaurod bin Syaddad Al-Qurosyi, ia berkatam “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam menggosok dengan jari keingkingnya sela-sela jari-jari kakinya”. Lalu berkata Imam Malik, “Hadits ini adalah hadits yang hasan, aku sama sekali tidak pernah mendengarnya kecuali sekarang.” Kemudian saya mendengar ia ditanya setelah itu maka iapun memerintahkan untuk menyela jari-jari kaki tatkala wudlu”[58] c. Imam As-Syafi’i Diantara wasiat-wasiat beliau adalah: أَجْمعَ الناسُ على أنَّ من استبانتْ له سنةٌ عن رسول الله لم يكن له أنْ يَدَعَها لِقول أحد من النَّاس “Manusia telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya suatu sunnah dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena mengikuti perkataan (pendapat) seseorang” )إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت(. وفي رواية ( فاتبعوها ولا تلتفتوا إلى قول أحد ) “Jika kalian mendapatkan dalam kitab-kitabku apa yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam maka bepandapatlah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku”, dalam riwayat yang lain, “Ikutilah sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan janganlah kalian melihat pendapat siapapun”[59] ( إذا صح الحديث فهو مذهبي ) “Jika telah shahih suatu hadits maka itulah madzhabku”[60] إذا رأيتموني أقول قولا وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم خلافه فاعلموا أن عقلي قد ذهب. “Jika kalian mendapatiku menyatakan suatu pendapat padahal ada hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam yang menyelisihi pendapatku itu maka ketahuilah tatkala itu akalku sedang tidak ada”[61] كل حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم فهو قولي وإن لم تسمعوه مني “Semua hadits dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam maka itulah pendapatku walaupun kalian tidak mendengar aku menyatakan pendapatku tersebut”[62] Diantara wasiat-wasiat beliau: لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا “Janganlah kalian taklid kepadaku, dan jangan taklid kepada Malik, As-Syafi’i, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, namun ambillah dari mana mereka mengambil”[63] رأي الأوزاعي ورأي مالك ورأي أبي حنيفة كله رأي وهو عندي سواء وإنما الحجة في الآثار Beliau juga berkata, “Pendapat Al-Auza’i, pendapat Malik, pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, semuanya sama di sisiku. Hujjah (argumen) hanyalah pada atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam)”[64] Syaikh Al-Albani berkata (setelah menyebutkan wasiat-wasiat empat imam madzhab di atas), “Inilah perkataan para Imam madzhab tentang perintah untuk berpegang teguh dengan hadits dan larangan untuk mentaklid mereka tanpa dalil. Perkataan-perkataan mereka ini sangat jelas, tidak bisa dipungkiri, dan tidak bisa ditarik ulur maknanya. Oleh karena itu barangsiapa yang berpegang teguh dengan semua yang shahih dari sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam walaupun menyelisihi sebagian pendapat para imam madzhab maka tidaklah dikatakan dia telah tampil beda (menyelisihi) atau telah keluar dari jalan para imam madzhab, bahkan dia adalah pengikut para imam madzhab tersebut dan telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Berbeda dengan orang yang meninggalkan sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam yang shahih hanya karena menyelisihi pendapat para imam madzhab, orang seperti ini pada hakekatnya telah menentang para imam madzhab dan menyelisihi perkataan dan wasiat mereka sebagaimana telah disebutkan disatas. Allah berfirman: ﴿فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾ (النساء:65) Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. 4:65) ﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من الآية63) Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. 24:63)”[65] Firanda Andirja Catatan Kaki: [1] Diriwayatkan oleh Al-Hakim 3/62 dan beliau berkata, “Ini adalah hadits yang shahih sesuai dengan kriteria persyaratan Imam Bukhari dan Muslim dan keduanya tidak mengeluarkan hadits ini (dalam kitab shahih mereka). Dan beliau disepakati oleh Ad-Dzahabi. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena syawahidnya (As-Shahihah no 306) [2] Maksud dari perkataan serigala ini adalah “Engkau wahai penggembala kambing yang telah merebut kembali kambingmu dariku, sesungguhnya engkau suatu saat akan lari tatkala datang singa menerkam kambing ini dan engkau tidak bisa menyelamatkannya, lalu singa tersebut memakan kambing itu hingga puas kemudian akulah sendiri yang berada (menunggui/memperhatikan kambing itu) hingga selesai singa itu makan, lalu aku memakan kambing yang tersisa dari lahapan singa.” (Fathul Bari 7/35 penjelasan hadits no 3663) [3] HR Al-Bukhari no 3471, dan dalam tempat-tempat yang lain no 2324, 3663, dan 3690 [4] Fathul Bari 7/35 penjelasan hadits no 3663 [5] Fathul Bari 6/634, penjelasan hadits no 3471 [6] Jangankan hadits yang ini bahkan hadits yang tidak aneh saja mereka tolak sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dimana Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda : قال النبي إذا وقع الذباب في شراب أحدكم فليغمسه ثم لينزعه فإن في إحدى جناحيه داء والأخرى شفاء “Jika sesekor lalat jatuh di minuman salah seorang dari kalian maka hendaklah ia memebenamkan lalat tersebut (dalam minumannya) kemudia mengeluarkan lalat tersebut karena pada salah satu sayap lalat tersebut ada racun dan pada sayap yang lain ada obat” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Abu Dawud no 3844, Ibnu Majah no 3503, Ahmad no 7353, 7562, 8642, 9024, 9157, 9719, 11205, Ibnu Hibban no 1246, 1247, 5250, Ibnu Khuzaimah no150 (1/56), An-Nasai (Al-Kubro) no 4588 (3/88), Al-Baihaqi no 1122, 1125. Hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abu Sa’I Al-Kudri. Juga dirwayatkan dari Anas bin Malik sebagaimana dalam riwayat Al-Bazzar dengan para perawi yang tsiqoh sebagaimana perkataan Ibnu Hajar (Al-Fath 10/308 syarh hadtis no 5782) dari riwayat ‘Abdullah bin Al-Mutsanna dari paman beliau Tsumamah bahwasanya pamannya tersebut menyampaikan kepadanya seraya berkata, كنا عند أنس فوقع ذباب في إناء فقال أنس بأصبعه فغمسه في ذلك الإناء ثلاثا ثم قال بسم الله وقال أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرهم أن يفعلوا ذلك “Kami bersama Anas, lalu jatuh seeokr lalat di sebuah cangkir maka Anaspun mneclupkan lalat tersebut dengan jarinya dalam cangkir tersebut tiga kali kemudian ia berkata “Bismillah” dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan mereka (para sahabat) untuk melakukannya” Sebagian mereka ada yang berkata mengomentari hadits ini, “Saya mengambil perkataan Dokter yang kafir dan saya tidak menerima perkataan Rasulullah !!!” Oleh karena itu jangan tertipu dengan perkataan orang yang menolak hadits ini dengan dalih bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan riwayat-riwayat Abu Hurairah masih perlu diteliti dan dipertanyakan. Ketahuilah bahwa seandainya Abu Hurairah sendiri yang meriwayatkan hadits ini maka kita harus menerimanya karena dia adalah seorang sahabat yang pernah didoakan oleh Rasulullah agar kuat hapalannya. Apalagi jika hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri dan Anas bin Malik –semoga Allah meridhoi mereka-. Berkata Al-Khottobi هذا مما ينكره من لم يشرح الله قلبه “Hadits ini diantara hadits-hadits yang diingkari oleh orang yang tidak dilapangkan dadanya oleh Allah” (Umdatul Qori 21/293) [7] Madarijus Salikin 2/387 [8] Berkata Ibnu Hajar, “Yaitu janganlah kalian beramal dalam perkara agama dengan hanya sekedar mengandalkan otak dengan tanpa bersandar kepada dalil dari agama” (Fathul Bari 13/353, syarh hadits no7308) [9] Maksudnya adalah tatkala terjadi perundingan Hudaibiyah. Berkata Ibnu Hajar, “Disebut kejadian Abu Jandal karena kejadian yang paling genting tatkala itu adalah kisah Abu Jandal” (Fathul Bari 6/338 syarah hadits no 3181). Lihat kisah Abu Jandal dan jalannya perundingan Hudaibiyah secara lengkap pada HR Al-Bukhari no 2731,2732, Kitab As-Syurut. Secara ringkas kejadiannya sebagai berikut: Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersama para sahabatnya (diantaranya adalah Abu Bakar dan Umar) pergi dari Madinah pada hari senin bulan Dzul Qo’dah tahun ke enam Hijriah (Umdatul Qori 14/6), menuju Mekah untuk melaksanakan Umroh. Tatkala Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabatnya sampai dan singgah di Hudaibiyah datanglah Budail bin Warqo’ mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bahwa orang-orang musyrik di Mekah telah siap siaga untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabatnya dan akan mengahalangi mereka mengerjakan umroh. Nabi ÷pun berkata, إنا لم نجئ لقتال أحد ولكنا جئنا معتمرين وإن قريشا قد نهكتهم الحرب وأضرت بهم فإن شاؤوا ماددتهم مدة ويخلوا بيني وبين الناس فإن أظهر فإن شاؤوا أن يدخلوا فيما دخل فيه الناس فعلوا وإلا فقد جموا وإن هم أبوا فوالذي نفسي بيده لأقاتلنهم على أمري هذا حتى تنفرد سالفتي ولينفذن الله أمره “Sesungguhnya kami datang bukan untuk memerangi seorangpun, namun kami datang untuk mengerjakan umroh. Sesungguhnya peperangan (yang telah terjadi antara kaum muslimin dan kafir Quraisy secara berulang-ulang-pen) telah melemahkan kaum Quraisy dan telah memberi kemudhorotan kepada mereka. Jika mereka ingin maka aku akan memberikan waktu perdamaian (gencat senjata) antara aku dan orang-orang (yaitu orang-orang kafir Arab). Jika (di masa perdamaian tersebut) kaum selain mereka (yaitu orang-orang kafir dari selain kafir Quraisy kota Mekah) mengalahkan aku maka mereka tidak perlu memerangiku lagi (karena aku telah dikalahkan oleh selain mereka-pen). Dan jika aku mengalahkan kaum selain mereka, maka jika mereka ingin mentaatiku sehingga masuk dalam Islam sebagaimana orang-orang masuk dalam Islam maka silahkan. Dan jika mereka enggan masuk dalam Islam maka selepas masa gencatan senjata kekuatan mereka telah kembali. Namun jika mereka (sekarang) enggan untuk gencatan senjata maka demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, aku sungguh-sungguh akan memerangi mereka di atas agamaku hingga aku mati (dan aku bersendirian dalam kuburanku). Dan sesungguhnya Allah akan menolong agamaNya”. Akhir cerita akhirnya orang-orang Quraisy setuju dengan gencatan senjata lalu mereka mengutus Suhail bin ‘Amr untuk menulis perjanjian damai dengan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam. فجاء سهيل بن عمرو فقال هات اكتب بيننا وبينكم كتابا فدعا النبي صلى الله عليه وسلم الكاتب فقال النبي صلى الله عليه وسلم بسم الله الرحمن الرحيم قال سهيل أما الرحمن فوالله ما أدري ما هو ولكن اكتب باسمك اللهم كما كنت تكتب فقال المسلمون والله لا نكتبها إلا بسم الله الرحمن الرحيم فقال النبي صلى الله عليه وسلم اكتب باسمك اللهم ثم قال هذا ما قاضى عليه محمد رسول الله فقال سهيل والله لو كنا نعلم أنك رسول الله ما صددناك عن البيت ولا قاتلناك ولكن اكتب محمد بن عبد الله فقال النبي صلى الله عليه وسلم والله إني لرسول الله وإن كذبتموني اكتب محمد بن عبد الله (وفي رواية: وكان لا يكتب، فقال لعلي: “امْحُ رسولَ الله”، فقال علي: “والله ر أمحاه أبداً”. قال: “فأرِنِيه”. فأراه إياه فمحاه النبي بيده) فقال له النبي صلى الله عليه وسلم على أن تخلوا بيننا وبين البيت فنطوف به فقال سهيل والله لا تتحدث العرب أنا أخذنا ضغطة ولكن ذلك من العام المقبل فكتب فقال سهيل وعلى أنه لا يأتيك منا رجل وإن كان على دينك إلا رددته إلينا قال المسلمون سبحان الله كيف يرد إلى المشركين وقد جاء مسلما فبينما هم كذلك إذ دخل أبو جندل بن سهيل بن عمرو يرسف في قيوده وقد خرج من أسفل مكة حتى رمى بنفسه بين أظهر المسلمين فقال سهيل هذا يا محمد أول ما أقاضيك عليه أن ترده إلي فقال النبي صلى الله عليه وسلم إنا لم نقض الكتاب بعد قال فوالله إذا لم أصالحك على شيء أبدا قال النبي صلى الله عليه وسلم فأجزه لي قال ما أنا بمجيزه لك قال بلى فافعل قال ما أنا بفاعل قال أبو جندل أي معشر المسلمين أرد إلى المشركين وقد جئت مسلما ألا ترون ما قد لقيت وكان قد عذب عذابا شديدا في الله Lalu datanglah Suhail bin ‘Amr, lalu iapun berkata kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam “Tulislah suatu pernyataan antara kami dan kalian!”, maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam memanggil penulis (yaitu Ali bin Abi Tholib) dan menyuruhnya untuk menulis Bismillahirrohmanirrohim. Suhail berkata, “Adapun Ar-Rohim maka demi Allah, aku tidak tahu apa itu?, tapi tulislah saja bismikallahumma sebagaimana engkau pernah menulis demikian” (karena kebiasaan orang jahilah dahulu mereka menulis “bimikallahumma” dan mereka tidak mengenal bismillahirromanirrohim, lihat Umdatul Qori 14/13). Kaum muslimin (yaitu para sahabat Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam) berkata, “Demi Allah kami tidak akan menulis kecuali bimillahhirrohmanirrohim”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata kepada si penulis, “Tulilah bismikallahumma”, kemudian beliau shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan untuk menulis “Ini adalah keputusan Muhammad utusan Allah”. Suhail berkata, “Demi Allah kalau kami mengetahui bahwasanya engkau adalah utusan Allah maka kami tidak akan menghalangimu untuk umroh dan kami tidak akan memerangimu, tapi tulislah “Muhammad bin Abdillah”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Demi Allah aku adalah utusan Allah meskipun kalian mendustakan aku, tulislah “Muhammad bin Abdillah”. ((Dalam riwayat yang lain dari hadits Al-Baro’ –HR Al-Bukhari no 3184- Dan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tidak (pandai) menulis maka iapun berkata kepada Ali, “Hapuslah tulisan “Utusan Allah!”. Ali berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya selamanya”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Perlihatkanlah kepadaku tulisan tersebut!”, maka Alipun memperlihatkannya kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam pun menghapusnya dengan tangannya)). Lalu Nabi berkata kepada Suhail, “Dengan syarat kalian membiarkan kami untuk ke baitullah melaksanakan towaf”. Suhail berkata, “Demi Allah tidak (bisa demikan) –Bangsa Arab akan mengatakan bahwa kami telah terpaksa (mengalah membiarkan kalian umroh-pen)-, tapi kalian bisa umroh tahun depan”, lalu hal itupun di catat (dalam pernyataan perdamaian), lalu Suhai berkata (menambah pernyataan), “Dengan syarat tidak ada seorangpun yang datang dari kami (dari Mekah) meskipun ia berada di atas agamamu (Islam) kecuali engkau mengembalikannya kepada kami”. Para sahabat berkata, “Subhanallah, bagaiamana dikembalikan kepada orang-orang musyrik padahal ia telah datang (kepada kami) dalam keadaan beragama Islam?”. Dan tatkala mereka masih berunding membuat pernyataan perdamaian, tiba-tiba datang Abu Jandal anak Suhai bin ‘Amr dalam keadaan berjalan tertatih-tatih karena ada belenggu yang membelenggunya, ia telah lari dari bawah kota Mekah dan melemparkan dirinya di tengah-tengah para sahabat. Berkata Suhai (ayah Abu Jandal), “Wahai Muhammad ini adalah orang pertama yang aku menuntut engkau untuk mengembalikannya kepadaku!”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Kita sama sekali belum selesai membuat pernyataan!”. Suhail berkata, “Kalau begitu, demi Allah, aku sama sekali tidak mau mengadakan perundingan damai denganmu”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Biarkanlah ia (Abu Jandal) bersamaku!”, Suhail berkata, “Aku tidak akan membiarkannya bersamamu!”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Tidak, tapi engakau akan membiarkannya bersamaku, lakukanlah!”. Suhail berkata, “Aku tidak akan melakukannya”. Berkata Abu Jandal, “Wahai kaum muslimin, apakah aku dikembalikan kepada orang-orang musyrik (Mekah) padahal telah datang dalam keadaan beragama Islam?, tidakkah kalian melihat apa yang telah menimpaku?”, dan ia telah disiksa oleh orang-orang musyrik dengan siksaan yang keras karena bertahan di jalan Allah. فقال عمر بن الخطاب فأتيت نبي الله صلى الله عليه وسلم فقلت ألست نبي الله حقا قال بلى قلت ألسنا على الحق وعدونا على الباطل قال بلى قلت فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال إني رسول الله ولست أعصيه وهو ناصري قلت أو ليس كنت تحدثنا أنا سنأتي البيت فنطوف به قال بلى فأخبرتك أنا نأتيه العام قال قلت لا قال فإنك آتيه ومطوف به قال فأتيت أبا بكر فقلت يا أبا بكر أليس هذا نبي الله حقا قال بلى قلت ألسنا على الحق وعدونا على الباطل قال بلى قلت فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال أيها الرجل إنه لرسول الله صلى الله عليه وسلم وليس يعصي ربه وهو ناصره فاستمسك بغرزه فوالله إنه على الحق قلت أليس كان يحدثنا أنا سنأتي البيت ونطوف به قال بلى أفأخبرك أنك تأتيه العام قلت لا قال فإنك آتيه ومطوف به Umar berkata,”Akupun mendatangi Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan?”, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama kita?”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Aku adalah Utusan Allah dan aku tidak bermaksiat kepadaNya, dan Dia adalah penolongku”. Aku (Umar) berkata, “Bukankah engkau perrnah mengatakan kepada kami bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan bertowaf di ka’bah?”, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Iya, namun apakah aku mengabarkan kepadamu bahwa kita akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Umar bekata, “Tidak”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana”. Umar berkata, “Akupun mendatangi Abu Bakar, lalu aku katakana kepadanya, “Wahai Abu Bakar , bukankah Nabi Muhammad adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada dalam agama kita?”, Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, sesungguhnya ia adalah utusan Allah, dan tidak akan bermaksiat kepada Tuhannya, dan Tuhannya akan menolongnya, maka berpegangteguhlah dengan perintahnya dan janganlah menyelisihinya!”. Aku berkata, “Bukankah ia pernah mengabarkan kepada kita bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan berthowaf di ka’bah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja, namun apakah ia mengabarkan kepadamu bahwa engkau akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Aku berkata, “Tidak”, Abu Bakar berkata, “Engkau akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana!”. (HR Al-Bukhari no 2731, 2732, Fathul Bari 5/408-425, Umdatul Qori 14/3-14) Imam Nawawi berkata, “Para ulama berkata bahwa bukanlah pertanyaan-pertanyaan Umar kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam di atas karena keraguan, namun karena karena beliau ingin mengungkap apa yang ia tidak pahami (kenapa Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bisa memutuskan demikian –pen) dan untuk memotivasi (Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan Abu Bakar) untuk merendahkan orang-orang kafir dan memenangkan Islam sebagaimana hal ini merupakan akhlak beliau dan semangat dan kekuatan beliau dalam menolong agama dan menghinakan para pelaku kebatilan. Adapun jawaban Abu Bakar kepada Umar yang seperti jawaban Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, hal ini merupakan tanda yang sangat jelas akan tingginya kemuliaan Abu Bakar dan dalamnya ilmu beliau serta menunjukan kelebihan beliau di atas para sahabat yang lain dalam pengetahuan dan kemantapan ilmu pada seluruh perkara tersebut” (Al-Minhaj 12/141, atau cetakan Al-Ma’arif 12/353) [10] HR At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 1/72 dan Al-Bazzar dalam musnadnya 1/254 [11] Berkata Al-Muhib At-Thobari, “Hudaibiyah adalah sebuah kampung yang letaknya dekat dengan Mekah, dan sebagian besar wilayah Hudaibiyah masuk dalam tanah suci haram” (Umdatul Qori 14/6) [12] HR Al-Bukhari no 3182, Lihat Umdatul Qori 15/104 [13] HR Abu Dawud 1/42 dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Beliau juga menghasankannya dalam bulughul maram, namun beliau mengatakan dalam At-Talkhish “Isnadnya shahih” [14] Majmu’ Fatawa 5/29 [15] Ad-Dzahabi menukil perkataan Imam Malik ini dala As-Siyar 8/99 [16] Siyar A’lam An-Nubala’ 10/34 dan Hilyatul Auliya’ 9/106 [17] HR Al-Bukhari no 5479 dan Muslim 1954, Ad-Darimi no 454 (1/407) dan lafal ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah hal 96 (lihat ta’dzimus sunnah hal 24) [18] Al-Minhaj syarh shahih Muslim 13/106 [19] Fathul Bari 9/753 [20] HR Muslim no 442, Al-Bukhari no 865 namun tanpa ada kisah marahnya Abdullah bin Umar kepada anaknya Bilal [21] Al-Minhaj syarh Shaihih Muslim 4/384 [22] Fathul Bari 2/450 [23] Yaitu perkataan Aisyah لَوْ أَدْرَكَ رَسُوْلُ اللهِ مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ “Kalau seandainya Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam menjumpai apa yang diperbuat oleh para wanita (di zaman Aisyah sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam-pen) maka ia akan melarang mereka sebagaimana dilarangnya para wanita dari bani Israil” (HR Al-Bukhari no 869) [24] Lihat Musnad Imam Ahmad no 4933 [25] Fathul Bari 2/450 [26] Dikeluarkan oleh Ibnu Battoh di Al-Ibanah no 94 [27] Dikeluarkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah no 95 [28] Siyar A’lam An-Nubala (15/485) dan Thobaqoot As-Syafi’iyah karya As-Subki (3/10) [29] Madarijus Salikin 1/334 [30] Madarijus Salikin 1/334 [31] Al-Wabil As-Soyyib hal 24, dar Ibnul Jauzi [32] HR Ad-Darimi no 206 (1/285). Berkata Pentahqiq, “Isnadnya shahih dan atsar ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah 2/517 no 607 dan Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Usulil Ahkam 6/1030 dari dua jalan keduanya dari Malik bin Migwal” [33] HR Ad-Darimi no 446 (1/401), berkata pentahqiq :”Isnadnya shohih” [34] I’lamul Muwaqqi’in 2/201 [35] I’lamul Muwaqqi’in 2/202 [36] Maksudnya adalah haji qiron. Haji qiron juga disebut tamattu’ karena digabungkannya umroh dan haji dalam satu amalan [37] Jami’ bayan Al-‘Ilmi wa fadlihi 1/129 no 443, Musnad Ahmad no 3121 [38] Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Kitabut Tauhid. [39] HR Muslim (Al-Masajid, bab qodho As-Sholat Al-Faitah) [40] HR Ahmad dalam kitab fadhoil As-Shohabah 1/186, di Al-Musnad 5/399, Al-Bukhari di Al-Kuna hal 50 dan At-Thirmidzi dalam sunannya (Al-Manaqib, bab manaqib Abi Bakr wa Umar), beliau berkata, Hadits Hasan” [41] HR Ahmad dalam Al-Musnad 4/126,127, Abu Dawud (As-Sunnah, bab luzumis Sunnah), At-Thirmidzi (Kitabul Ilmu, bab ما جاء في الأَخذ في السنة واجتناب البدعة) [42] Al-Qaoul Al-Mufid, Syaikh Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi 2/152 [43] Berkata Syaikh Al-Albani; “Diriwayatkan oleh At-Thohawi dalam Syarh Ma’anil Atsar (1/372 fotokopian maktabah) dan Abu Ya’la pada musnadnya (3/1317) dengan isnad yang jayyid (baik), para perawinya tsiqoh” (Sifat sholat Nabi hal 54) [44] Mengisy’ar yiatu memberi tanda kepada onta dengan menggores (melukai) salah satu sisi dari dua sisi punuk unta hingga mengalir darahnya, yang ini dijadikan sebagai tanda bahwa onta ini merupakan hewan hadyu haji. (Tuhfatul Ahwadzi 3/770) [45] Atsar ini dibawakan oleh Imam At-Thirmidzi dalam sunan beliau di bawah hadits no 906. [46] Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Kitabut Tauhid [47] HR Ad-Darimi no 455 (1/401), berkata pentahqiq ,”Isnadnya hasan karena ada perowi yang bernamaSa’id bin Basyir” [48] Karena kalimat شَيْءٍ adalah nakiroh dalam konteks kalimat syarat maka memberikan faedah keumuman (sebagaimana kaedah ini jelas dalam kitab-kitab ushul fiqh). Lihat Sittu Duror hal 74, dan Adhwaul Bayan 1/204 [49] Majmu’ Fatawa 28/471 [50] Mukhtashor Sowa’iq Al-Mursalah 2/353 [51] Sebagaimana perkataa Al-Kirkhi dalam bukunya Ar-Risalah fi ushulil hanafiyah hal 169-170 (dicetak bersama buku ta’sis an-nadzor, karya Ad-Dabbusi): “Semua ayat yang menyelesihi pendapat para sahabat kami (penganut madzhab Hanafi) maka ayat tersebut di ta’wil (dipalingkan maknanya dari makna yang dzhohir/nampak) atau ayat tersebut sudah mansukh. Dan demikian juga halnya dengan seluruh hadits maka dita’wil atau mansukh” [52] Yang lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan pahit yang nampak di sebagian pendok-pondok pesantren yang ada di Indonesia dimana murid-murid pndok pesantren menjadikan perkataan para kiyai mereka (yang jelas-jelas kedudukannya jauh di bawah kedudukan para imam madzhab) seperti perkataan Nabi. Apalagi jika kiyai tersebut telah mendapatkan predikat WALI, maka seluruh perkataannya dibenarkan oleh para pengikutnya. Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan “Seandainya wali fulan menyatakan bahwa langit warnanya merah maka akan saya benarkan”??? [53] Ibnu Abidin, dalam hasyiahnya (1/63) dan risalah beliau “Rosmul Mufti” (1/4 dari majmu’ah rosail Ibnu Abidin). Lihat Sifat sholat Nabi hal 46 (catatan kaki) [54] Ibnu Abdil Barr dalam bukunya “Al-Intiqo’ fi fadhoil Ats-Tsalatsah Al-Aimmah Al-Fuqoha’” hal 145, Ibnu Abidin dalam Hasyiahnya terhadap Al-Bahr Ar-Roiq (6/293) dan dalam Rosmul Mufti hal 29,32, lebih lengkapnya selanjutnya lihat Sifat Sholat Nabi hal 46 (catatan kaki) [55] Sifat shalat Nabi hal 47 [56] Ibnu Abdilbar dalam Al-Jami’ (2/32) [57] Lihat takhrij atsar ini dalam shifat sholat Nabi hal 49 [58] Muqoddimah Al-Jarh wa At-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim hal 31-32 dan diriwayatkan secara sempurna oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan (1/81) [59] An-Nawawi dalam Majmu’ (1/63) [60] An-Nawawi dalam Majmu’ (1/63) [61] Ibnu Asakir, dalam tarikh Dimasq dengan sanad yang shahih 15/10/1 [62] Ibnu Abi Hatim hal 93-94 [63] Ibnul Qoyyim, I’lamul Muwaqqi’in (2/302) [64] Ibnu Abdilbar di “Al-Jami’” (2/149) [65] Sifat shalat Nabi hal 53-54 @Sumber:Firanda.com
b. Imam Malik bin Anas
d. Imam Ahmad bin Hanbal
www.firanda.com