Oleh
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman
Kami nasehatkan kepada saudara-saudara kami untuk memiliki motto :
“Bersama Tinta Sampai Ke Liang Kubur”
Dan tidak berhenti dalam menuntut ilmu dengan duduk di majlis-majlis ulama atau sowan langsung kepada mereka dan inilah jalan yang bermanfaat dan paling menyenangkan. Atau juga bisa menekuni buku-buku yang telah diterbitkan atau ditahqiq (diteliti) dari warisan ulama terdahulu atau sekarang[1]
Akan tetapi hasil keilmuan hebat yang tersebar saat ini di berbagai percetakan tidak seluruhnya mempunyai nilai yang sama, ada buku-buku yang penting (inipun bertingkat-tingkat), ada juga yang tidak berguna dan macam ke-3 adalah buku-buku berbahaya yang tidak mempunyai nilai, yang inipun bertingkat-tingkat. Karenanya kami berpendapat pentingnya pembahasan yang berisi hukum-hukum fiqih berkaitan dengan buku-buku yang ditahdzir (diperingatkan) oleh para ulama.
HUKUM JUAL BELI BUKU MENYESATKAN
Wajib bagi para penerbit untuk bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla dalam memilih tema-tema buku yang bermanfaat bagi manusia, untuk membenarkan aqidah dan meluruskan ibadah mereka. Hendaklah mereka berpegang pada kaedah :’Menerbitkan buku yang bermanfaat bagi para penelaah, bukan buku yang mereka minta.”Karena kebanyakan orang umum meminta buku-buku menyesatkan yang laris dipasaran, sehingga (dengan menerbitkan buku-buku itu) memberikan keuntungan materi yang segera kepada penerbit.
Jika manusia membutuhkan buku yang bermanfaat, kemudian mereka mencarinya maka demikian itu adalah keadaan yang bagus. Akan tetapi (penerbit) haruslah meniatkan mencari pahala dalam memilih buku tersebut, sehingga penerbit tidak hanya mendapatkan keuntungan harta benda. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut maka dia mendapat pahala disisi Allah Shubhanahu wa Ta’ala Insya Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu pernah ditanya tentang orang yang menyalin (menulis) Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Al-Qur’an dengan tangannya, dengan niat untuk menulis hadits dan niat lainnya. Jika ia menyalin tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk dijual, apakah ia akan mendapat pahala??
Maka beliau menjawab (Majmu’ Fatawa 18/74-75) setelah memuji Shahihain, kitab-kitab sunan, Musnad, dan Muwatho’ dengan redaksi sebagai berikut : Manusia mendapat pahala dengan tulisannya tersebut, baik ia menulis untuk dirinya atau untuk dijual sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya Allah memasukkan 3 jenis orang kedalam surga dikarenakan satu anak panah (untuk berjihad) : pembuatnya, pelemparnya, dan orang yang membantunya untuk mengambil anak panah)”[2]
Saya (Syaikh Masyhur) berkata : “Dan seperti itu (hukumnya) buku-buku yang bermanfaat (yaitu buku-buku selain mushaf dan buku hadits) sebagaimana Allah memberi pahala kepada penyusun, maka penerbitnyapun mendapat pahala juga. Akan tetapi perlu memperhatikan hal-hal berikut :
A. Haram Menjual Buku-Buku Yang Berisi Syirik Dan Peribadahan Kepada Selain Allah Shubhanahu Wa Ta’ala.
Ibnul Qayyim berkata (Lihat Zaadul Maad 5/761) ketika membahas jual beli yang terlarang : “Dan seperti itu (haram menjual) buku yang berisi syirik dan ibadah kepada selain Allah.Ini semua wajib disingkirkan dan dihilangkan karena menjualnya adalah jalan untuk memiliki dan mengoleksi kitab-kitab tersebut. “Menjual kitab-kitab ini tentu lebih diharamkan daripada menjual barang-barang yang lain karena bahaya menjualnya adalah sebanding dengan bahaya yang dikandung oleh buku itu sendiri.”
B. Haram Menjual Buku-Buku Berisi Khurafat Dan Perdukunan.
Al-Wanasy-risyi mengatakan : “Sebagian ulama ditanya tentang buku-buku yang berisi hal-hal yang tidak masuk akal (termasuk hal ini : cerita bergambar yang terdapat ditaman-taman bacaan, -pent) dan sejarah yang jelas bohongnya (dongeng, legenda, -pent) seperti kitab tarikh (legenda/sejarah) ‘antarah dan dalhamah dan berisi caci maki, syair, lagu dan lain-lain. Apakah boleh dijual atau tidak? Maka mereka menjawab :”Tidak Boleh Dijual dan Dilihat”.
Syaikh Abul Hasan al-Bathrani menceritakan bahwa ia hadir dalam halaqah fatwanya Ibnu Qidah, ketika beliau ditanya tentang orang yang suka mendengar cerita dari buku ‘antarah ,apakah boleh menjadikannya sebagai imam? Maka Ibnu Qidah menjawab :”Tidak boleh mengangkatnya sebagai imam dan sebagai saksi.Demikian juga cerita buku Dalhamah, karena itu merupakan kebohongan, dan orang menghalalkan dusta adalah pendusta.Dan seperti itu (hukum bagi) buku astrologi (buku tentang perbintangan) dan buku-buku mantra dengan bahasa yang tidak diketahui.” [Lihat Al-Mi’yar Al-Mu’arab 6/70]
Saya berkata (Syaikh Masyhur) :”Adapun keimamannya adalah sah karena orang gugur / batal shalatnya tidak membatalkan shalat orang lain. Tetapi tidak seyogyanya menawarkan jabatan imam kecuali kepada orang yang layak. Dan orang yang seperti ini (hobi dengan cerita-cerita fiksi, -pent) hendaknya dilarang menjadi imam. Inilah idealnya, wallahu a’lam.
C. Tidak Boleh Menjual Buku Yang Banyak Kesalahannya Kecuali Sesudah Dijelaskan.
Ibnu Rusyd rahimahullahu ditanya tentang orang yang membeli mushaf al-Qur’an atau buku yang banyak kesalahan dari segi percetakan, lalu ia ingin menjualnya, apakah ia wajib menjelaskannya? Dan jika ia menjelaskannya tentu tidak ada yang mau membelinya.
Maka beliau menjawab:”Tidak boleh ia menjual sehingga dijelaskan, wabillahi taufiq. [Fatawa Ibnu Rusyd 2/922-923, Al-Mi’yar Al-Mu’arab 6/203]
Aku (Syaikh Masyhur) berkata :”Maka jika menjual buku yang banyak salah dari segi tulisan dan bagian luarnya tidak boleh, maka tentu lebih terlarang jika salahnya itu dari segi isi dan makna.”
D. Haram Menjual Buku-Buku Berisi Mantra-Mantra, Jimat-Jimat (Buku Mujarobat Dan Faedah Asmaul Husna, -pent) Taawudz Dan Cara-Cara Menghadirkan Arwah Dan Jin.
Ibnu Baththah al-‘Ukbari rahimahullahu berkata :”Termasuk bid’ah adalah melihat/memandang buku berisi mantra-mantra dan mempraktekkannya ,dan mengaku-aku bisa bicara dengan jin, menjadikan jin sebagai khadam dan membunuh jin.
Demikian pula termasuk bid’ah memakai dan menggantung jimat-jimat dan do’a-do’a untuk meminta perlindungan kepada jin. [Lihat Asy-Syarhu wal Ibanah hal : 361]
E. Haram Menjual Diwan-Diwan Syi’ir (Buku Berisi Kumpulan Puisi Atau Syair Lagu, -pent) Yang Berisi Ejekan, Dendam, Dan Perkataan Kotor/Cabul.
Imam Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya 1/337 : “Ibnul Qasim membenci mengambil upah sebagai balasan mengajar syi’ir dan nahwu. Ibnu Habib berkata :”Tak mengapa mengupah seseorang untuk mengajar syi’ir, risalah dan peperangan-peperangan orang Arab (sejarah Arab yang biasanya diabaddikan dalam syair, -pent) dan dibenci syi’ir yang berisi dendam, kata-kata jorok dan ejekan.”
Saya (Syaikh Masyhur) berkata :”Berdasar perkataan Imam Al-Qurthubi haram menjual diwan-diwan syi’ir yang penuh dengan hal-hal yang bertentangan dengan Islam.”. Hal ini ditegaskan oleh Imam Adz-Dzahabi beliau berkata : “Sya’ir adalah ucapan sebagaimana jenis ucapan manusia yang lain, maka syair yang baik adalah baik, dan syair yang buruk adalah buruk. Berlebihan dalam masalah syair adalah mubah, [Pahamilah kata-kata beliau ni dengan judul Bab yang dibuat oleh Imam Bukhari, yakni Kitab Adab, Bab dibencinya keadaan dimana syai’ir menyibukkan seorang sehingga menghalanginya dari dzikrullah, ilmu syar’i dan Al Qur’an- Fathul Bari juz 10 hal.548]
Kecuali berlebihan dalam menghafal syair-syair seperti syair-syair Abu Nawas, Ibnu Hajjaj (sufi) dan Ibnu Faridh (sufi) , maka dalam hal ini hukumnya “haram”.
Dalam seperti ini Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Sungguh perut salah satu kamu penuh berisi nanah sehingga merusak perut, lebih baik daripada penuh berisi syair.” [Bukhari dalam shahihnya 10/548, Muslim dalam shahihnya 4/1769 dari Abu Hurairah]
Saya (Syaikh Masyhur) berkata :”Maka haram menjual buku-buku mereka (orang-orang yang menyimpang lagi meremehkan agama) kecuali kepada Ahli Ilmu dan Penunutut Ilmu untuk mentahdzhir (memperingatkan) bahayanya. Allah-lah tempat memohon pertolongan. Tidak ada Rabb selainNya. Termasuk hal ini adalah diwan-diwan syair yang berisi hal-hal yang bertentangan dengan aqidah Islam, seperti syair Sufi (barzanzi, diba’ dan lain-lain, -pent)
As-Sakwani berkata didalam Lahnul Awam halaman 149, setelah menyebutkan syair-syair yang menyelisihi syariat :”Ini semua dan hal-hal yang serupa dengannya adalah haram menyebarkan dan membiarkannya. Membakarnya adalah wajib dan tidak halal menjualnya di pasar.”
F. Haram Menjual Buku-Buku Filsafat Dan Ilmu Kalam
Ibnu Katsier berkata dalam Al Bidayah wan Nihayah 11/69 ketika membeberkan kejadian-kejadian pada tahun 279H: “Dalam tahun ini diumumkan tentang terlarangnya penjualan buku-buku filsafat, ilmu kalam dan debat. Itu merupakan keinginan Abul Abbas Al Mu’tadhid, penguasa Islam.”
Hafizhuddin bin Muhammad yang terkenal dengan sebutan al-Kardiry (w.872H) menceritakan sebuah hikayat yang bagus untuk menjelaskan nilai buku-buku ini (filsafat) disisi para shahabat Nabi.Beliau berkata : “Diceritakan, ketika Amr bin Al-Ash menguasai kota Iskandariyah, disana ada seorang ahli filsafat bernama Yahya, yang digelari Thumathikus -yaitu ahli ilmu nahwu- , dan penduduk Iskandariyah melaknat dirinya. Ia menganut sekte Al-Yaqubiyah dalam masalah trinitas, kemudian ia meninggalkan trinitas. Maka penduduk Mesir yang beragama Nasrani mendebatnya dan menjatuhkan martabatnya di tengah-tengah masyarakat. Takkala Iskandariyah dikuasai Amr, maka ia selalu menyertai Amr dan suatu hari ia berkata kepada Amr: “Engkau telah mengetahui rahasia penduduk negeri ini, dan engkau menyegel seluruh gudang yang ada, dan engkau tidak mau mengambil menfaat darinya, padahal dalam hal ini tidak seorangpun yang menentangmu. Dan apa-apa yang tidak engkau manfaatkan maka lebih baik diserahkan kepada kami saja!.”. Maka Amr berkata :”Apa yang kau butuhkan?” Yahya berkata :”Buku-buku filsafat yang ada di gudang.” “Itu tidak mungkin kecuali dengan ijin dari Amirul mukminin,” jawab Amr. Kemudian Umar menulis (jawaban) kepada Amr: “Adapun buku-buku yang telah kau ceritakan ,jika sesuai dengan Kitabullah, maka Kitabullah sudah mencukupinya, jika tidak sesuai dengan Kitabullah maka tidak diperlukan.(Oleh karena itu) “Lenyapkanlah” buku-buku itu.”
Maka Amr membagikan buku-buku tersebut pada perapian-perapian di Iskandariyah dan memerintahkan untuk membakar buku-buku tersebut, sehingga selesailah pemusnahan buku-buku filsafat dalam jangka 6 bulan.
G. Haram Menjual Buku-Buku Karya Al-Hallaj, Ibnu Arabi Dan Tokoh-Tokoh Sufi Lainnya
Al-Malik Al-Muayyib Ismail Abu Fida’ dalam Akhbar Al-Basyar 4/79 :”Ketika tahun 744H, di tahun itu kami mengkoyak-koyak dan mencuci (melunturkan tinta) Kitab Fushulul Hikam karya Muhyidin Ibnu Arabi di Madrasah Al-Ush-furiyah di Halb sesudah pelajaran (didepan murid) sebagai peringatan haramnya menelaah dan memiliki kitab tersebut dan aku berkata : Kitab Fushuh ini sebenarnya tidaklah berharga Aku membaca goresan-goresannya Ternyata isinya adalah sebaliknya (dari judulnya)
[Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi 12/Th.IV/1421-2000. Diterjemahkan secara ringkas oleh Aris Munandar bin.S.Ahmadi al-Lamfuji, Penerbit Yayasn Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
_______
Footnote
[1]. Hal ini karena belajar melalui buku itu memiliki 2 kesulitan : 1. Membutuhkan waktu lama dan kesungguhan yang sunguh-sungguh, 2. Ilmu yang berasal dari buku-buku adalah lemah, tidak dibangun diatas kaidah dan ushul. Lihat. Kitabul Ilmi, Ibnu Utsaimin , hal 68-69 Daruts Tsariya, 1417
[2]. Hadits dhaif, lihat takhrij Fiqhus Sirah, oleh Al-Albani hal 225-226, tetapi pengambilan dalil yang dilakukan Syaikhul Islam adalah benar berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan (pahala) seperti pahala pelakunya [Hadits Riwayat Muslim]
@Sumber : Almanhaj.or.id
Post a Comment