Showing posts with label Keluarga. Show all posts
Showing posts with label Keluarga. Show all posts

SERBA SERBI POLIGAMI

Tidak diragukan bahwa syari’at poligami merupakan syari’at yang mulia yang diturunkan oleh Pencipta seluruh manusia baik para lelaki maupun para wanita, Pencipta yang lebih mengetahui kemaslahatan makhluk yang Ia ciptakan. Akan tetapi kenyataannya praktik poligami tidak semudah yang dibayangkan…

Berikut ini kumpulan tulisan-tulisan ringan tentang poligami (sebagian besar tulisan ini telah dipublish sebelumnya di firanda.com):

 

PERTAMA : Rintihan Poligami

(seakan-akan poligami berkata):

(1) Mereka memusuhiku…padahal aku datang dari sisi Rob mereka..
Jika yang memerangiku orang-orang kafir yang membenci Muhammad dan umatnya maka aku tdk peduli…akan tetapi ternyata yg memerangiku
para wanita muslimah…, bahkan para wanita yang rajin mengikuti pengajian??, bahkan para wanita yang merupakan panitia pengajian??

(2) Orang-orang kafir terus memusuhiku, menghinaku sebagaimana sikap mereka terhadap hukum waris yg mereka anggap tdk adil, karena jika mereka berhasil menikamku maka jatuhlah syari’at Muhammad dan kenabiannya dihadapan mereka…

Apakah mereka lupa bahwa Nabi-nabi mereka Dawud dan Sulaiman-disebutkan dalam injil mereka- juga berpoligami?

(3) Bukankah kebanyakan mereka -sekarang ini- juga berpoligami bahkan lbh dari 4 wanita?, hanya saja tanpa pernikahan resmi (alias zina?), tanpa ada pengingkaran sama sekali dari mereka?, lantas poligami yg penuh aturan kenapa harus mereka ingkari?

(4) Aku adalah anugrah yang Allah turunkan bagi hamba-hambaNya…akan tetapi banyak yang tidak menyadarinya…atau tdk mau menyadarinya…

Bahkan aku adalah mukjizat Allah, karena aku memperhatikan kemaslahatan umum…bukan hanya kemaslahatan pribadi. Boleh jadi istri pertama merasa mendapatkan kemudorotan atau merasa dizolimi akan tetapi masih terlalu banyak janda…perawan tua…bahkan perawan muda…yg menanti-nanti kehadiranku??

Bukankah :

–         Jumlah para wanita lebih banyak dari jumlah para lelaki?

–         Selain sedikit, ternyata tidak semua lelaki dewasa siap menikah?, ia harus mempersiapkan ekonomi dan mentalnya. Berbeda dgn wanita, jika sudah baligh maka siap menunggu lamaran menyapa…

–         Selain sedikit, aktivitas kerjaan para lelaki lebih menantang kepada kematian…, berbeda dengan aktivitas para wanita yang kebanyakan di rumah…

–         Para lelaki juga tidak ada liburnya, tidak ada haid dan nifas yg berkepanjangan, selalu produktif.

(5) Bukankah dgn kehadiranku banyak permasalahan sosial yg bisa diatasi?, mengurangi praktik seksual yang salah dan haram?


Bukankah dengan kehadiranku akan memperbanyak kelahiran umat dan pasukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?, sukakah anda menyenangkan hati Nabi pada hari kiamat kelak yang bangga dengan banyaknya umatnya dihadapan umat-umat dan nabi-nabi yang lain?

(6) Wahai para wanita muslimah…sungguh ANEH…

–         Sebagian wanita memilih lebih baik diracun (suaminya berzina) daripada dimadu (suaminya berpoligami)…

Ini adalah tanda rusaknya fitroh sang wanita…
Ia tdk mau membagi cinta kekasihnya kepada sahabatnya sesama muslimah…egois ia kedepankan daripada sikap perhatian terhadap sesama muslimah…

Akan tetapi ternyata ia mampu untuk membuang ego-nya tatkala cinta kekasihnya dibagikan kepada para wanita pelacur…!!!

–         Sebagian wanita memandang bahwa jika ia dipoligami berarti ia tdk sukses dan telah gagal dalam melayani suami !!, atau merasa suaminya tdk lagi mencintainya…ini adlh kelaziman yg tdk lazim !!!. Bukankah Aisyah adalah istri yg paling dicintai Nabi? Ternyata setelah menikahi Aisyah, Nabi masih menikah lagi dgn sekitar 7 wanita yg lain

(7) Sebagian wanita menghujatku… padahal aku tidak pernah bersalah…yang bersalah adalah para lelaki yang tidak bertanggung jawab dalam menjalaniku…
(8) Wahai ukhti… Jika engkau tidak sudi denganku… Maka janganlah kau benci diriku…jangan pula kau ajak suamimu untuk memusuhiku…apalagi berkampanye kepada para ibu-ibu untuk memusuhiku….ingatlah aku datang dari Robmu…, jangan kau bantu propaganda orang-orang kafir yg membenci syariat Robmu. Doakan saja semoga para lelaki bisa menjalaniku dengan baik.

 

KEDUA : Bersyukurlah agar ditambah…

          Barang siapa yang mensyukuri nikmat Allah maka Allah akan menambah nikmatnya. Karenanya diantara kiat agar seorang lelaki bisa bertambah jumlah istrinya maka hendaknya ia banyak-banyak bersyukur dengan istri pertamanya. Hendaknya ia mensyukuri nikmat istri pertamanya dengan memenuhi hak-haknya…, mendidiknya…, membahagiakannya…

Jika ia telah berusaha bersyukur dengan sebaik-baiknya, maka bisa jadi Allah akan menambahkan baginya istri yang baru. Karenanya para lelaki yang sulit untuk poligami maka jangan-jangan karena kurang bersyukur….??!!

Yang menyedihkan adalah seorang suami yang tatkala hidup susah dan miskin maka istrinya begitu setia dan juga ikut bekerja bersusah payah menjalani kehidupan yang penuh penderitaan bersamanya, namun tatkala sang suami berhasil menjadi seorang yang berkecukupan maka sang suami langsung poligami bahkan malah kurang memperhatikan kondisi istri pertamanya….seakan-akan ia lupa bahwa uang yang diperolehnya bukan semata usahanya, akan tetapi juga akibat andil istrinya yang bekerja keras membantunya…

Diantara pertanyaan aneh yang pernah ditanyakan kepada saya adalah ada seorang lelaki yang dinafkahi oleh istrinya. Suatu saat sang suami pinjam uang kepada istrinya….ternyata uang tersebut digunakan untuk berpoligami !!?


KETIGA : Jadi Kambing atau Serigala??

Seorang praktisi poligami berkata : “Tatkala aku berpoligami aku menyangka diriku seperti seekor serigala yang selalu siap menyantap dua ekor kambing betina. Ternyata setelah menjalankan poligami maka aku seperti kambing diantara dua serigala yang senantiasa siap menerkam”
Maksudnya : setiap hari ia menjadi bulan-bulanan diantara kedua istrinya, diantara omelan dan tuntutan kedua istrinya….

Di sisi lain ada praktisi lain yang berkata : Semenjak aku berpoligami maka kedua istriku bertambah sayang kepadaku, karena keduanya selalu berlomba untuk memberikan kepuasan terbaik bagiku….
(Kalau ini benar-benar manjadi serigali diantara dua kambing betina)

KEEMPAT : Nasehat Seorang Wanita Yang Mendahulukan akal daripada perasaannya

wanita (A) menasehati wanita (B) sahabatnya.

B : Pokoknya kalau suamiku poligami aku akan minta cerai darinya

A : Kenapa engkau harus minta cerai?

B : Pokoknya aku tidak mau dimadu

A : Kalau kamu sudah dicerai kamu mau nikah lagi?

B : Tentu, pokoknya aku tdk mau dipoligami

A : Kalau kamu sudah jadi janda biasanya hanya laku untuk jadi istri kedua

B : Iya sih

A : Kalau gitu lebih baik kamu jangan minta cerai kalau toh akhirnya harus jadi istri kedua juga. Lebih baik kamu tetap bersama suamimu dan statusmu tetap menjadi istri pertama

B : Iya juga sih….


KELIMA : Lebih mudah meminta maaf daripada meminta izin !!!

Itulah ucapan yang dilontarkan oleh seorang Doktor Fikih Lulusan Universitas Islam Madinah yang berasal dari Malaysia. Apa maksudnya…?

Beliau menjelaskan bahwa jika seseorang ingin poligami lalu meminta izin dari istrinya maka bisa jadi puluhan tahun izin tidak akan ia dapatkan dari istrinya. Lebih mudah baginya jika ia langsung poligami lalu setelah itu meminta maaf kepada istrinya. Maka biasanya meskipun dengan sangat berat, akhirnya istrinya pun akan memaafkan, meskipun agak lama….

Tentu pernyataan sang Doktor ini akan menimbulkan kontroversi diantara kalangan para wanita…


KEENAM : Suami atau Istri Yang Penakut ??

Sebagian para suami begitu bersemangat untuk membaca atau mengikuti kajian-kajian yang bertema poligami. Selain berniat untuk menambah ilmu, demikian juga untuk memotivasi diri berpoligami, serta untuk menghilangkan “Rasa Takut” yang selalu mengahtui.
Namun kebanyakan mereka setelah mengahdiri kajian-kajian tersebut, ternyata tetap saja ….PENAKUT….

Meskipun sebenarnya lafal “penakut” tersebut kurang tepat. Lafal yang lebih tepat adalah “Terlalu Sayang Sama Istri…” atau “Tidak tega menyakiti dan menyedihkan istri…”. Meskipun kenyataan yang ada memang sempat terungkap ancaman-ancaman yang mengerikan dari sebagian istri seperti “Kalau kamu poligami maka akan saya ulek kamu…”, ada juga yang berkata, “Akan kucincang kamu…”, atau ada yg berkata, “Akan kujadikan sate kamu”
Akan tetapi toh, pada hakekatnya itu hanyalah ancaman seorang istri yang sangat mencintai suaminya, dan sangat ketakutan jika ditinggal suaminya. Jadi sang istrilah yang “Penakut”. Wallahu A’lam

Semoga Allah menjadikan anda dan istri anda pasangan yang harmonis, di dunia sebelum dikumpulkan di surga…aamiin

 

KETUJUH : Ta’ad (singkatan dari ta’addud)

Sekelompok suami berkumpul dan berbicara tentang poligami (ta’addud). Namun mereka takut ketahuan istri-istri mereka yg sering mencuri dengar pembicaraan mereka dari dalam rumah, maka para suami tersebut sepakat untuk menyingkat kata ta’addud menjadi ta’ad (yang sekilas terdengar menjadi ta’at) agar disangka oleh istri-istri mereka bahwa mereka sedang membicarakan tentang keta’atan kepada Allah dan bukan tentang poligami.
Diantara pembicaraan mereka adalah : Kita harus ta’at….

Kalau kita ta’at maka sebaiknya diam-diam lebih baik (lebih ikhlas) dan lebih selamat…

Kita harus mendukung ta’at…

Demikianlah pembicaraan mereka…tentang ta’ad sementara dud nya tdk pernah mereka ucapkan karena takut ketahuan

(Demikian tutur salah seorang dari kumpulan para suami tersebut kepada saya)


KEDELAPAN : Seorang Guru Matematika Berbicara tentang Poligami

di salah satu stasiun TV Arab seorang guru matematika berkata :
Kalau dipikir, fungsi seorang istri untuk benar-benar melayani suami dalam setahun kira-kira hanya seratus hari (sepertiga tahun)
Hal ini disimpulkan dari 365 hari (setahun) – (dikurangi) masa haid (7×12) – waktu ziarohnya ke rumah ortunya/kerabatnya – masa sakitnya – kalau hamil? – masa nifasnya –…. Intinya ada waktu-waktu yg istri tdk bisa melayani suami dgn baik, yang membuktikan butuhnya wanita/istri yg lain dalam memenuhi kekosongan tersebut.

Akan tetapi…., kami guru matematika hanya menghitung, yang mempraktekan poligami adalah guru agama (ustadz) bukan guru matematika..,
(Ini hanya tuturan sang guru matematika, bisa jadi teori dan penjumlahan yg ia utarakan tdk disetujui)

 

KESEMBILAN : Nasehat bagi wanita yang takut dipoligami

Ukhti Muslimah…

Ketahuilah…, bahwa sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aala tidak akan membiarkan hambaNya berkata “Kami telah beriman” begitu saja…, karena pengakuan itu membutuhkan bukti dalam kehidupan…
Ukhtii….
Jika sekiranya suatu saat engkau diuji dengan poligami atau hal itu saat ini sedang engkau hadapi…kemudian engkau memaksakan suamimu memilih alternatif yang kau sodorkan….

Tinggalkan maduku…, Abaikan dan campakan dia…

Atau…
Berpisahlah dariku !!!

Pilihan ini pada hekekatnya adalah beban dan resiko bagi orang yang selama ini engkau cintai. Tak terbayangkah olehmu, jika ia mengambil pilihan kedua…lalu ia meninggalkanmu…??, apakah itu menyelesaikan permasalahan hidupmu??, ataukah itu hanya menimbulkan permasalahan-permasalahan yang baru dalam hidupmu??

Mungkin engkau berkata, “Biarkanlah itu terjadi…”

Ukhtii muslimah…

Memang kau tidak pernah takut menjalani dan menghadapi kehidupan tanpa suami.., maka kutanyakan kepada hati kecilmu…kutanyakan kepada imanmu… kutanyakan kepada akal sehatmu…, Manakah yang lebih baik, membagi cinta dan kebahagiaan yang ada, ataukah mencampakkannya…?

Jika kau katakan bahwa :

“Lebih baik tak bersuami dari pada membagi cinta kepada yang lain…”.

Maka kukatakan kepadamu, “Mungkin engkau tegar dalam kesendirianmu, namun…tidakkah kau risaukan nasib anak-anakmu..??”

Kau mungkin tidak akan mengabaikan mereka…, namun ketahuilah, bahwa kasih dan sayang tidak dapat dibeli dengan harta dunia. Anak-anakmu tetap membutuhkan belaian kasih sayang ayah mereka…, membutuhkan kebersamaanmu dan suamimu. Aku yakin engkau tahu itu…namun kau sengaja tidak ingin mengerti karena keegoisan cintamu !!

Ukhtii fillah…

Aku bertanya kepadamu…, apakah manfaat dan faedah jika engkau menerima madumu sebagai racun dalam kehidupanmu…?? Sehingga engkau menjalani hidup bersama suamimu hampir-hampir tanpa cinta dan kerinduan..
Dan tatkala suamimu bersama madumu…kau tinggal dalam kesendirian dengan penuh dendam dan permusuhanmu…

Apakah kehidupan seperti ini membahagiakanmu??, apakah kehidupan seperti ini menambah cinta suamimu kepadamu..??

Engkau menjadi wanita yang hidup tanpa cinta…, tanpa perasaan…tanpa kerinduan…, tersiksa…, gelisah.., dendam yang membara…, deraian tangisan yang tak kunjung henti…, engkau seperti wanita yang hidup dalam kematian…
Semua itu…karena kau telah menjadikan madumu sebagai racun cinta dan kebahagiaanmu. Kau meneguknya bersama kemarahan dan kebencian…perlahan-lahan racun itu menjalar ke seluruh tubuhmu…. Dan jika tidak memakan jasadmu maka akan memakan hatimu

 

KESEPULUH : Puisi Poligami

Rayuan SUAMI :

Istriku…,
jika engkau bumi, akulah mentari… Aku menyinari kamu
Dan dikau selalu mengharapkan hangatnya sinarku…
Lalu terbesik dlm hatiku…bukankah Tuhan menciptakan aku bukan hanya untuk bumi??
Ternyata ada planet-planet lain yang juga mengharap hangatnya sinarku
JADI…
Relakanlah aku menyinari planet lain, merasakan hangatnya sinarku, merasakan faedah keberadaanku, karena sudah kodrati..dan Tuhan pun tak marah…

Balasan Puisi sang ISTRI :

Suamiku, bila kau memang mentari, sang surya penebar cahaya, aku rela kau berikan sinarmu kepada segala planet yang pernah Tuhan ciptakan
karna mereka juga seperti aku butuh penyinaran, dan akupun juga tak akan merasa kurang dengan pencahayaanmu


TAPIIIIIIII..

Bila kau hanya sejengkal lilin yang berkekuatan 5 watt,
jangan bermimpi menyinari planet lain!!! Karena kamar kita yang kecil pun belum sanggup kau terangi…

 

KESEBELAS : Poligami Sunnah Terindah…

Istri : Mas..mas, buat apa kamu poligami…???

Suami : Demi menjalankan sunnah bu…

Istri : Sunnah itu masih banyak…, wong kamu jarang sholat malam, jarang puasa sunnah, jarang berinfak, lantas kenapa kamu malah memilihi sunnah poligami dan tidak mengerjakan sunnah-sunnah yang lain…??!

Suami : Karena poligami adalah sunnah terindah…!!!

 

KEDUA BELAS : Poligami Menambah Kecintaan Pada Istri Pertama

Suami : Istriku… yakinlah jika aku berpoligami maka aku akan semakin cinta kepadamu…

Istri : Mas-mas kamu kalau nggombal kok ngawur gitu… Kalau kamu kawin lagi berarti cintamu kepadaku kamu bagi dua !!!, bagaimana kok bisa semakin cinta kepadaku??, yang benar adalah cintamu semakin luntur kepadaku

Suami : Itu tidak benar istriku…kalau aku hanya sama kamu terus aku kawatir akan muncul kebosanan…adapun jika aku berpoligami maka akan ada variasi dalam kehidupanku, sehingga jika aku berada di madumu maka kerinduanku kepadamu akan semakin menggebu-gebu !!

 

KETIGA BELAS : Istriku Selalu Siap Jika Aku berpoligami !!

Seorang lelaki berkata, “Istriku selalu siap jika aku akan berpoligami !!”

Temannya nyeletuk : “Wah hebat sekali istrimu…, gimana cara kamu mendidiknya…”

Sang lelaki berkata, “Maksudku…istriku senantiasa siap membawa pentungan kalau aku berpoligami …!!”

 

KEEMPAT BELAS : Guntur dan Gledek Terus, tapi Tak Pernah Hujan…

Kenyataan yang ada, banyak lelaki yang hobinya membicarakan poligami…, bahkan sebagian suami begitu semangat dan juga menunjukkan semangatnya untuk berpoligami. Semangatnya begitu menggelegar…akan tetapi kenyataannya ia tidak pernah bisa dan selalu takut untuk berpoligami.

Orang seperti ini selalu menggelegar semangatnya seperti guntur dan halilintar akan tetapi…tidak pernah turun hujannya !!!

Justru sebagian suami yang pendiam, jarang atau hampir tidak pernah membicarakan poligami…akan tetapi tiba-tiba ia telah menggandeng istri keduanya…(Diam-diam menghanyutkan…)

Nah anda termasuk guntur dan gledek tapi tak pernah hujan…, ataukah termasuk air yang diam tapi menghanyutkan ??!!. Ataukah anda adalah guntur yang segera menurunkan hujan ???

 

KEEMPAT BELAS : Saya Juga Mau !!!

          Sekelompok ibu-ibu pengajian mendatangi seorang ustadz yang sudah cukup berumur. Mereka dengan begitu semangatnya mengeluhkan kepada sang ustadz tentang kondisi suami-suami mereka yang ingin berpoligami. Maka sang ustadz lalu berkata, “Kenapa ibu-ibu?, suami ibu-ibu ingin poligami ??, wah saya juga mau !!!”

Maka segera buyarlah para ibu-ibu tersebut kecewa mendengar jawaban sang ustadz.

 

Penutup : Poligami adalah syari’at yang mulia, akan tetapi tidak semua lelaki bisa dan mampu serta dewasa dan bijak dalam menjalankannya. Barang siapa yang tidak adil dalam menjalankan poligami maka ia akan dipermalukan oleh Allah pada hari kiamat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :

من كان له امرأتان فمال إلى إحداهما جاء يوم القيامة وشقه مائل

“Barang siapa yang memiliki dua istri lalu ia condong kepada salah satunya maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam kondisi badannya miring”

Namun ditengah buruknya praktek poligami oleh sebagian suami, maka barang siapa yang bisa menerapkan poligami dengan baik maka semoga ia bisa menjadi teladan dan motivator bagi yang lainnya. Ia telah menghidupkan sunnah yang mulai ditinggalkan.

 

@sumber Firanda.com

“Kisah Istri Sholehah…” (Berhak Untuk Dibaca…!!)

Seorang istri menceritakan kisah suaminya pada tahun 1415 H, ia berkata :

Suamiku adalah seorang pemuda yang gagah, semangat, rajin, tampan, berakhlak mulia, taat beragama, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia menikahiku pada tahun 1390 H. Aku tinggal bersamanya (di kota Riyadh) di rumah ayahnya sebagaimana tradisi keluarga-keluarga Arab Saudi. Aku takjub dan kagum dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Aku bersyukur dan memuji Allah yang telah menganugerahkan kepadaku suamiku ini. Kamipun dikaruniai seorang putri setelah setahun pernikahan kami.

Lalu suamiku pindah kerjaan di daerah timur Arab Saudi. Sehingga ia berangkat kerja selama seminggu (di tempat kerjanya) dan pulang tinggal bersama kami seminggu. Hingga akhirnya setelah 3 tahun, dan putriku telah berusia 4 tahun… Pada suatu hari yaitu tanggal 9 Ramadhan tahun 1395 H tatkala ia dalam perjalanan dari kota kerjanya menuju rumah kami di Riyadh ia mengalami kecelakaan, mobilnya terbalik. Akibatnya ia dimasukkan ke Rumah Sakit, ia dalam keadaan koma. Setelah itu para dokter spesialis mengabarkan kepada kami bahwasanya ia mengalami kelumpuhan otak. 95 persen organ otaknya telah rusak. Kejadian ini sangatlah menyedihkan kami, terlebih lagi kedua orang tuanya lanjut usia. Dan semakin menambah kesedihanku adalah pertanyaan putri kami (Asmaa’) tentang ayahnya yang sangat ia rindukan kedatangannya. Ayahnya telah berjanji membelikan mainan yang disenanginya…

Kami senantiasa bergantian menjenguknya di Rumah Sakit, dan ia tetap dalam kondisinya, tidak ada perubahan sama sekali. Setelah lima tahun berlalu, sebagian orang menyarankan kepadaku agar aku cerai darinya melalui pengadilan, karena suamiku telah mati otaknya, dan tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya. Yang berfatwa demikian sebagian syaikh -aku tidak ingat lagi nama mereka- yaitu bolehnya aku cerai dari suamiku jika memang benar otaknya telah mati. Akan tetapi aku menolaknya, benar-benar aku menolak anjuran tersebut.

Aku tidak akan cerai darinya selama ia masih ada di atas muka bumi ini. Ia dikuburkan sebagaimana mayat-mayat yang lain atau mereka membiarkannya tetap menjadi suamiku hingga Allah melakukan apa yang Allah kehendaki.

Akupun memfokuskan konsentrasiku untuk mentarbiyah putri kecilku. Aku memasukannya ke sekolah tahfiz al-Quran hingga akhirnya iapun menghafal al-Qur’an padahal umurnya kurang dari 10 tahun. Dan aku telah mengabarkannya tentang kondisi ayahnya yang sesungguhnya. Putriku terkadang menangis tatkala mengingat ayahnya, dan terkadang hanya diam membisu.

Putriku adalah seorang yang taat beragama, ia senantiasa sholat pada waktunya, ia sholat di penghujung malam padahal sejak umurnya belum 7 tahun. Aku memuji Allah yang telah memberi taufiq kepadaku dalam mentarbiyah putriku, demikian juga neneknya yang sangat sayang dan dekat dengannya, demikian juga kakeknya rahimahullah.

Putriku pergi bersamaku untuk menjenguk ayahnya, ia meruqyah ayahnya, dan juga bersedekah untuk kesembuhan ayahnya.
Pada suatu hari di tahun 1410 H, putriku berkata kepadaku : Ummi biarkanlah aku malam ini tidur bersama ayahku…
Setelah keraguan menyelimutiku akhirnya akupun mengizinkannya.

Putriku bercerita :

Aku duduk di samping ayah, aku membaca surat Al-Baqoroh hingga selesai. Lalu rasa kantukpun menguasaiku, akupun tertidur. Aku mendapati seakan-akan ada ketenangan dalam hatiku, akupun bangun dari tidurku lalu aku berwudhu dan sholat –sesuai yang Allah tetapkan untukku-.

Lalu sekali lagi akupun dikuasai oleh rasa kantuk, sedangkan aku masih di tempat sholatku. Seakan-akan ada seseorang yang berkata kepadaku, “Bangunlah…!!, bagaimana engkau tidur sementara Ar-Rohmaan (Allah) terjaga??, bagaimana engkau tidur sementara ini adalah waktu dikabulkannya doa, Allah tidak akan menolak doa seorang hamba di waktu ini??”

Akupun bangun…seakan-akan aku mengingat sesuatu yang terlupakan…lalu akupun mengangkat kedua tanganku (untuk berdoa), dan aku memandangi ayahku –sementara kedua mataku berlinang air mata-. Aku berkata dalam do’aku, “Yaa Robku, Yaa Hayyu (Yang Maha Hidup)…Yaa ‘Adziim (Yang Maha Agung).., Yaa Jabbaar (Yang Maha Kuasa)…, Yaa Kabiir (Yang Maha Besar)…, Yaa Mut’aal (Yang Maha Tinggi)…, Yaa Rohmaan (Yang Maha Pengasih)…, Yaa Rohiim (Yang Maha Penyayang)…, ini adalah ayahku, seorang hamba dari hamba-hambaMu, ia telah ditimpa penderitaan dan kami telah bersabar, kami Memuji Engkau…, kemi beriman dengan keputusan dan ketetapanMu baginya…

Ya Allah…, sesungguhnya ia berada dibawah kehendakMu dan kasih sayangMu.., Wahai Engkau yang telah menyembuhkan nabi Ayyub dari penderitaannya, dan telah mengembalikan nabi Musa kepada ibunya…Yang telah menyelamatkan Nabi Yuunus dari perut ikan paus, Engkau Yang telah menjadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim…sembuhkanlah ayahku dari penderitaannya…

Ya Allah…sesungguhnya mereka telah menyangka bahwasanya ia tidak mungkin lagi sembuh…Ya Allah milikMu-lah kekuasaan dan keagungan, sayangilah ayahku, angkatlah penderitaannya…”

Lalu rasa kantukpun menguasaiku, hingga akupun tertidur sebelum subuh.

Tiba-tiba ada suara lirih menyeru.., “Siapa engkau?, apa yang kau lakukan di sini?”. Akupun bangun karena suara tersebut, lalu aku menengok ke kanan dan ke kiri, namun aku tidak melihat seorangpun. Lalu aku kembali lagi melihat ke kanan dan ke kiri…, ternyata yang bersuara tersebut adalah ayahku…

Maka akupun tak kuasa menahan diriku, lalu akupun bangun dan memeluknya karena gembira dan bahagia…, sementara ayahku berusaha menjauhkan aku darinya dan beristighfar. Ia barkata, “Ittaqillah…(Takutlah engkau kepada Allah….), engkau tidak halal bagiku…!”. Maka aku berkata kepadanya, “Aku ini putrimu Asmaa'”. Maka ayahkupun terdiam. Lalu akupun keluar untuk segera mengabarkan para dokter. Merekapun segera datang, tatkala mereka melihat apa yang terjadi merekapun keheranan.

Salah seorang dokter Amerika berkata –dengan bahasa Arab yang tidak fasih- : “Subhaanallahu…”. Dokter yang lain dari Mesir berkata, “Maha suci Allah Yang telah menghidupkan kembali tulang belulang yang telah kering…”. Sementara ayahku tidak mengetahui apa yang telah terjadi, hingga akhirnya kami mengabarkan kepadanya. Iapun menangis…dan berkata, اللهُ خُيْرًا حًافِظًا وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ Sungguh Allah adalah Penjaga Yang terbaik, dan Dialah yang Melindungi orang-orang sholeh…, demi Allah tidak ada yang kuingat sebelum kecelakaan kecuali sebelum terjadinya kecelakaan aku berniat untuk berhenti melaksanakan sholat dhuha, aku tidak tahu apakah aku jadi mengerjakan sholat duha atau tidak..??

          Sang istri berkata : Maka suamiku Abu Asmaa’ akhirnya kembali lagi bagi kami sebagaimana biasnya yang aku mengenalinya, sementara usianya hampir 46 tahun. Lalu setelah itu kamipun dianugerahi seorang putra, Alhamdulillah sekarang umurnya sudah mulai masuk tahun kedua. Maha suci Allah Yang telah mengembalikan suamiku setelah 15 tahun…, Yang telah menjaga putrinya…, Yang telah memberi taufiq kepadaku dan menganugerahkan keikhlasan bagiku hingga bisa menjadi istri yang baik bagi suamiku…meskipun ia dalam keadaan koma…

Maka janganlah sekali-kali kalian meninggalkan do’a…, sesungguhnya tidak ada yang menolak qodoo’ kecuali do’a…barang siapa yang menjaga syari’at Allah maka Allah akan menjaganya.

Jangan lupa juga untuk berbakti kepada kedua orang tua… dan hendaknya kita ingat bahwasanya di tangan Allah lah pengaturan segala sesuatu…di tanganNya lah segala taqdir, tidak ada seorangpun selainNya yang ikut mengatur…

Ini adalah kisahku sebagai ‘ibroh (pelajaran), semoga Allah menjadikan kisah ini bermanfaat bagi orang-orang yang merasa bahwa seluruh jalan telah tertutup, dan penderitaan telah menyelimutinya, sebab-sebab dan pintu-pintu keselamatan telah tertutup…

Maka ketuklah pintu langit dengan do’a, dan yakinlah dengan pengabulan Allah….
Demikianlah….Alhamdulillahi Robbil ‘Aaalamiin (SELESAI…)

          Janganlah pernah putus asa…jika Tuhanmu adalah Allah…
          Cukup ketuklah pintunya dengan doamu yang tulus…
          Hiaslah do’amu dengan berhusnudzon kepada Allah Yang Maha Suci
          Lalu yakinlah dengan pertolongan yang dekat dariNya…

(sumber : http://www.muslm.org/vb/archive/index.php/t-416953.html , Diterjemahkan oleh Firanda Andirja)

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 19-11-1434 H / 25 September 2013 M

@sumber Firanda.com

Diantara Sebab Bandelnya Anak

Kita mungkin heran melihat ada seorang sholeh dan begitu cerdas sekelas Al-Imam Al-Bukhari (Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughiroh bin Bardzibah Al-Bukhari Al-Ju’fi) rahimahullah. Kita sungguh berangan-angan bisa memiliki anak yang sholeh seperti Al-Imam Al-Bukhari dan juga para imam yang lainnya.

Diantara sebab Al-Imam Al-Bukhari menjadi anak yang sholeh adalah karena kesholehan ayah beliau Abul Hasan Isma’il bin Ibarahim.

Ahmad bin Hafsh berkata

دَخَلْتُ عَلَى أَبِي الْحَسَنِ إِسْمَاعِيْلَ بْنَ إِبْرَاهِيْمَ عِنْدَ مَوْتِهِ فَقَالَ: لاَ أَعْلَمُ فِي جَمِيْعِ مَالِي دِرْهَماً مِنْ شُبْهَةٍ

“Aku masuk menemui Abul Hasan Isma’il bin Ibrahim tatkala ia hendak meninggal. Maka beliau berkata, “Aku tidak mengetahui di seluruh hartaku ada satu dirham yang aku peroleh dengan syubhat” (Taariikh At-Tobari 19/239 dan Tobaqoot Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubro 2/213)

Setelah sang ayah meninggal dunia maka Al-Imam Al-Bukhari dipelihara dan dirawat oleh sang ibu. Akan tetapi pada hakekatnya Allah-lah yang telah memelihara Al-Imam Al-Bukhari dan memberikan kesholehan kepadanya karena kesholehan ayahnya.

Allah berfirman :

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu” (QS Al-Kahfi : 82)

Al-Haafiz Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

وقد قيل إنه كان الاب السابع وقيل العاشر. وعلى كل تقدير فيه دلالة على أن الرجل الصالح يحفظ في ذريته

“Dikatakan bahwa ayah (yang tersebutkan dalam ayat di atas-pen) adalah ayah/kakek ketujuh, dan dikatakan kakek yang kesepuluh. Dan apapun pendapatnya (kakek ke 7 atau ke 10-pen) maka ayat ini merupakan dalil bahwasanya seseorang yang sholeh akan dijaga keturunannya” (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 1/348)

Lihatlah bagaimana Allah menjaga sampai keturunan yang ketujuh karena kesholehan seseorang.

Sa’iid bin Jubair rahimahullah berkata

إِنِّي لَأَزِيْدُ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِ ابْنِي هَذَا

“Sungguh aku menambah sholatku karena putraku ini”

Berkata Hiysaam, “Yaitu karena berharap agar Allah menjaga putranya” (Tahdziibul Kamaal 10/366 dan Hilyatul Awliyaa’ 4/279)

Sekarang kita renungkan tentang diri kita sebagai ayah…apakah kita termasuk orang-orang sholeh…?? Banyak ibadah…?, menjaga diri untuk tidak memakan dan membeli dari harta yang syubhat??

Maka janganlah seseorang heran jika mendapati anak-anaknya keras kepala dan bandel…, tidak mau diajak sholat ke masjid…, sulit untuk menghafal al-Qur’an.., tidak mau disuruh ngaji…!!!

Bisa jadi sebabnya adalah dirinya sendiri yang tidak sholeh dan memakan atau menggunakan harta haram…sehingga dampaknya kepada anak-anaknya.

Seorang salaf berkata :

إِنِّي لَأَجِدُ أَثَرَ الْمَعْصِيَةِ فِي أَهْلِي وَدَابَّتِي

“Sungguh aku mendapati dampak buruk maksiat pada keluargaku dan tungganganku”

Akan tetapi memang bisa saja Allah menguji seorang yang sholeh dengan anak-anak yang bandel dan durhaka, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Nuuh ‘alaihis salaam, demikian juga kisah tentang anak Ibnul Jauzi rahimahullah (baca kembali : “Suara Hati Ibnul Jauzi Kepada Buah Hatinya”). Akan tetapi pada asalnya bahwa jika seorang ayah sholeh maka Allah akan menjaga anak-anaknya. Wallahu a’lam bi As-Showaab.

 

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 18-11-1434 H / 24 September 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda

 

@sumber Firanda.com

Contoh Istri Sholihah (Zainab binti Judair, Istri Syuraih Al-Qodli)

Suatu hari Syuraih Al-Qodhi (sang hakim) bertemu dengan Asy-Sy’abi, maka Asy-Sya’bi bertanya kepadanya tentang kondisinya di rumahnya. Maka Syuraih berkata : “Semenjak 20 tahun akan tidak pernah melihat sesuatu perkara dari istriku yang membuatku marah”.

Asy-Sya’bi berkata : “Kok bisa demikian?”

Syuraih berkata : “Sejak malam pertama pernikahan aku menemui istriku maka aku melihat pada dirinya kecantikan yang sangat menggoda, kemolekan yang langka, maka aku berkata dalam diriku, “Aku akan berwudhu dan sholat dua raka’at, untuk bersyukur kepada Allah”. Tatkala aku salam dari sholatku ternyata aku dapati istri menjadi makmum di belakangku. Tatkala aku menoleh kembali ternyata ia telah berada di atas tempat tidur. Lalu akupun mengulurkan tanganku kepadanya. Ia berkata, “Sebentar, tetaplah di posisimu wahai Abu Umayyah (kunyah panggilan Syuraih)”, lalu ia berkata, “Segala puji bagi Allah, aku menyanjungNya, dan aku memohon pertolonganNya, serta aku bersholawat kepada Muhammad dan keluarganya, kemudian dari pada itu :

Sesungguhnya aku adalah seorang wanita asing yang tidak mengetahui tentang akhlakmu, maka tolong jelaskanlah kepadaku apa yang engkau sukai agar aku bisa kerjakan dan apa yang engkau benci untuk aku jauhi”. Lalu ia berkata, “Sesungguhnya ada pada kaummu wanita yang bisa engkau nikahi, dan pada kaumku ada lelaki yang sekufu (setara) denganku (yang bisa menikahiku), akan tetapi jika Allah telah memutuskan keputusanNya maka yang terjadi adalah keputusanNya. Engkau telah memiliki diriku, maka lakukanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu, (yaitu) menjalani pernikahan dengan pergaulan yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik. Demikianlah apa yang aku haturkan kepadamu, dan memohon ampunan dari Allah untuk diriku dan untukmu”

Syuraih berkata, “Maka demi Allah wahai Asy-Sya’bi-, istriku menjadikan aku akhirnya untuk berkhutbah pada saat itu. Maka aku berkata :

“Segala puji bagi Allah, aku menyanjungNya dan memohon pertolonganNya, serta aku bersholawat kepada Muhammad dan keluarganya. Kemudian daripada itu :

Sesungguhnya engkau –wahai istriku- telah mengucapkan suatu perkataan yang jika engkau tegar di atasnya maka merupakan kebaikanmu, akan tetapi jika hanya merupakan pengakuan belaka maka akan menjadi boomerang bagimu. Sesungguhnya aku suka ini dan itu, dan aku membenci ini dan itu, maka apa saja kebaikan yang engkau lihat maka sebarkanlah, dan keburukan apa saja yang engkau lihat maka tutuplah”.

Istriku berkata, “Bagaimana sikap yang kau sukai dalam kunjungan keluargaku?”. Aku berkata, “Aku tidak ingin kunjungan mereka menjadikan aku bosan”. Istriku berkata, “Siapa tetanggamu yang engkau sukai untuk masuk di rumahmu agar aku mengizinkannya, dan siapa tetanggamu yang engkau benci ?”

Aku berkata, “Banu Fulan orang-orang yang sholeh, dan banu fulan orang-orang yang buruk”

Syuraih berkata, “Maka malam itu akupun tidur bersamanya dengan malam yang terindah, dan aku hidup bersamanya setahun yang aku tidak melihat sesuatupun darinya kecuali yang aku sukai. Tidaklah datang hari bersamanya kecuali lebih baik dari hari sebelumnya. Tatkala genap setahun aku hidup bersamanya, suatu hari aku baru pulang dari tempat pengadilan (karena Syuraih adalah seorang hakim-pen) tiba-tiba di rumahku ada seorang wanita tua yang memerintah-merintah dan melarang-larang. Maka aku bertanya, “Siapa wanita ini?”, maka istriku berkata kepadaku, “Itu adalah ibu istrimu”. Lalu ibunya menoleh kepadaku dan bertanya kepadaku, “Bagaimana kau dapati istrimu?”. Aku berkata, “Istri yang terbaik”. Ibunya berkata, “Wahai Abu Umayyah, jika engkau melihat keraguan pada istrimu maka cambuklah ia !, didiklah ia dengan apa yang engkau kehendaki dan aturlah dia sesuai dengan yang kau kehendaki !” Dan setiap tahun ibunya datang mengunjungi kami dan mengucapkan perkataannya tersebut.

Akupun tinggal bersamanya selama 20 tahun, aku tidak pernah memarahinya sama sekali kecuali hanya sekali, dan sekali itupun akulah yang dzolim/salah kepadanya.

Dan istriku akhirnya meninggal. Sungguh aku berangan-angan agar aku memberikan sebagian umurku untuknya, atau aku dan dia meninggal bersama dalam hari yang sama” (Dirangkum dan digabung-gabungkan dari kitab Ahkaam Al-Qur’an li Ibnil ‘Arobi 1/532 dan Ahkaam An-Nisaa’ hal 239-240, serta sumber lainnya)

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 11-11-1434 H / 17 September 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda

 

@sumber Firanda.com

CINTAKU, MAAFKANLAH SUAMIMU INI

Meskipun secara umum para lelaki memiliki kelebihan dalam memandang dan cara berfikir dengan melihat lebih jauh ke depan, akan tetapi harus diakui bahwasanya para wanita dalam beberapa hal –terutama yang berkaitan dengan urusan rumah tangga dan anak-anak-, maka para wanita lebih tajam dan lebih detail pandangan dan pengamatannya.

Dalam hal urusan pengaturan perabot rumah tangga, persiapan sekolah anak-anak, dan hal-hal lain dalam rumah, maka wanita lebih jeli dan detail. Berbeda dengan para lelaki yang hanya bisa menilai secara global dan tidak detail. Karenanya para lelaki kurang bisa mengamati perubahan-perubahan detail yang terjadi di rumah, akan tetapi para lelaki bisa menilai dengan penilaian global bahwa kondisi rumah baik atau tidak. Adapun perubahan posisi pot bunga misalnya, atau pergantian taplak meja atau seprai kasur, atau perapian rambut anak-anak, atau tas baru milik anak-anak, sering kali para lelaki (para suami) tidak tanggap.

Demikian pula jika sang istri baru saja merapikan rambutnya, atau baru saja memakai perhiasan yang baru, atau bedak yang baru lalu ia bertanya kepada sang suami, “Sayangku adakah sesuatu yang baru yang kau lihat hari ini??”. Sesungguhnya pertanyaan ini adalah pertanyaan yang mudah dan sepele akan tetapi ternyata sangat berat untuk dijawab oleh seorang suami yang pandangannya tidak detail dan jeli dalam urusan seperti ini.

Bahkan bisa jadi sang istri memakai kembali kalung yang dulu pernah dibelikan oleh sang suami sebagai hadiah karena ada kondisi istimewa tertentu, lalu tatkala sang istri bertanya, “Sayang lihat sesuatu yang baru atau yang aneh nggak pada diriku?”. Terkadang suami menjadi bingung untuk menjawab pertanyaan ini??, apa yang aneh..??, apa yang baru…??.

Jika sang suami ternyata tidak tanggap dan berkata, “Memang ada apa cintaku?”. Terkadang sang istripun langsung “down” mendengar pertanyaan balik sang suami.

Sang istripun menjelaskan dengan agak sedih, “Ituloh, saya memakai kalung yang dulu kau hadiahkan kepadaku?”.

Ternyata terkadang sang suami masih juga belum tanggap dan bertanya lagi, “Kalung yang mana??, hadiah yang mana??, kapan saya menghadiahkannya kepadamu??. Kenapa saya menghadiahkan kepadamu??”

Pertanyaan-pertanyaan beruntun yang terkadang sangat menyedihkan sang istri karena menunjukkan suami yang tidak tanggap dan tidak nyambung-nyambung…

Terkadang sang istri bertanya, “Suamiku, apakah ada perubahan pada wajahku?”. Maksud sang istri –setelah memakai pembersih muka atau pembersih kulit selama sebulan- tentunya ada perubahan ke arah lebih cantik, akan tetapi sang suami tatkala ditanya demikian menjadi sangat bingung. Karena suami merasakan sama sekali tidak ada perubahan, karena setiap hari ia melihat wajah sang istri…, terlebih lagi sebagaimana telah lalu pandangan suami dalam hal-hal rumah tangga hanyalah pandangan global dan tidak detail.

Demikian juga tatkala sang istri melakukan program diet selama sebulan lantas setelah sebulan ia bertanya kepada suaminya, “Wahai cintaku, tidakkah engkau melihat perubahan pada tubuhku?”

Sang suamipun bingung, dalam hatinya berkata, “Memang ada perubahan apa…?”

Karenanya wahai para istri, ingatlah firman Allah

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأنْثَى

“Laki-laki tidaklah seperti perempuan” (QS Ali Imroon : 3)

Jikalau Allah memberikan pandangan tajam bagi lelaki dalam hal pekerjaan dan rencana masa depan akan tetapi ternyata pandangan lelaki tidaklah tajam dan detail dalam pengurusan dan pengaturan dalam rumah. Allah menjadikan wanita lebih jeli dan detail dalam hal-hal rumah tangga.

Bayangkan jika seandainya Allah menjadikan seorang suami pandangannya detail dan jeli dalam perubahan kondisi dalam rumah, tentu sang suami akan menjadi seorang wanita yang cerewet, bahkan bisa jadi lebih cerewet dari pada seorang wanita !!!

Karenanya …MAAFKANLAH SUAMIMU…wahai para istri…, maafkanlah dia yang terkadang tidak bisa romantis kepadamu tatkala engkau sedang ingin beromantis dengannya…

 

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 29-04-1434 H / 11 Maret 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda

@sumber Firanda.com

KAPAN ISTRI BOLEH MINTA CERAI?

Berapa lalu saya dikejutkan dengan sebuah pertanyaan :

“Assalamualaikum….afwan ust. Mengganggu, teman ana punya problem…..setelah 17 tahun berumah tangga dan sudah mempunyai 1 anak (itupun dengan susah payah karena harus melalui pengobatan baru punya anak qodarolloh). Tapi itu tidak masalah. Berjalannya waktu seorang istri minta cerai dengan alasan karena suaminya jelek tapi akhlak dan agamanya lumayan,sehingga istri itu memenuhi hak suamipun jadi tidak ikhlas dll. (itu juga setelah adanya teman-teman yg ngomong dan sekarang sedang berhubungan sms-an dengan seorang laki-laki lain). Dia dengerin seorang ustadz berkata cerai dengan alasan jelek boleh walaupun akhlak dan agamanya baik, tapi harus mengembalikan maharnya……mohon ditanggapi…”

JAWABAN;

Diantara indahnya syari’at Islam adalah memberi jalan keluar bagi pasangan suami istri jika mereka memang tidak bisa memperoleh kebahagiaan dan kasih sayang diantara mereka. Diantara jalan keluar yang diberikan syari’at adalah perceraian, yang berada ditangan para lelaki (karena para lelakilah yang membayar mahar, biaya pernikahan, serta menanggung nafkah keluarga), akan tetapi tentu dengan persyaratan yang diletakan oleh Syari’at. Syari’at tidak menjadikan perceraian di tangan para wanita, karena secara umum kaum lelaki lebih berpikir panjang dan lebih stabil dalam mengambil keputusan. Berbeda dengan para wanita yang sering mengalami kondisi yang bisa merubah pola berfikirnya, seperti tatkala kondisi haid, atau tatkala mengandung, dan lain-lain, sehingga terkadang perasaan lebih didahulukan dari pada pikiran.

Para lelaki pun tidak dianjurkan untuk langsung beranjak ke jenjang perceraian kecuali setelah berusaha dan berusaha…, baik berusaha menasehati istri, atau melalu jalur islah (usaha damai) dari perwakilan dari dua  belah pihak dan usaha-usaha yang lainnya.

Demikian juga tatkala seorang lelaki hendak mencerai, maka ia tidak boleh mencerai tatkala sang istri sedang haid, atau tatkala sang istri telah bersih/suci akan tetapi ia telah menjimaknya.

          Bila ternyata sang istri mendapati sikap buruk pada sang suami maka syari’at membolehkan kepada sang wanita untuk melakukan khulu’ yaitu meminta suami untuk memutuskan akad pernikahan.

 

Hukum Asal Wanita Meminta Cerai Adalah Haram

Tentunya kita mengetahui bahwasanya asalnya seorang wanita dilarang untuk meminta dicerai.

Nabi shallallahu ‘alaiahi wa sallam bersabda:

أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ

“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 1928, At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah, dan dihahihkan oleh Syaikh Albani)

Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang syar’i yang kuat yang membolehkannya untuk meminta cerai. Berkata Abu At-Toyyib Al’Adziim Aabaadi, “Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…((Maka haram baginya bau surga)) yaitu ia terhalang dari mencium harumnya surga, dan ini merupakan bentuk ancaman dan bahkan bentuk mubaalaghoh (berlebih-lebihan) dalam ancaman, atau terjadinya hal tersebut pada satu kondisi tertentu yaitu artinya ia tidak mencium wanginya surga tatkala tercium oleh orang-orang yang bertakwa yang pertama kali mencium wanginya surga, atau memang sama sekali ia tidak mencium wanginya surga. dan ini merupakan bentuk berlebih-lebihan dalam ancaman” (‘Aunul Ma’buud 6/308)

Ibnu Hajar berkata :

أن الأخبار الواردة في ترهيب المرأة من طلب طلاق زوجها محمولة على ما إذا لم يكن بسبب يقتضى ذلك

“Sesungguhnya hadits-hadits yang datang tentang ancaman terhadap wanita yang meminta cerai, dibawakan kepada jika sang wanita meminta cerai tanpa sebab” (Fathul Baari 9/402)

Silahkan baca kembali artikel “Ceraikan Aku…!!!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ

“Para wanita yang khulu’ dari suaminya dan melepaskan dirinya dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 632)

Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk meminta cerai dari suami mereka tanpa ada udzur yang syari’ (lihat At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami’ As-Shogiir 1/607)

 

Sebab-Sebab Dibolehkan Khulu’

          Para ulama telah menyebutkan perkara-perkara yang membolehkan seorang wanita meminta khulu’ (pisah) dari suaminya.

Diantara perkara-perkara tersebut adalah :

1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung

2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.

3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar music, dll

4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.

5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain

6. Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami

7. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami

(Silahkan lihat Roudhotut Toolibiin 7/374, dan juga fatwa Syaikh Ibn Jibrin rahimahullah di http://islamqa.info/ar/ref/1859) 

Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :

وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي  حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها

 “Dan kesimpulannya bahwasanya seorang wanita jika membenci suaminya karena akhlaknya atau perawakannya/rupa dan jasadnya atau karena agamanya, atau karena tuanya, atau lemahnya, dan yang semisalnya, dan ia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami maka boleh baginya untuk meminta khulu’ kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk membebaskan dirinya” (Al-Mughni 8/174)

 

Meminta Cerai Karena Suami Buruk Rupa

          Para ulama telah menyebutkan bahwa boleh bagi seorang wanita yang meminta cerai dikarenakan tidak bisa meraih kebahagiaan dikarenakan sang suami buruk rupa. Dalil akan hal ini adalah kisah istri sahabat Tsabit bin Qois yang meminta cerai darinya. Ibnu Abbas meriwayatkan :

أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلا دِينٍ ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً

“Bahwasanya istri Tsaabit bin Qois mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, suamiku Tsaabit bin Qois tidaklah aku mencela akhlaknya dan tidak pula agamanya, akan tetapi aku takut berbuat kekufuran dalam Islam”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau (bersedia) mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai maharmu-pen)?”.

Maka ia berkata, “Iya”. Rasulullah pun berkata kepada Tsaabit, “Terimalah kembali kebun tersebut dan ceraikanlah ia !” (HR Al-Bukhari no 5373)

Dalam riwayat ini jelas bahwa istri Tsaabit bin Qois sama sekali tidak mengeluhkan akan buruknya akhlak suaminya atau kurangnya agama suaminya. Akan tetapi ia mengeluhkan tentang perkara yang lain. Apakah perkara tersebut??

Dalam sebagian riwayat yang lain menjelaskan bahwa istri Tsabit meminta khulu’ karena buruk rupanya Tsabit.

عن حجاج عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال كانت حبيبة بنت سهل تحت ثابت بن قيس بن شماس وكان رجلا دميما فقالت يا رسول الله والله لولا مخافة الله إذا دخل علي لبصقت في وجهه

Dari Hajjaj dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dan dari kakeknya berkata, “Dahulu Habibah binti Sahl adalah istri Tsaabit bin Qois bin Syammaas. Dan Tsaabit adalah seorang lelaki buruk dan pendek, maka Habibah berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, kalau bukan karena takut kepada Allah maka jika ia masuk menemuiku maka aku akan meludahi wajahnya”. (HR Ibnu Maajah no 2057 dan didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani)

Namun telah datang dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas berkata:

إن أول خلع كان في الإسلام، أخت عبد الله بن أبي، أنها أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله لا يجمع رأسي ورأسه شيء أبدا! إني رفعت جانب الخباء، فرأيته أقبل في عدة، فإذا هو أشدهم سوادا، وأقصرهم قامة، وأقبحهم وجها! قال زوجها: يا رسول الله، إني أعطيتها أفضل مالي! حديقة، فإن ردت على حديقتي! قال:”ما تقولين؟” قالت: نعم، وإن شاء زدته! قال: ففرق بينهما

“Khulu’ yang pertama kali dalam sejarah Islam adalah khulu’nya saudari Abdullah bin Ubay (Yaitu Jamilah bintu Abdullah bin Ubay bin Saluul gembong orang munafiq, dan saudara Jamilah bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Saluul-pen). Ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tidak mungkin ada sesuatu yang bisa menyatukan kepalaku dengan kepala Tsabit selamanya. Aku telah mengangkat sisi tirai maka aku melihatnya datang bersama beberapa orang. Ternyata Tsaabit adalah yang paling hitam diantara mereka, yang paling pendek, dan yang paling jelek wajahnya”

Suaminya (Tsaabit) berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah memberikan kepadanya hartaku yang terbaik, sebuah kebun, jika kebunku dikembalikan, (maka aku setuju untuk berpisah)”. Nabi berkata, “Apa pendapatmu (wahai jamilah)?”. Jamilah berkata, “Setuju, dan jika dia mau akan aku tambah”. Maka Nabipun memisahkan antara keduanya” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya (4/552-553, no 3807), tatkala menafsirkan surat Al-Baqoroh ayat 229, dan sanadnya dinilai shahih oleh para pentahqiq Tafsir At-Thobari)

Catatan :

Pertama : Para ulama berselisih tentang nama istri Tsabit bin Qois, apakah namanya Jamilah binti Abdillah bin Ubay bin Saluul ataukah Habibah binti Sahl?. Akan tetapi Ibnu Hajar rahimahullah condong bahwa Tsabit pernah menikahi Habibah lalu terjadi khuluk, kemudian ia menikahi Jamilah dan juga terjadi khulu’ (lihat Fathul Baari 9/399)

Kedua : Dalam sebagian riwayat yang shahih menunjukkan bahwa Tsaabit bin Qois radhiallahu ‘anhu pernah memukul istrinya hingga tangannya patah. Sehingga inilah yang dikeluhkan oleh istri beliau sehingga minta khulu’

Dari Ar-Rubayyi’ bin Mu’awwidz berkata :

أن ثابت بن قيس بن شماس ضرب امرأته فكسر يدها وهي جميلة بنت عبد الله بن أبي فأتى أخوها يشتكيه إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى ثابت فقال له خذ الذي لها عليك وخل سبيلها قال نعم فأمرها رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تتربص حيضة واحدة فتلحق بأهلها

“Sesungguhnya Tsaabit bin Qois bin Syammaas memukul istrinya hingga mematahkan tangannya. Istrinya adalah Jamilah binti Abdillah bin Ubay. Maka saudara laki-lakinya pun mendatangi Nabi mengeluhkannya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke Tsabit dan berkata, “Ambillah harta milik istrimu yang wajib atasmu dan ceraikanlah dia”. Maka Tsaabit berkata, “Iya”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Jamilah untuk menunggu (masa ‘iddah) satu kali haid. Lalu iapun pergi ke keluarganya” (HR An-Nasaai no 3487 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ كَانَتْ عِنْدَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فَضَرَبَهَا فَكَسَرَ بَعْضَهَا فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعْدَ الصُّبْحِ فَاشْتَكَتْهُ إِلَيْهِ فَدَعَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ثَابِتًا فَقَالَ « خُذْ بَعْضَ مَالِهَا وَفَارِقْهَا ».

فَقَالَ وَيَصْلُحُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ فَإِنِّى أَصْدَقْتُهَا حَدِيقَتَيْنِ وَهُمَا بِيَدِهَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « خُذْهُمَا فَفَارِقْهَا ». فَفَعَلَ.

Dari Aisyah bahwasanya Habibah binti Sahl dulunya istri Tsabit bin Qois, lalu Tsabit memukulnya hingga patahlah sebagian anggota tubuhnya. Habibah pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah subuh dan mengadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang suaminya. Maka Nabi berkata kepada Tsabit, “Ambillah sebagian harta Habibah, dan berpisahlah darinya”

Tsaabit berkata, “Apakah dibenarkan hal ini wahai Rasulullah?”, Nabi berkata, “Benar”. Tsabit berkata, “Aku telah memberikan kepadanya mahar berupa dua kebun, dan keduanya berada padanya”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ambilah kedua kebun tersebut dan berpisalah dengannya”. (HR Abu Dawud no 2230, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dari riwayat-riwayat yang ada, seakan-akan ada pertentangan, karena sebagian riwayat menunjukkan bahwa istri Tsabit meminta cerai karena perangai Tsaabit yang telah memukulnya hingga menyebabkan patah tangan. Dan sebagian riwayat yang lain sangat jelas dan tegas bahwa sang istri tidak mencela akhlak dan agama Tsaabit, akan yang dikeluhkan ada kondisi tubuh Tsaabit yang hitam, pendek, dan buruk rupa.

Ibnu Hajar menjamak kedua model riwayat diatas dengan menyebutkan suatu riwayat dimana istri Tsabit berkata :

والله ما أعتب على ثابت في دين ولا خلق ولكني أكره الكفر في الإسلام لا أطيقه بغضا

“Demi Allah aku tidak mencela Tsabit karena agamanya dan juga akhlaknya, akan tetapi aku takutkan kekufuran dalam Islam, aku tidak sanggup dengannya karena aku membencinya” (HR Ibnu Maajah no 1673 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

لكن تقدم من رواية النسائي أنه كسر يدها فيحمل على أنها أرادت أنه سيء الخلق لكنها ما تعيبه بذلك بل بشيء آخر … لكن لم تشكه واحدة منهما بسبب ذلك بل وقع التصريح بسبب آخر وهو أنه كان دميم الخلقة

“Akan tetapi telah lalu dalam riwayat An-Nasaai bahwasanya Tsaabit mematahkan tangan sang istri, maka dibawakan kepada makna bahwasanya sang istri ingin mengatakan bahwa Tsabit buruk akhlaknya akan tetapi ia tidak mencela Tsaabit karena hal itu, akan tetapi karena perkara yang lain…tidak seorangpun dari kedua istrinya (Jamilah maupun Habibah) yang mencela Tsabit karena “sebab mematahkan tulang”, akan tetapi telah datang penjelasan yang tegas akan sebab yang lain, yaitu perawakan Tsaabit buruk” (Fathul Baari 9/400)

Dari sinilah para ulama menyatakan bahwa diantara salah satu sebab yang membolehkan seorang wanita meminta khulu’ adalah jika sang suami buruk rupa, dan sang istri sama sekali tidak bisa mencintai sang suami. Dan jika sudah tidak cinta maka sulit untuk meraih kebahagiaan dan kasih sayang yang merupakan salah satu dari tujuan pernikahan. Wallahu A’lam.

AKAN TETAPI…

Yang mengherankan saya dari pertanyaan yang ditujukan kepada saya di atas, bahwasanya bagaimana bisa muncul pernyataan bahwa sang suami jelek setelah berjalannya pernikahan selama 17 tahun??

Dzohir dari pertanyaan di atas bahwasanya sang suami tidaklah jelek-jelek amat, tidak sebagaimana yang disebutkan tentang Tsabit yang hitam, pendek, dan buruk rupa, bahkan paling hitam, paling pendek, dan paling buruk diantara teman-temannya (sebagaimana pengakuan istrinya Jamilah).

Buktinya…pernikahan mereka berdua bisa berjalan selama 17 tahun, bahkan berhasil memiliki seorang anak setelah melalui usaha susah payah… Ini menunjukan –wallahu A’lam- bahwa sang suami bukanlah seorang yang buruk rupa, akan tetapi menjadi buruk rupa setelah sang istri mulai menjalin hubungan dengan lelaki lain…

Oleh karenanya hendaknya sang istri takut kepada Allah dan takutlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at…dan hendaknya sang suami bersabar dan banyak berdoa kepada Allah agar istrinya kembali menjadi baik. Dan jika memang sang istri keras kepala dan menghina sang suami dengan menyatakan wajahnya jelek, maka saya rasa masih banyak wanita yang lebih sholehah dan lebih baik dari seorang istri pengkhianat yang menjalin hubungan dengan lelaki lain. Hanya kepada Allalah kita meminta agar menumbuhkan kasih sayang diantara pasangan suami istri dari kaum muslimin…hanya kepada Allahlah tempat mengadu dan berkeluh kesah.

 

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 26-04-1434 H / 08 Maret 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda

@sumber Firanda.com

NIKAH SYUBHAT

Pertanyaan : Saya mau tanya, gimana hukumnya pernikahan yang dilaksanakan tanpa sepengetahuan ayah kandung dari pihak perempuan? Dan pernikahan tersebut dilaksanakan melalui seorang wali hakim yang diangkat sesaat sebelum akad nikah. Terima kasih atas jawaban ustadz. Jazakallah khoiron katsiron.

JAWAB :

Permasalahan ini berkaitan dengan permasalahan nikah syubhat. Karena pernikahan dengan seorang wanita tanpa persetujuan walinya merupakan pernikahan yang batil (tidak sah) menurut jumhur ulama. Dan jika dikerjakan oleh seseorang karena jahil/tidak tahu akan hukumnya maka jadilah pernikahan ini termasuk pernikahan syubhat.

Definisi Nikah Syubhat adalah sebagai berikut :

وَضَابِطُ نِكَاحِ الشُّبْهَةِ أَنْ يَنْكِحَ نِكَاحًا فَاسِدًا مُجْمَعًا عَلَى فَسَادِهِ لَكِنْ يُدْرَأَ الْحَدُّ كَأَنْ يَتَزَوَّجَ بِمُعْتَدَّةٍ أَوْ خَامِسَةٍ أَوْ ذَاتِ مَحْرَمٍ غَيْرِ عَالِمٍ وَيَتَلَذَّذُ بِهَا أَوْ يَطَأُ امْرَأَةً يَظُنُّهَا زَوْجَتَهُ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَصْلُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ وَفَرْعُهَا

“Batasan Nikah Syubhat adalah ia menikah dengan pernikahan yang fasad/rusak/tidak sah, yang telah disepakati/ijmak akan fasidnya, akan tetapi hukum had ditolak (tidak ditegakkan, seperti ia menikah dengan seorang wanita yang masih dalam masa ‘iddah, atau dengan istri yang kelima, atau dengan wanita yang masih merupakan mahramnya, dalam kondisi ia tidak mengetahui hal tersebut dan ia telah berledzat-ledzat dengannya, atau ia menjimak seorang wanita yang ia sangka adalah istrinya. Maka diharamkan baginya asal dan furu’ dari setiap wanita tersebut” (Ats-Tsamr Ad-Daani fi Tqriib al-Ma’aani, syarh Risaalah Ibni Abi Zaid Al-Qoyrowaani, karya Sholeh bin Abids Samii’ Al-Aaabi Al-Azhari (wafat 1335 H), hal 352, cetakan Mushthofa Al-Baabiy Al-Halabi, tahun 1338 H)

Diantara pernikahan syubhat adalah pernikahan tanpa wali. Meskipun pernikahan ini masih diperselisihkan akan kebolehannya, akan tetapi menurut jumhur ulama pernikahan tersebut tidaklah sah.

Hal ini dikarenakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

أيُّما امرأةٍ نَكَحَتْ بغير إذن مواليها؛ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ (ثلاث مرات)

“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil” (HR Abu Daawud no 1817 dan Ibnu Maajah no 1524)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لاَ نِكَاح إِلاَّ بِولِيٍّ

“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali” (lihat Irwaaul Goliil hadits no 1839, 1840, 1841)

Maka bagi jumhur ulama pernikahan tanpa wali merupakan pernikahan yang batil. Jika dilakukan oleh seseorang karena kejahilan maka jadilah pernikahan syubhat.

Abul Fadhl Sholeh (putra Imam Ahmad) berkata : “Dan aku bertanya kepada Imam Ahmad tentang seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya, lalu lelaki yang menikahinya menjatuhkan talak tiga kepadanya, lalu setelah itu wali sang wanita membolehkan pernikahan, maka apakah sang wanita halal (untuk dinikahinya kembali) sebelum dinikahi oleh lelaki yang lain, karena pernikahan yang pertama adalah pernikahan yang fasid (rusak)?”

Imam Ahmad berkata, “Wanita tersebut tidak boleh kembali kepadanya, karena pernikahan pertama jika membuahkan anak maka anak tersebut akan mengikuti sang lelaki, karena ini adalah nikah syubhat. Maka tidak halal baginya kecuali jika telah dinikahi oleh lelaki yang lain” (Masaail Al-Imaam Ahmad bin Hanbal, riwayat putranya Abul Fadhl Sholeh 2/338 no 975)

Contoh-Contoh Nikah Syubhat

Contoh-contoh nikah syubhat diantaranya :

– Ia menikahi wanita tanpa wali, karena menyangka bahwa hal itu diperbolehkan (yaitu nikah syubhat menurut jumhur ulama yang mempersyaratkan izin wali)

– Pernikahan Syighoor, yaitu ia menikahkan putrinya dengan seorang lelaki dengan syarat ia menikahi putri lelaki tersebut. Ia menyangka bahwa pernikahan tersebut halal baginya

– Ia menikahi seorang wanita yang ternyata masih berstatus istri orang lain, hanya saja ia tidak tahu dan menyangka bahwa wanita tersebut telah diceraikan

– Seorang wanita yang ditinggal lama oleh suaminya tanpa ada kabar, lantas Hakim memberi keputusan bahwa wanita tersebut dihukumi telah cerai dari suaminya yang pergi tanpa kabar. Lantas wanita tersebut menikah dengan lelaki lain. Akan ternyata suami pertamanya kembali. Maka ada perbedaan pendapat dalam hal ini, bagi ulama yang berpendapat bahwa wajib bagi sang wanita kembali kepada suami pertamanya maka jadilah pernikahan lelaki yang kedua merupakan pernikahan yang dibangun di atas akad syubhat

– Ia menikahi wanita yang masih di dalam masa ‘iddahnya

– Ia menikahi wanita yang kelima (padahal poligami maksimal hanya 4 wanita)

– Ia menikahi wanita yang masih mahramnya, seperti saudari sepersusuannya atau wanita yang pernah dinikahi ayahnya.

Hukum-Hukum Berkaitan Dengan Nikah Syubhat :

Pertama : Ada pernikahan yang disepakati akan batilnya (seperti menikahi wanita di masa iddahnya, atau menikahi wanita sebagai istri yang kelima, atau menikahi wanita saudara sepersusuan), maka jika dilakukan oleh kedua pihak (lelaki dan wanita) tanpa mengetahui hukumnya maka itu adalah nikah syubhat menurut kesepakatan ulama.

Ada juga pernikahan yang diperselisihkan, seperti pernikahan tanpa wali wanita, menurut sebagian madzhab pernikahan tersebut sah. Akan tetapi menurut madzhab yang lain pernikahan tersebut batil. Maka pernikahan ini menurut madzhab yang lain adalah pernikahan syubhat.

Kedua : Jika kedua belah pihak melakukan pernikahan syubhat tanpa mengetahui hukumnya maka keduanya tidak berdosa karena kejahilan, akan tetapi pernikahan tersebut harus segera dibatalkan (dipisahkan keduanya).

Ketiga : Anak-anak hasil pernikahan syubhat tersebut (yang disebabkan kejahilan) maka hukum mereka seperti anak-anak hasil pernikahan yang sah. (Lihat Fatawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 21/70-71 no 2195 tentang hukum anak-anak hasil pernikahan antara seorang lelaki dengan saudari sepersusuannya)

Karenanya wajib bagi sang ayah untuk menafkahi mereka, dan anak-anak tetap dinisbahkan kepada sang ayah, serta berlaku hukum waris antara sang ayah dan mereka.

Ketiga : Jika ternyata kedua belah pihak mengetahui kebatilan pernikahannya dan tetap nekat untuk menikah maka keduanya dianggap telah berzina dan melakukan dosa besar, bahkan harus ditegakan hukum had atas keduanya karena telah melakukan perzinaan. Dan jika ternyata pernikahan tersebut membuahkan anak maka sang anak dinisbahkan kepada ibunya, dan tidak boleh dinisbahkan kepada ayahnya karena merupakan anak zina.

Jika tatkala terjadi pernikahan, sang wanita mengetahui kebatilan pernikahan tersebut sementara sang lelaki tidak mengetahuinya maka yang dianggap telah berzina adalah sang wanita, dan anak hasil pernikahan tersebut tetap dinisbahkan kepada sang lelaki karena ia tidak mengetahui hukumnya. (lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Daaimah 20/387 no 3408)

Keempat : Jika pernikahan tersebut memungkinkan untuk dilanjutkan dengan memenuhi persyaratan yang kurang, seperti :

– Pernikahan tanpa wali, maka boleh melakukan akad pernikahan baru dengan persetujuan wali sang wanita.

Dan boleh langsung bagi mereka berdua untuk melakukan akad pernikahan yang baru meskipun masih dalam masa idah, karena idahnya adalah idah dia sendiri. Hal ini sebagaimana seseorang yang menceraikan istrinya talak pertama ataupun talak kedua, maka ia boleh langsung kembali kepada istrinya karena idahnya adalah dari air maninya sendiri.

Akad yang baru tentunya dengan persyaratan yang baru dan mahar yang baru.

– Pernikahan dengan seorang yang masih di masa iddahnya, maka boleh melakukan akad kembali setelah selesai masa iddahnya

– Jika karena pernikahan Syigoor, maka masing-masing memperbaharui akad nikahnya, tanpa harus cerai, dan dengan mahar yang baru serta persetujuan wali masing-masing wanita tanpa persyaratan syigor (lihat Majmuu Fataawa Syaikh Bin Baaz 20/283-284 no 148 tentang anak-anak hasil pernikahan syigoor)

Kelima : Jika pernikahan tersebut tidak mungkin untuk dilanjutkan, maka tidak boleh dilanjutkan kembali, misalnya :

– Ternyata sang wanita yang ia nikahi adalah saudara sepersusuannya

– Ternyata sang wanita yang dinikahinya pernah dinikahi oleh ayahnya

 

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 21-04-1433 H / 14 Maret 2011 M

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

@sumber Firanda.com

ORAL SEKS !!

Pertanyaan : Sebenarnya saya malu untuk bertanya tentang hal ini akan tetapi saya sangat perlu tahu tentang hukum oral seks (maaf : yaitu istri mengisap/menjilat kemaluan suami atau sebaliknya). Tolong dijelaskan dengan jelas, karena saya mendengar ada yang mengharamkan namun ada juga yang membolehkan.

Jawab :

Sesungguhnya permasalahan ini –oral seks- merupakan permasalahan yang sangat menimbulkan rasa malu untuk dibicarakan. Akan tetapi mengingat terlalu banyak yang bertanya tentang permasalahan ini maka perlu penjelasan yang lebih dalam tentang hukum oral seks.

Sebagian ulama membolehkan oral seks dan sebagian ulama yang lain mengharamkannya.

Dalil para ulama yang membolehkan :

Pertama : Keumuman firman Allah

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (QS Al-Baqoroh : 223)

Ayat ini menunjukkan seorang suami berhak melakukan segala cara jimak dalam menikmati istrinya kecuali ada dalil yang melarang seperti menjimak wanita yang haid dan nifas atau menjimak wanita di duburnya.

Kedua : Keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita haid

اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ

“Lakukanlah segala sesuatu kecuali menjimak kemaluan (yang lagi haid)” (HR Muslim no 302)

Demikian pula hadits ini menunjukkan seorang lelaki diperbolehkan melakukan segala bentuk bersetubuh terhadap wanita yang haid (termasuk jika sang wanita mengoral dzakarnya). Yang dilarang adalah menjimak kemaluan istrinya yang sedang mengeluarkan najis, yaitu darah haid.

Ketiga : Adapun kekhawatiran keluarnya najis tatkala terjadi proses oral seks, maka jawabannya, tidak ada seorangpun yang membolehkan mencium kemaluan pasangannya tatkala keluarnya najis. Akan tetapi pembicaraan kita tatkala najis telah berhenti. Seseorang haram untuk sholat menghadap Allah tatkala sedang keluar najisnya dari kemaluannya, akan tetapi setelah beristinjaa dan berhenti najisnya maka ia boleh sholat menghadap Allah. Hal ini menunjukkan bahwa najis ada waktu berhenti keluarnya dari kemaluan, dan tatkala itulah baru diperbolehkan seseorang untuk mencium kemaluan pasangannya.

Keempat : Cara oral seks yang digandrungi oleh sebagian pasangan membantu mereka untuk menjaga kemaluan mereka, sehingga mereka bisa berfantasi dengan sesuatu yang halal dan tidak butuh mencari yang haram.


Dalil Para Ulama Yang Mengharamkan Oral Seks

Pertama : Sikap oral seks adalah meniru-niru perbuatan orang-orang barat, terutama para pezina dan pemain film porno. Dan kita dilarang mengikuti adat kebiasaan orang kafir yang merupakan kekhususan mereka.

Kedua : Oral seks adalah mengikuti gaya binatang, karena kita dapati sebagian binatang jantang menjilat kemaluan binatang betina

Ketiga : Mulut adalah anggota tubuh yang mulia yang digunakan untuk membaca Al-Qur’an dan berdzikir kepada Allah, bagaimana bisa digunakan untuk menjilat kemaluan pasangannya

Keempat : Madzi (yaitu cairan yang keluar dari kemaluan tatkala timbul syahwat) adalah najis menurut jumhur ulama. Dan sudah jelas jika seorang wanita menjilat dzakar suaminya maka sudah bisa dipastikan ia akan menjilat madzi tersebut.

Terlebih lagi lelaki yang menjilat bagian dalam vagina wanita, maka sangat bisa dipastikan ia akan menjilat sisa-sisa air kencing sang wanita.

Kelima : Berdasarkan penelitian kedokteran modern menyebutkan bahwa dalam vagina wanita ada bakteri-bakteri yang bisa berpindah ke lidah seorang lelaki yang menjilat vagina tersebut, dan juga sebaliknya ada bakteri-bakteri yang terdapat di mulut lelaki yang bisa berpindah ke vagina sang wanita tatkala terjadi proses penjilatan vagina wanita. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda;

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh memberi kemudhorotan kepada diri sendiri dan juga kepada orang lain”.

Bahkan sebagian penelitian menyebutkan proses oral seks bisa menimbulkan kanker.

Pendapat Yang Terpilih??

Timbul kelainan-kelainan seksual di kalangan kaum kafir barat. Tatkala mereka menyalurkan syahwat mereka pada perkara-perkara yang haram maka jadilah mereka kehilangan rasa kepuasan dengan cara-cara yang halal dan yang sesuai dengan fitroh dan harkat kemanusiaan. Sehingga timbullah kelainan-kelainan seksual, seperti homo seksual, hubungan seks dengan cara kasar, bahkan dengan menyakiti pasangannya agar timbul kepuasan. Bahkan sebagian mereka hanya bisa puas jika berjimak dengan hewan peliharaannya, wal’iyaadzu billah.

Yang sangat menyedihkah –setelah tersebarnya video, para bola, dan internet- maka banyak kaum muslimin yang menonton tayangan-tayangan film porno. Dan tidak diragukan lagi bahwasanya larisnya praktek oral seks dikalangan kaum muslimin setelah larisnya tayangan-tayangan tersebut. Dari sinilah sangat jelas hikmah dari firman Allah

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (٣٠) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya” (QS An-Nuur : 30-31)

Diantara akibat buruk dari menyaksikan tayangan-tayangan seperti ini adalah:

– Hilangnya rasa malu karena terlalu sering menyaksikan aurot para pezina

– Hilangnya rasa cemburu dari hati kedua pasangan, bagaimana tidak?, sementara sang istri membiarkan sang suami berledzat-ledzat menonton aurot para wanita pezina pelaku film-film porno tersebut. Demikian juga sang suami membiarkan sang istri berledzat-ledzat melihat aurot para lelaki barat pezina dalam tayangan film-film porno tersebut.

– Hilangnya rasa kepuasan terhadap pasangannya. Masing-masing berangan-angan pasangannya bisa seperti tokoh yang ia saksikan dalam tayangan-tayangan film porno tersebut. Dan diantara sebab timbul banyaknya perceraian adalah akibat menyaksikan tayangan-tayangan film porno. Sungguh Allah telah memberikan kepuasan kepada sang lelaki dengan istri yang halal, akan tetapi tatkala ia menyaksikan film-film porno maka dicabutlah rasa kepuasan tersebut, bahkan ia berangan-angan untuk bisa berzina dengan wanita barat pezina yang dia lihat dalam tayangan porno tersebut agar bisa berfantasi dengannya. Wal’iyaadzu billah.

– Hilangnya rasa kepuasan dengan cara berhubungan seksual yang sesuai dengan fitroh manusia. Betapa banyak lelaki yang sangat ingin mempraktekkan anal seks (berjimak lewat dubur) setelah menonton tayangan-tayangan seperti ini. Betapa banyak para wanita yang ingin digerayangi lebih dari seorang lelaki setelah menyaksikan tayangan-tayangan tersebut.

Tidak diragukan lagi bahwasanya tersebarnya praktek oral seks di kalangan kaum muslimin adalah setelah tersebarnya tayangan-tayangan tersebut. Bagaimanakah hukum syar’i tentang praktek oral seks ini?

Tentu yang lebih hati-hati adalah meninggalkan praktek oral seks. Mereka yang selalu menjaga pandangan mereka dan bisa meraih kepuasan dengan cara-cara seks yang sesuai dengan fitroh dan harkat manusia maka hendaknya mereka memuji dan bersyukur kepada Allah. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri betapa banyak kaum pria muslim yang tidak bisa merasakan kepuasan kecuali dengan praktek oral seks –terutama setelah menyaksikan tayangan film porno-. Maka apakah boleh bagi mereka untuk mempraktekan oral seks bersama istrinya yang halal??!!

Jika kita memperhatikan perkataan para fuqohaa (ahli fiqh) terdahulu maka kita dapati isyarat akan bolehnya praktek oral seks meskipun praktek tersebut merupakan perkara yang qobiih (buruk). Untuk menjelaskan hal ini mari kita renungkan poin-poin berikut :

Pertama : Praktek kelainan-kelainan seksual seperti menjimak istri melalui dubur, atau menjimak hewan telah tersebutkan oleh para fuqohaa terdahulu dalam kitab-kitab fiqih mereka. Demikian pula praktek oral seks juga telah diisyaratkan dalam buku-buku fiqih terdahulu, bahkan diisyaratkan oleh Imam As-Syafi’i. Beliau rahimahullah berkata :

وَلَوْ نَالَ من امْرَأَتِهِ ما دُونَ أَنْ يُغَيِّبَهُ في فَرْجِهَا ولم يُنْزِلْ لم يُوجِبْ ذلك غُسْلًا وَلَا نُوجِبُ الْغُسْلَ إلَّا أَنْ يُغَيِّبَهُ في الْفَرْجِ نَفْسِهِ أو الدُّبُرِ فَأَمَّا الْفَمُ أو غَيْرُ ذلك من جَسَدِهَا فَلَا يُوجِبُ غُسْلًا إذَا لم يُنْزِلْ

“Kalau seandainya sang suami menggauli istrinya tanpa membenamkan dzakarnya ke farji (kemaluan) istrinya dan ia tidak mengeluarkan air mani maka hal ini tidak mengharuskannya mandi (janabah). Dan kami tidak mewajibkan mandi janabah kecuali jika ia memasukan dzakarnya ke kemaluan istrinya atau duburnya. Adapun mulut (istrinya) dan anggota tubuh istrinya yang lainnya maka tidak mewajibkan mandi jika ia tidak mengeluarkan air mani” (Al-Umm 1/37)

Yaitu dzohirnya seakan-akan Imam Syafii menjelaskan bahwa jika seorang lelaki memasukan kemaluannya di mulut istrinya atau bagian tubuh yang lain (seperti diantara dua paha, atau dua payudara, atau dua belahan pantat) maka tidak mewajibkan mandi junub kecuali jika sang lelaki mengeluarkan mani. Hal ini berbeda jika ia memasukan dzakarnya ke vagina wanita atau duburnya, meskipun tidak sampai mengeluarkan mani maka tetap wajib untuk mandi junub.

Namun kenyataannya kita tidak mendapati penjelasan fuqohaa terdahulu yang panjang lebar tentang hukum oral seks.

Kedua : Para ulama sepakat akan bolehnya menyentuh kemaluan istri.

Ibnu ‘Abidin Al-Hanafi berkata

سَأَل أَبُو يُوسُفَ أَبَا حَنِيفَةَ عَنِ الرَّجُل يَمَسُّ فَرْجَ امْرَأَتِهِ وَهِيَ تَمَسُّ فَرْجَهُ لِيَتَحَرَّكَ عَلَيْهَا هَل تَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا ؟ قَال : لاَ ، وَأَرْجُو أَنْ يَعْظُمَ الأَْجْرُ

“Abu Yuusuf bertanya kepada Abu Hanifah –rahimahullah- tentang seseorang yang memegang kemaluan istrinya, dan sang istri yang menyentuh kemaluan suaminya agar tergerak syahwatnya kepada sang istri, maka apakah menurutmu bermasalah?. Abu Hanifah berkata, “Tidak mengapa, dan aku berharap besar pahalanya” (Haasyiat Ibni ‘Aabidiin 6/367, lihat juga Al-Bahr Ar-Raaiq syarh Kanz Ad-Daqooiq 8/220, Tabyiinul Haqoo’iq 6/19)

Ketiga : Pernyataan sebagian fuqohaa yang menunjukkan akan bolehnya mencium kemaluan (vagina) wanita. Hal ini sangat ditegaskan terutama di kalangan para ulama madzhab Hanbali, dimana mereka menjelaskan akan bolehnya seorang suami mencium kemaluan istrinya sebelum berjimak, akan tetapi hukumnya makruh setelah berjimak (lihat Kasyaaful Qinaa’ 5/16-17, Al-Inshoof 8/27, Al-Iqnaa’ 3/240)

Keempat : Bahkan ada sebagian fuqohaa yang menyatakan bolehnya lebih dari sekedar mencium. Yaitu bahkan dibolehkan menjilat kemaluan sang istri.

Al-Hatthoob rahimahullah berkata:

قَدْ رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ قَال : لاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى الْفَرْجِ فِي حَال الْجِمَاعِ ، وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ : وَيَلْحَسَهُ بِلِسَانِهِ ، وَهُوَ مُبَالَغَةٌ فِي الإِْبَاحَةِ ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ عَلَى ظَاهِرِهِ

“Telah diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwasanya ia berkata, “Tidak mengapa melihat kemaluan tatkala berjimak”. Dan dalam riwayat yang lain ada tambahan, “Ia menjilat kemaluan istrinya dengan lidahnya”.

Dan ini merupakan bentuk mubaalaghoh (sekedar penekanan) akan bolehnya, akan tetapi bukan pada dzhohirnya” (Mawaahibul Jaliil 5/23)

Al-Malibaariy Al-Fanaaniy (dari kalangan ulama abad 10 hijriyah) dari madzhab As-Syafi’iyah berkata:

يَجُوزُ لِلزَّوْجِ كُل تَمَتُّعٍ مِنْهَا بِمَا سِوَى حَلْقَةِ دُبُرِهَا ، وَلَوْ بِمَصِّ بَظْرِهَا

“Boleh bagi seorang suami segala bentuk menikmati istrinya kecuali lingkaran dubur, bahkan meskipun mengisap kiltorisnya” (Fathul Mu’iin bi Syarh Qurrotil ‘Ain bi Muhimmaatid diin, hal 482, terbitan Daar Ibnu Hazm, cetakan pertama tahun 1424 H-2004 H, Tahqiq : Bassaam Abdul Wahhaab Al-Jaabi)

Kelima : Saya belum menemukan dari kalangan fuqohaa terdahulu yang mengharamkan mencium atau menjilat kemaluan pasangan. Adapun dua pendapat yang saya paparkan di awal artikel ini adalah dalil-dalil yang disebutkan oleh para ahlul ilmu zaman sekarang. Diantara para ulama yang mengharamkan oral seks adalah Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albaani rahimahullah. Adapun diantara para ulama yang memandang oral seks adalah perbuatan yang buruk hanya saja hukumnya tidak sampai haram adalah Syaikh Al-Jibriin rahimahullah (sebagaimana dinukil di internet, diantaranya di http://www.ksasound.com/vb/showthread-t_1991.html atau di http://arb3.maktoob.com/vb/arb65515/)

Meskipun hati ini condong akan haramnya oral seks mengingat sulitnya terhindar dari menjilat madzi, akan tetapi karena saya hanya menemukan perkataan fuqohaa terdahulu yang membolehkan oral seks maka saya berhenti pada pendapat mereka.

Keenam : Meskipun tidak ada pernyataan dari fuqohaa terdahulu akan haramnya oral seks akan tetapi terdapat pernyataan mereka yang menunjukkan bahwa oral seks merupakan perbuatan yang qobiih (buruk).

Sebagian ulama Malikiyah (seperti Muhammad Al-‘Uthbiy) tatkala menukil perkataan Imam Malik diatas (“Tidak mengapa melihat kemaluan tatkala berjimak”. Dan dalam riwayat yang lain ada tambahan, “Ia menjilat kemaluan istrinya dengan lidahnya), maka Al-‘uthbiya membuang perkataan Imam Malik “Ia menjilat kemaluan istrinya dengan lidahnya”, karena Al-‘Uthbiy memandang ini adalah perbuatan yang buruk (lihat Al-Bayaan wa At-Tahsiil 5/79). Akan tetapi maksud dari Imam Malik tatkala menyebutkan lafal tersebut adalah untuk penegasan akan bolehnya memandang kemaluan istri tatkala berjimak. Al-Qoodhi Abu al-Waliid Muhammad bin Rusyd rahimahullah berkata :

إِلاَّ أَنَّ الْعُلَمَاءَ يَسْتَجِيْزُوْنَ مِثْلَ هَذَا إِرَادَةَ الْبَيَانِ ، وَلِكَيْلاَ يَحْرُمُ مَا لَيْسَ بِحَرَامٍ ، فَإِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الْعَوَامِّ يَعْتَقِدُوْنَ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى فَرْجِ امْرَأَتِهِ فِي حَالٍ مِنَ الْأَحْوَالِ. وَقَدْ سَأَلَنِي عَنْ ذَلِكَ بَعْضُهُمْ فَاسْتَغْرَبَ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ جَائِزاً وَكَذَلِكَ تَكْلِيْمُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ عِنْدَ الْوَطْءِ، لاَ إِشْكَالَ فِي جَوَازِهِ وَلاَ وَجْهَ لِكَرَاهِيَتِهِ

“Hanya saja para ulama membolehkan seperti ini dalam rangka penjelasan, sehingga tidak diharamkan perkara yang tidak haram. Karena banyak orang awam yang meyakini bahwasanya tidak boleh seseorang melihat kemaluan istrinya dalam kondisi apapun. Sebagian mereka telah bertanya kepadaku tentang hal ini, dan mereka heran kalau hal ini diperbolehkan. Demikian pula seseorang boleh berbicara dengan istrinya tatkala berjimak, tidak ada masalah dalam hal ini dan tidak ada sisi makruhnya” (Al-Bayaan wa At-Tahshiil 5/79)

Ketujuh : Bagi mereka yang terlanjur ketagihan dengan praktek oral seks hendaknya berusaha meninggalkan praktek tersebut sedikit demi sedikit. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa ditinggalkan kecuali jika mereka juga meninggalkan menyaksikan tayangan-tayangan film porno.

Semoga Allah memberikan taufiqNya kepada kita semua.

 

 

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 13-04-1433 H / 06 Maret 2011 M

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

@sumber Firanda.com

Bila Suami Melarang Mengunjungi Kedua Orang Tua??

Pertanyaan : Bila suami saya melarang saya untuk membesuk ayah saya yang sakit maka apakah saya wajib mentaati suami saya?, lalu benarkah kisah berikut ini?

“Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang laki-laki yang akan berangkat berperang, yang berpesan kepada istrinya : “Hai istriku janganlah sekali-kali engkau meninggalkan rumah ini, sampai aku kembali pulang.” Secara kebetulan, ayahnya menderita sakit, maka wanita tadi mengutus seorang laki-laki menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada utusan itu : “Agar dia mentaati suaminya”. Demikian pula si wanita, mengutus utusan tidak hanya sekali sehingga akhirnya dia mentaati suaminya dan tidak berani keluar rumah.

Maka ayahnya pun meninggal dunia dan dia tetap tidak melihat mayat ayahnya dan dia tetap sabar. Sehingga suaminya kembali pulang. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah ta’ala telah mengampuni wanita tersebut, disebabkan ketaatannya kepada suaminya.”

 

JAWAB :

Kisah yang disebutkan ini merupakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth (7/332 no 7648), lafalnya sebagai berikut :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلاً خَرَجَ وَأَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ لاَ تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا وَكَانَ أَبُوْهَا فِي أَسْفَلِ الدَّارِ وَكَانَتْ فِي أَعْلاَهَا فَمَرَضَ أَبُوْهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ : أَطِيْعِي زَوْجَكِ فَمَاتَ أَبُوْهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَطِيْعِي زَوْجَكِ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ غَفَرَ لِأَبِيْهَا بِطَاعَتِهَا لِزَوْجِهَا

Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya ada seseorang yang bersafar dan memerintahkan istrinya untuk tidak keluar dari rumah. Ayah sang wanita tinggal di lantai dasar rumah, sedangkan sang wanita tinggal di lantai atas. Ayanya lalu sakit, maka sang wanita mengirim (utusan) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyebutkan kondisi ayahnya (*yaitu sang wanita ingin keluar dari rumahnya untuk menjenguk dan merawat ayahnya-pen) maka Nabi berkata, “Hendaknya engkau ta’at kepada suamimu”. Lalu ayahnyapun meninggal. Maka sang wanita mengirim (utusan) kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam (*minta izin keluar rumah untuk melayat ayahnya-pen) maka Nabi berkata, “Taatlah engkau kepada suamimu”, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan kepadanya (mengabarkan) bahwasanya Allah telah mengampuni ayahnya karena ketaatan sang wanita kepada suaminya”

Hadits ini adalah hadits yang lemah, Al-Haitsami berkata

وَفِيْهِ عِصْمَةُ بْنُ الْمُتَوَكِّلِ وَهُوَ ضَعِيْفٌ

“Pada sanadnya ada perawi yang bernama ‘Ishmah bin Al-Mutawakkil, dan ia adalah perawi yang lemah” (Majma’ Az-Zawaaid 4/573 no 7666).

Dan lemahnya hadits ini juga telah dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab (16/413) dan juga oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul Gholiil (7/76-77 no 2015)

Sebagian fuqohaa (Ahli Fiqih) dari madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali berdalil dengan hadits ini akan bolehnya seorang suami melarang istrinya menghadiri (melayat) jenazah orang tuanya.

Imam As-Syafii berkata :

وَلَهُ مَنْعُهَا مِنْ شُهُودِ جَنَازَةِ أُمِّهَا وَأَبِيهَا وَوَلَدِهَا ، وَمَا أُحِبُّ ذَلِكَ لَهُ “

“Dan suaminya berhak untuk melarang istrinya menghadiri (melayat) janazah ibunya, ayahnya, dan anaknya, akan tetapi aku tidak menyukai hal ini” (Al-Haawi 9/584)

Setelah menukil perkataan Imam As-Syafii ini Al-Mawardi berkata, “Dan perkataan Imam Syafii ini benar, seorang suami boleh melarang istrinya keluar rumah, karena sang suami senantiasa memiliki hak yang berkesinambungan untuk menikmati/menggauli istrinya dan keluarnya sang wanita menjadikan sang suami luput dari haknya yang berkesinambungan ini. Dan juga sang suami berhak untuk dalam rangka menjaga kesucian air maninya (yang telah ia letakkan pada istrinya, yaitu jika istrinya keluar rumah dikhawatirkan terjerumus pada perbuatan keji-pen) . Dan jika ayah istrinya atau ibunya sakit maka sang suami berhak untuk melarangnya menjenguk kedua orang tuanya. Dan jika kedua orang tuanya meninggal maka sang suami juga berhak untuk untuk melarangnya menghadiri (melayat) jenazah keduanya dikarenakan sebab yang telah kami sebutkan. Dan hal ini sebagaimana seseorang yang menyewa pekerja untuk bekerja dalam waktu yang telah ditentukan, maka ia berhak untuk melarang pekerja tersebut keluar dari tempat kerjanya” (Al-Haawi 9/584, dan Al-Maawardi lalu berdalil dengan kisah di atas)

Ibnu Qudaamah rahimahullah dari madzhab Hanbali berkata :

“Imam Ahmad berkata tentang seorang wanita yang bersuami lalu ibu sang wanita tersebut sakit ;

طَاعَةُ زَوْجِهَا أَوْجَبُ عَلَيْهَا مِنْ أُمِّهَا إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهَا

“Ketaatan kepada suaminya lebih wajib baginya daripada kepada ibunya, kecuali jika sang suami mengizinkannya”.

Lalu Ibnu Qudamah berdalil dengan kisah di atas (Lihat : Asy-Syarh Al-Kabiir li Ibni Qudaamah 8/144-145 dan Al-Mughni 8/130)

Akan tetapi telah jelas bagi kita bahwasanya kisah di atas diriwayatkan dengan sanad yang lemah. Karenanya tidak bisa dijadikan landasan pijakan pengambilan hukum. Selain itu makna hadits tentang kisah ini juga menyelisihi banyak perkara yang telah disepakati, hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah yang dalam hal ini menyelisihi pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.

Beliau berkata, “Tatkala hadits ini tidak shahih di sisi kami, karena diriwayatkan oleh At-Thobroni dalam (Al-Mu’jam) Al-Awshoth dan penyakitnya adalah (perawi yang bernama) Muhammad ‘Aqiil Al-Khuzaa’i, ini dari sisi isnad hadits.

Juga dari sisi lain bahwasanya matan hadits (tekstual hadits) juga menyelisihi beberapa perkara yang telah disepakati. Sesungguhnya ayah sang wanita memiliki hak-hak yang sangat banyak yang harus ditunaikan oleh putrinya. Yang paling jelas dari hak-hak tersebut diantaranya adalah :

– Haknya sebagai seorang ayah, karena Allah berfirman وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا (Hendaknya kalian berbuat baik kepada kedua orang tua kalian sabaik-baiknya). Dimana Allah menggandengkan perintah berbakti kepada kedua orang tua dengan perintah untuk beribadah kepada-Nya.

– Haknya sebagai sesama muslim, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ “Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada lima”, dan diantaranya adalah وَإِذَا مَرَضَ فَعُدْهُ “Jika ia sakit maka jenguklah dia”

– Hak untuk disilaturahmi. Allah telah berkata (*kepada rahim sebagaimana dalam hadits qudsi) : اشْتَقَقْتُ لَكِ اسْمًا مِنْ اسْمِي فَمَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ “Aku telah mengambil namamu dari isytiqooq (pecahan) namaku, maka barangsiapa yang menyambungmu maka aku akan menyambungnya, dan barangsiapa yang memutuskanmu maka aku akan memutusnya”

– Hak kemanusiaan, مَنْ لاَ يَرْحَمُ النَّاسَ لاَ يُرْحَمُ (*karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam); “Barangsiapa yang tidak merahmati manusia maka ia tidak akan dirahmati”

– Hak sang ayah untuk memperoleh pertolongan untuk melangsungkan hidupnya (*sebagaimana penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), دَخَلَتْ امْرَأَةٌ النَّارَ فِي هِرَّةٍ، وَدَخَلَتْ امْرَأَةٌ الْجَنَّةَ فِي هِرَّةٍ “Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing (*yang ia kurung dan tidak diberi makan hingga mati) dan seorang wanita masuk surga karena seekor kucing (*yang ditolongnya)”

– Hak sebagai seorang tetangga (*Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda), مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ “Jibril senantiasa mewasiatkan aku untuk memperhatikan tetangga, sampai-sampai aku menyangka bahwa Allah akan memerintahkan seorang tetangga memiliki hak warisan (menjadi ahli waris) dari tetangganya”

Jika telah jelas perkara di atas maka dibenci seorang suami yang melarang istrinya untuk menjenguk ayahnya yang sakit atau melarangnya untuk berbakti kepada orang tuanya atau melarangnya untuk menampakkan kasih sayang dan perhatiannya kepada kedua orang tuanya” (Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 16/413-414)

Pendapat Imam An-Nawawi adalah pendapat yang lebih kuat mengingat dalil yang disebutkan oleh beliau rahimahullah. Dan pendapat ini sesuai dengan madzhab Hanafi dan madzhab Maliki.

Az-Zaila’i Al-Hanafi berkata :

وَقِيلَ لَا يَمْنَعُهَا مِنْ الْخُرُوجِ إلَى الْوَالِدَيْنِ ، وَلَا يَمْنَعُهُمَا مِنْ الدُّخُولِ عَلَيْهَا …وهُوَ الصَّحِيحُ

“Dan dikatakan bahwasanya seorang suami tidak boleh melarang istrinya keluar rumah untuk mengunjungi kedua orang tuanya, ia juga tidak boleh melarang kedua orang tua istrinya untuk menemui istrinya….dan inilah pendapat yang benar (Tabyiinul Haqoo’iq li Az-Zaila’i, beserta hasyiyah Al-Syilbi 3/58-59

Bahkan seorang istri wajib mendurhakai suaminya yang melarangnya untuk merawat ayahnya yang sakit, jika ternyata tidak ada orang lain yang merawatnya. Karena tidak merawat ayah adalah bentuk kemaksiatan kepada Allah yang telah memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang shahih

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah”

Zainuddin Ibnu Nujaim Al-Hanafi berkata

وَلَوْ كان أَبُوهَا زَمِنًا وَلَيْسَ له من يَقُومُ عليه مُؤْمِنًا كان أو كَافِرًا فإن عليها أَنْ تَعْصِيَ الزَّوْجَ في الْمَنْعِ

“Jika ayahnya sakit dan tidak ada yang merawatnya –baik sang ayah seorang mukmin ataupun kafir- maka wajib bagi sang istri untuk durhaka kepada suaminya yang melarangnya merawat ayahnya” (Al-Bahr Ar-Rooiq Syarh Kanz Ad-Daqooiq 3/237, lihat juga 4/212)

Demikian juga dalam madzhab Malikiyah, jika seorang suami bersumpah untuk tidak mempertemukan istrinya dengan kedua orangtuanya atau bersumpah dengan melarang sang istri untuk mengunjungi kedua orang tuanya maka wajib baginya untuk membatalkan sumpahnya (Lihat Syarh Mukhtashor Al-Kholiil 4/188)

 

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 11-04-1433 H / 04 Maret 2011 M

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

@sumber Firanda.com