Oleh
Ustadz DR Muhammad Nur Ihsan
Tidak di ragukan bahwa Hadits adalah masdar at talaqqi (sumber kedua pengambilan hukum) dalam Islam. Ia adalah wahyu dari Allâh Azza wa Jalla seperti al-Qur’ân. Dan sungguh Hadits yang mulia ini sejak kemunculan Islam telah menghadapi bermacam serangan, celaan dan kritikan dari musuh musuh Allâh dan Rasul-Nya baik dari non Muslim atau orang munafikin. Mereka ingin memadamkan cahaya Islam dengan bermacam makar dan propaganda, akan tetapi Allâh Azza wa Jalla tetap memelihara agama dan menyempurnakan cahaya-Nya.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka (orang orang kafir) ingin memadamkan cahaya (agama) Allâh dengan ucapan ucapan mereka, sedang Allâh tetap menyempurnakan cahaya (agama)-Nya sekalipun orang orang kafir tidak senang. [as-Shaf/61:8]
Sejak awal abad 20 Masehi, sungguh Hadits telah menghadapi bermacam hujatan, celaan dan kritikan dari kaum orientalis. Mereka menebarkan bermacam syubhat tentang Hadits dengan tujuan menjauhkan kaum Muslimin dari agama mereka dan menanamkan bermacam keraguan dalam diri kaum Muslimin. Mereka diikuti oleh para neo-orientalis dan kaum munafik yang membeo (pengikut) kepada mereka. Mereka rela menjual akidah dan prinsip agama mereka kepada non Muslim untuk menhancurkan Islam dari dalam dan menggunting kain dalam lipatan.
Diantara tokoh sentral orientalis yang berada dalam barisan terdepan dalam menghujat Islam dan mengkritisi Hadits adalah Ignaz Goldziher (1850–1921 M)[1] seorang Yahudi yang menulis kitab “al-Aqîdah wasy Syarî’ah fil Islâm” dan Joseph Schacht (1902-1969 M)[2] seorang Nasrani berasal dari Inggris, penulis kitab “Ushûl al-Fiqh al-Muhammadi”. Karya tulis mereka inilah yang di jadikan sebagai rujukan dan referensi utama oleh dunia barat dalam mengkaji Islam terkhusus di kalangan para orientalis yang datang setelah mereka dan para pembeo (pengikut) mereka yang berasal dari dunia timur yang mempelajari Islam didunia barat, atau yang terkontaminasi dengan pemikiran mereka, terkhusus dalam mengkaji Hadits dan fiqih Islam.
Mereka telah menebarkan bermacam syubhat tentang Islam dan Hadits secara khusus, akan tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala senatisa menjaga agamanya dan memelihara Hadits Nabi-Nya, dengan membangkitkan para Ulama dari masa kemasa untuk memperjuangkan Hadits dan membentenginya dari bermacam propaganda dan makar musuh Islam. Mereka menepis syubhat-syubhat yang dilancarkan para musuh yang menghujat Hadits, dengan dalil dan hujjah yang nyata dari al-Qur’ân dan Hadits serta logika yang sehat.
Berikut penulis akan sebutkan sebagian syubhat orientalis tentang Hadits, dan bantahan Ulama Islam terhadapnya.
SYUBHAT PERTAMA : Larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dari Menulis Hadits.
Para orientalis dan para pengikut mereka mengatakan bahwa seandainya Hadits tersebut sebagai hujjah atau dalil tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menulisnya, dan para shahabat dan tabi’in yang datang sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan melakukan hal itu, sehingga dengan demikian bisa di pastikan validitas atau kebenarannya, sebagaimana al-Qur’ân. Namun kenyataannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penulisan Hadits dan memerintahkan untuk menghapus apa yang pernah di tulis, begitu juga para shahabat dan tabi’in sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bukan hanya itu saja, bahkan sebagian mereka tidak mau menyampaikan hadits atau mengurangi atau menyedikitkan hal itu dan bahkan sebagian yang lain melarang dari memberbanyak menyampaikan dan meriwayatkan hadits.[3]
Mereka menyebutkan dalam hal ini sebagian hadits, seperti hadits (yang artinya), “Janganlah kalian tulis dariku selain al-Qur’ân, barangsiapa yang menulis sesuatu selain al-Qur’ân maka hendaklah ia hapus”
Para orientalis mengatakan bahwa hadits-hadits yang melarang menulis Hadits adalah palsu, hadits tersebut hanya sebagai hasil proses perkembangan agama (idiologi), polotik dan sosial yang muncul dalam Islam, sebagaimana yang di katakan oleh toko orientalis: Ignaz Goldziher[5] .
Jawaban:
Pernyataan diatas adalah pendapat batil dan tidak benar, karena tidak berlandaskan penelitian yang objektif dan ilmiyah. Pendapat itu hanya berlandaskan hawa nafsu dan pemahaman yang salah serta rasa kebencian yang mendalam kepada Islam dan Hadits secara khusus, berikut beberapa argumentasi yang menjelaskan tentang kebatilannya :
Pertama: Tidak diragukan keshahihan hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu yang meriwayatkan larangan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari menulis hadits, sebagaimana yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya. Namun para orientalis dan para pengikut mereka menutup mata dan meninggalkan hadits-hadits yang memerintahkan para shahabat dan memotivasi mereka untuk menghapal hadits kemudian menyampaikan dan meriwayatkannya. Pada waktu yang sama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman keras terhadap kebohongan atas nama beliau, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih, dalam hadits haji wada’ beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَلَا لِيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَلَعَلَّ بَعْضَ مَنْ يُبَلَّغُهُ أَنْ يَكُونَ أَوْعَى لَهُ مِنْ بَعْضِ مَنْ سَمِعَهُ
Hendaklah yang hadir menyampaikan (apa yang ia dengar) kepada yang tidak hadir, boleh jadi sebagian yang menerimanya (hadits) lebih memahami (maksud)nya dari pada sebagian orang yang mendengar lansung[6] .
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
Semogah Allâh menjadikan berseri-seri wajah seseorang yang mendengar dari kami sebuah hadits, lalu ia menghapalnya dan menyampaikannya (kepada orang lain), boleh jadi yang membawa fiqih (ilmu/hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan boleh jadi seseorang yang memiliki fiqih (hadits) bukanlah orang yang faqih (yang memahami secara mendalam tentang hadits tersebut, pen.)[7] .
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga besabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Barangsiapa yang menyampaikan atas namaku sebuah hadits, ia menduga/mengetahui bahwa itu suatu kebohongan, maka ia adalah salah seorang pembohong[8] .
Dan hadits-hadits yang lain yang senada yang memerintahkan untuk menghapal hadits dan menyampaikannya serta perintah untuk berhati-hati dalam hal itu, agar tidak menisbatkan kebohongan dan hadits hadits yang palsu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini menjelaskan akan urgensi Hadits dalam Islam, bahwa ia adalah hujjah dan sumber hukum dalam segala perkara agama, bukan hasil proses perkembangan idologi, politik dan sosial yang dialami oleh kaum Muslimin, sebagaimana yang dikatakan oleh para orientalis dan para pembeo (pengikut) mereka.
Kedua: Telah terdapat hadits-hadits yang shahih yang memerintahkan dan mengizinkan untuk menulis hadits, sebagaimana dalam hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ وَقَالُوا: أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ، وَالرِّضَا، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ، فَقَالَ: «اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ»
Dari Abdullah Bin Amru beliau berkata: awalnya saya menulis segala sesuatu yang saya dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , saya ingin menghafalnya, lalu kabilah Quraisy melarang saya, seraya berkata, ‘Kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sementara beliau adalah manusia, berkata dalam keadaan emosi dan ridho.” Lalu saya tinggalkan menulis hadits, kemudian saya sampaikan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau menunjuk dengan jari kemulutnya, seraya bersabda, “Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tiada yang keluar darinya kecuali kebenaran”[9] .
Dan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tulislah untuk Abu Syah”[10] .
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata: “Tidak seorangpun dari para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak meriwaytkan hadits dari pada saya, kecuali Abdullah Bin Amr Bin Ash, maka sesungguhnya beliau menulis (hadits) dan saya tidak menulis(nya)”[11] .
Dan dari Abdullah Bin Amr Radhiyallahu anhuma , bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Ikatlah ilmu itu dengan tulisan”[12] .
Begitu juga telah diriwayatkan dari banyak para shahabat dan para tabi’in izin dan perintah untuk menulis hadits, diantara mereka (dari para shahabat): Abdullah bin Amr Bin ‘Ash, al-Barâ’ bin ‘Azib, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thâlib, Anas bin Mâlik, Jâbir Bin Abdullah dan Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhum [13] .
Adapun dari kalangan Tabi’in seperti: Sa’id Bin Jubair, Mujâhid, ‘Athâ bin Abi Rabah, Raja’ Bin Haiwah, Nâfi’ maula Ibnu Umar, Hasan al-Basri dan yang lain [14] .
Nah, kenapa para orientalis dan para pengikut mereka –yang mengatakan bahwa mereka senantiasa bersikap objektif dan ilmiyah (!)-, kenapa mereka tutup mata dan tidak menukil hadits hadits dan perkataan para shahabat dan tabi’in yang mengizinkan dan memerintahkan untuk menulis dan meriwayatkan hadits, mana sikap objektif dan ilmiyah mereka dalam hal ini, atau mereka hanya bersikap objektif dalam perkara yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, dan itulah kenyataannya, jadi pada dasarnya mereka adalah pengekor hawa nafsu.
Kemudian perlu di ketahui bahwa banyak dari para Ulama yang berpendapat bahwa hadits yang mengizikan untuk menulis Hadits telah menasakh (menghapus) hukum hadits yang melarang dari menulisnya, diantara mereka: Imam al-Bagawai dalam Syarhus sunnah (1/294), Ibnu Qutaibah dalam Ta’wîl Mukhtalafil Hadîts (hlm. 286), an-Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim (13/34) bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menukil pendapat ini dari jumhur para ulama [15] .
Ketiga: Adapun perkataan para orientalis bahwa “larangan tersebut menjelaskan bahwa hadits bukanlah hujjah” ini adalah kebatilan yang nyata, sebab para Ulama telah menjelaskan bahwa larangan tersebut bukanlah larangan secara mutlak, akan tetapi karena beberapa faktor, diantaranya:
1. Larangan tersebut khusus tentang penulisan Hadits bersama al-Qur’an dalam satu lembaran, karena di khawatirkan akan terjadi percampurbauran antara al-Qur’an dan Hadits tanpa ada pembeda antara keduanya [16] .
2. Larangan tersebut khusus diwaktu turunnya al-Qur’an, karena di khawatirkan akan tercampur al-Qur’an dengan selainnya, sedangkan izin untuk menulis adalah diwaktu selain itu [17] .
3. Sebab larangan tersebut, karena kekhawatiran akan menyibukkan kaum Muslimin dari memperhatikan al-Qur’an dan lebih mengutamakan Hadits, sehingga akan menyebabkan ditinggalkan al-Qur’an dan di abaikan[18] .
4. Larangan tersebut di sebabkan kekhawatiran munculnya sikap mengandalkan tulisan saja sehingga meninggalkan hapalan, oleh karena imam Ibrahim an-Nakha’I mengatakan: “Tidaklah seseorang menulis kitab (ilmu) kecuali ia akan mengandalkannya”[19] .
Dari apa yang di utarakan jelaslah kebatilan perkataan para orientalis dan para pengikut mereka bahwa faktor yang menyebabkan larangan penulisan hadits adalah Nabi dan para shahabat tidak ingin ada kitab lain bersama al-Qur’an, dan tidak menghendaki Hadits menjadi landasan agama yang universal untuk selamanya seperti al-Qur’an serta menjelaskan bahwa para shahabat melakukan ijtihad dalam menghadapi Hadits dan tidak menerimanya.
Ini adalah pernyataan yang batil dan kesimpulan yang keliru yang jauh dari sikap objektif dan penelitian ilmiyah[20] .
SYUBHAT KEDUA : Keterlambatan Penulisan Hadits.
Para orientalis dan para pengikut mereka mengatakan: Penulisan Hadits baru di lakukan di awal abad kedua hijriyyah, karena yang pertama sekali memerintahkan untuk mengodifikasikan Hadits adalah khalifah Umar Bin Abdulaziz t yang menjabat sebagai khalifah pada tahun 99 H dan meninggal tahun 101 H.
Bahkan tokoh sentral orientalis Ignaz Goldziher mengatakan, “Sesungguhnya bagian terbesar dari hadits tiada lain kecuali hasil proses perkembangan religi (idiologi/pemikiran), politik dan sosial yang muncul pada abad pertama dan kedua, dan sesungguhnya tidak benar apa yang dikatakan bahwa hadits adalah dokumentasi (landasan) Islam pada masa awal kelahirannya, akan tetapi ia adalah peninggalan dari usaha Islam di zaman kematangan atau keemasannya”[21] .
Perkataan Ignaz Goldziher inilah yang di jadikan landasan oleh seluruh para orientalis yang datang sepeninggalnya, terkhusus Joseph Schacht dan para neo orientalis dalam keilmuan dan penelitian mereka tentang Islam [22] .
Dalam hal ini mereka berdalil dengan atsar yang di nukil oleh Imam Bukhâri dalam Shahîh nya. Beliau rahimahullah berkata, “Umar Bin Abdulaziz menulis surat kepada Abu Bakr Ibn Hazm, “Perhatikanlah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tulislah (kodifikasikanlah), sesungguhnya saya khawatir hilangnya ilmu dan meninggalnya para Ulama, dan janganlah kamu terima kecuali hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan hendaklah kalian tebarkan ilmu, dan hendaklah kalian duduk di majlis ilmu agar orang yang tidak tahu menjadi tahu, maka sesungguhnya ilmu tidak akan binasa/hilang kecuali bila di rahasiakan (tidak di tebarkan)”[23]
Jawaban:
Apa yang di katakan para orientalis tentang keterlambatan penulisan Hadits adalah tidak benar. Hal itu disebabkan oleh kejahilan mereka tentang sejarah penulisan Hadits dan pengodifikasiannya serta perkembangannya, dan jauhnya mereka dari sikap ilmiyah dan objektif dalam hal ini, kebatilan tersebut di tinjau dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwa mereka tidak memahami hakekat al-kitâbah yaitu: penulisan, at-tadwîn yaitu: pengodifikasian dan at-tashnîf yaitu penyusunan, mereka mencampuradukkan antara ketiga hakekat diatas.
Al-kitabah bukanlah at-tadwîn dan at-tadwîn bukanlah at-tashnîf. Al-kitâbah adalah hanya sekedar penulisan sesuatu tanpa perhatian untuk mengumpulkan lembaran lembaran yang di tulis dalam sebuah kitab, adapun at-tadwîn adalah tahapan yang datang setelah penulisan, yaitu mengodifikasikan lembaran lembaran yang telah di tulis dalam sebuah kitab. Adapun at-tashnîf (penyususnan) lebih khusus dari pengodifikasian, karena ia adalah penyusunan hadits-hadits yang telah di tulis dalam lembaran yang telah di kodifikasikan dalam fasal-fasal tertentu dan bab bab yang terpisah.
Berdasarkan hal ini, maka perkataan para Ulama bahwa awal pentadwinan (pengodifikasian) Hadits adalah pada akhir abad pertama, bukan berarti bahwa Hadits tidak ditulis selama masa itu. Namun maksudnya adalah bahwa Hadits telah ditulis dalam lembaran lembaran yang terpisah dan belum sampai kepada tahapan pengodifikasian (pengumpulan)nya dalam kitab khusus.
Inilah yang tidak dipahami oleh orientalis dan para pengikut mereka. Mereka memahami bahwa penulisan sama dengan pengodifikasian. Dari sini jelaslah kekeliruan orang yang memahami perkataan, “Orang yang pertama sekali mentadwin ilmu/Hadits adalah Imam Ibnu Syihab az-Zuhri” dengan orang yang pertama sekali menulis hadits adalah Imam az-Zuhri. Ini jelas kekeliruan yang nyata, karena penulisan bukan pengumpulan atau pengodifikasian.
Jadi perkataan di atas harus dipahami dan di terjemahkan dengan benar, yaitu orang yang pertama sekali mengodifaksikan lembaran lembaran hadits yang telah ditulis dan menyusunnya adalah imam az Zuhri rahimahullah[24]
Barangsiapa yang memprhatikan perkataan para Ulama dalam perkara ini maka akan jelas baginya bahwa maksud mereka adalah pengodifikasian bukan penulisan, seperti perkataan Hafidz Ibnu Hajar berikut:
أَوَّلُ مَنْ دَوَّنَ الْحَدِيْثَ ابْنُ شِهَابٍ الزُّهْرِيُّ عَلَى رَأْسِ المِائَةِ بِأَمْرِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ، ثُمَّ كَثُرَ التَّدْوِيْنُ ثُمَّ التَّصْنِيْفُ، وَحَصَلَ بِذَلِكَ خَيْرٌ كَثِيْرٌ
Orang yang pertama sekali mentadwin (mengodifikasikan) hadits adalah Ibnu Syihab az-Zuhri pada awal tahun 100 (awal abad kedua hijriyah) berdasarkan perintah Umar Bin Abdulaziz, kemudian setelah itu bertambah banyak mengodifikasian kemudian penyusunan, dan dengan demikian terwujudlah kebaikkan yang banyak [25] .
Kedua: Bahwa khalifah Umar Bin Abdulaziz rahimahullah tatkala memerintahkan untuk mengodifikasiakan Hadits, bukan bearti beliau memulai dari sesuatu yang tidak ada. Beliau telah berpegang kepada lembaran-lembaran hadits yang telah ditulis sebelumnya di zaman Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah tersebar di seluruh penjuru dunia Islam tatkala itu. Ini adalah kenyataan ilmiyah dan bukti historis yang tidak bisa di pungkiri oleh orang orang yang bersikap ilmiyah dan objektif dalam penelitiannya.
Ketiga: Kenyataan diatas di perkuat oleh bukti sejarah yang otentik tentang penulisan Hadits dalam lembaran lembaran yang terpisah yang ada pada zaman para shabahat, berikut beberapa contoh tentang hal itu:
1. Perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu : Tatkala Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menaklukan kota Makkah, beliau berdiri di hadapan manusia seraya berkhutbah, lalu salah seorang dari penduduk Yaman, namanya Abu Syah bertanya kepada beliau: Wahai Rasulullah, tulislah untukku, beliau bersabda: “Tulislah untuk Abu Syah”[26] .
2. Begitu juga tulisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memuat tentang sedekah, diyah, kewajiban agama dan Hadits Haditsnya yang beliau kirimkan kepada Amru Bin Hazm tatkala di utus ke negeri Yaman[27] .
3. Tulisan Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu kepada Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu tatkala beliau mengutusnya ke Bahrain, tentang kewajiban kewajiban sadakah/zakat yang telah di jelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [28] .
4. Tulisan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu yang beliau kirimkan kepada ‘Utbah bin Farqad yang berada di Azerbejan yang berisi larangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan memakai kain sutera bagi lelaki, kecuali seukuran jari telunjuk dan jari tengah [29] .
5. As-Shahifah ash shadiqah (lembaran lembaran hadits yang autentik) ditulis dan di kumpulkan oleh Abdullah Bin Amru bin al ‘Ash Radhiyallahu anhuma yang beliau dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sekalipun tulisan asli beliau tidak di temukan, akan tetapi kandungannya tetap terjaga utuh sebagaimana yang terdapat dalam musnad Imam Ahmad [30]. Kendati demikian ini tidak mengurai keabsahan shahifah tersebut karena ia pada dasarnya adalah hasil dari riwayat hadits yang beliau dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana yang terdapat dalam pernyataan beliau, “Awalnya saya menulis segala sesuatu yang saya dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , saya ingin menghafalnya, laku kabilah Quraisy melarang saya, seraya berkata: kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sementara beliau adalah manusia, berkata dalam keadaan emosi dan ridho, lalu saya tinggalkan menulis hadits, kemudian saya sampaikan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau menunjuk dengan jari kemulutnya, seraya bersabda: “Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tiada yang keluar darinya kecuali kebenaran”[31] .
6. Ash shahifah ash shahihah yang di tulis oleh Hammam Bin Munabbih, suami anak perempuan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , yang beliau tulis di hadapan Abu Hurairah. Shahifah ini memiliki keistimewahan khusus dalam pengodifakasian Hadits, sebab ia –alhamdulillah- masih di temukan dalam keadaan utuh sebagaimana yang diriwayatkan dan di tulis oleh Hammam Bin Munabbih dari Abu Hurairah langsung, maka pantaslah ia di namakan dengan “ash shahifah as-Shahîhah”[32] sebagaimana halnya dengan “ash shahifah ash-shadiqah” yang ditulis oleh Abdullah Bin Amru Bin Ash.
Itulah sebagian dari lembaran lembaran yang di tulis di zaman para shahabat yang memuat hadits hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan masih banyak di lembaran lembaran yang lain yang di tulis oleh para shahabat Radhiyallahu anhum [32] . Hal ini menjelaskan kepada kita kebatilan pernyataan para orientalis bahwa Hadits baru ditulis di awal abad kedua hijriyah.
Hal ini juga menjelaskan kepada kita kebatilan perkataan orientalis bahwa Hadits adalah hasil proses perkembangan idiologi atau pemikiran, politik dan social atau budaya dalamkehidupan kaum Muslimin, bukan wahyu dan syari’at yang di turunkan oleh Allâh dan yang di ajarkan oleh Rasul kepada umatnya. Ini juga menjelaskan kebatilan ucapan yang senada yang dikatakan oleh neo orientalis bahwa Islam itu adalah budaya arab, bukan konsep atau sistim kehidupan yang relepan dengan zaman sekarang (!) atau kalimat yang senada dengannya, mereka pada dasarnya hanya membeo kepada para orientalis yang telah nyata kebencian mereka terhadap Islam, nah masih adakah dari kalangan mereka orang orang yang berfikir dengan objektif dan bersikap ilmiyah dalam penelitian mereka, jauh dari sikap tendensial dan fanatisme golongan??
SYUBHAT KETIGA: Periwayatan Hadits Dengan Makna.
Mereka mengatakan: Keterlambatan penulisan Hadits menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap Hadits itu sendiri. Kondisi ini menyebabkan munculnya periwayatan Hadits dengan makna, sehingga metodelogi ini menjadi kaedah dasar yang invariabel yang diakui di kalangan Ulama hadits, sehingga menyebabkan perhatian mereka terhadap makna lebih besar dari perhatian terhadap lafal hadits. Sehingga hilanglah keaslian lafal-lafal hadits dan maknanya yang menyebabkan para ahli nahwu atau bahasa tidak berdalil dengan lafal-lafal hadits nabawi dalam menetapkan bahasa dan kaedah kaedah nahwu, karena kekhawatiran bahwa lafal-lafal tersebut telah di warni oleh kepribadian para perawi.[34]
Jawaban:
Pernyataan di atas juga tidak benar, jauh dari penelitian yang objektif dan ilmiyah, berdasarkan beberapa poin berikut:
Pertama : Periwayatan dengan makna bukanlah kaedah dasar dalam meriwayatkan hadits menurut Ulama hadits, bahkan yang menjadi kaedah dasar dalam hal ini adalah periwayatan hadits dengan lafadznya. Diantara bukti nyata yang menjelaskan hal ini adalah perbedaan pendapat para Ulama tentang hukum meriwayatkan hadits dengan makna kepada dua pendapat :
1. Periwayatan hadits dengan makna tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak memahami makna dan maksud lafadz dalam bahasa arab, dan tidak mengetahui sinonim kata. Ini adalah perkara yang wajib tanpa ada perbedaan di kalangan Ulama. Karena orang yang tidak mengetahui hal tersebut tentu akan salah dalam meriwayatkannya. Adapun orang yang mengetahui makna dan maksud lafadz-lafadz bahasa arab dan perbedaannya, maka para Ulama salaf, ahlul hadits dan para fuqaha berbeda pendapat tentang hukumnya, mayoritas mereka membolehkan hal itu (meriwayatkan dengan makna) jika ia memastikan mampu menyampaikan makna lafadz hadits yang ia dengar.
2. Melarang meriwayatkan hadits dengan makna secara mutlak, bahkan wajib menukilkan lafadz hadits sebagaimana aslinya, tanpa ada pebedaan antara orang yang mengetahui makna lafadz atau tidak. Ini adalah pendapat mayoritas salaf, orang orang yang teliti dalam periwayatan hadits, dan ia adalah pendapat imam Malik dan mayoritas ahlulhadits dan Zhahiriyyah.
Jadi hukum asal periwayatan hadits adalah periwayatan dengan lafadz bukan dengan makna, adapun periwayatan dengan makna adalah cabang bukan asal, dan itupun hanya bagi orang yang menguasai dan memahami makna lafadz hadits, bukan secara mutlak[35] .
Kedua : Kendati hukum asal periwayatan hadits adalah dengan makna menurut pendapat para orientalis dan para pengikut mereka, akan tetapi tentu tidak akan menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap hadits itu sendiri sebagaimana yang mereka bayangkan dan katakan, yaitu hilangnya kepercayaan terhadap keabsahan lafadz hadits dan maknanya. Karena perbedaan lafadz hadits-hadits nabawi tidak di sebabkan oleh periwayatan hadits dengan makna saja, akan tetapi ada factor-faktor yang lain yang menyebabkan hal itu, seperti perbedaan waktu dan tempat, kejadian dan kondisi, orang yang mendengar dan yang meminta fatwa, para utusan yang datang dan yang di utus, dan yang lain. Berdasarkan perbedaan tersebut maka berbeda pula jawaban dan lafadz hadits yang di sampaikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Ketiga : Kemudian pernyataan mereka bahwa tidak seorangpun dari ahli bahasa dan nahwu dari kalangan mutaqaddimin berdalil dengan hadits. Seandainya ini benar bukan berarti mereka tidak membolehkan berdalil dengan hadits dalam penetapan kaedah bahasa Arab dan bukan juga karena ketidakabsahan berdalil dengan hadits dalam hal ini, akan tetapi karena ketidaktahuan mereka tentang hadits yang marfu’ yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena keterbatasan ilmu mereka dalam hal ini.
Akan tetapi hakekat keilmiyah menjelaskan kesalahan pernyataan diatas, karena para Ulama yang pakar bahasa dan ahli nahwu telah berdalil dengan hadits dalam menetapkan ilmu bahasa dan nahwu, seperti imam Ibnu Mâlik yang pakar nahwu dan ahli hadits. Beliau banyak berdalil dalam hadits dalam disiplin ilmu ini, oleh karena itu ash-Shafadi mengatakan, “Ibnu Malik adalah seorang yang alim dalam memutala’ah/mengkaji hadits, beliau sangat banyak berdalil (tentang nahwu/bahasa, pen.) dengan al Qur’an, jika ia tidak menemukan didalamnya dalil, maka beliau berpindah ke hadits, jika beliau tidak menemukan dalil dalam hadits maka beliau berpindah ke syi’ir syi’ar arab”[36] .
Jadi jelaslah kebatilan pernyataan diatas bagi orang orang yang masih perfikir dengan objektif dan besikap ilmiyah, akan tetapi para pengekor hawa nafsu tentu berpaling dari kebenaran dan hakekat yang valid [37] .
SYUBHAT KEEMPAT : Banyaknya Muncul Pemalsuan Dan Para Pemalsu Hadits Yang Menyebabkan Berkurangnya Kepercayaan Terhadap Hadits.
Mereka mengatakan, bahwa diantara dampak negatif dari keterlambatan penulisan hadits setelah abad pertama hijriyyah adalah terbuka luas pintu periwayatan dan pemalsuan hadits tanpa batas dan aturan. Semenjak fitnah terbunuhnya khalifah Utsman Bin Affan Radhiyallahu anhu sehingga jumlah hadits-hadits palsu yang berkembang telah melebihi puluhan ribu yang masih banyak terdapat dalam literatur literatur dan kitab kitab hadits yang ada di tangan kaum Muslimin di belahan dunia timur dan barat, yang menyebabkan berkurangnya kepercayaan terhadap keshahihan/keabsahan hadits dan menjadikan seseorang tidak percaya dengan Hadits [38] .
Kesimpulan dari syubhat ini adalah bahwa mereka mengingkari keberadaan Hadits sebagai hujjah dalam penetapan hukum dan mencela kredibilitas dan kejujuran para perawi hadits yang hidup di ketiga kurun yang mulia yaitu para shahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in rahimahumullah.
Jawaban:
Pernyataan diatas jelas merupakan kebatilan dan kebohongan yang nyata, kesimpulan yang jauh dari penelitian yang ilmiyah dan sikap yang objektif, hal ini terlihat dari beberapa poin berikut :
Pertama : Tidak di pungkiri bahwasanya telah muncul para pembohong dan para pemalsu hadits yang membuat hadits-hadits palsu. Mereka menisbatkannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menebarkan bermacam fitnah. Namun para orientalis pura-pura bodoh atau mereka benar-benar bodoh tentang hakekat sejarah yang mewarnai dan mendominasi kehidupan kaum Muslimin tentang Hadits nabawiyyah. Karena betapa banyak para perawi hadits yang amanah dan jujur serta memiliki kredibilitas yang tinggi, begitu juga para Ulama hadits yang memiliki loyalitas besar kepada Hadits yang membentengi dan menjaga hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benteng yang kuat yang tidak mampu di tembus oleh para pemalsu dan pembohong. Sehingga para Ulama hadits dengan taufik Allâh, kemudian dengan keilmuan yang luas, kejelian, kesungguhan dan kesabaran, mereka mampu menyingkap kedok para pembohong dan membongkar niat jelek mereka dan menepis segala proganda dan makar yang mereka lancarkan untuk menghancurkan Islam, sehingga tidak tertinggal sedikitpun peluang bagi para pemalsu dan pembohong untuk mempermiankan Hadits dan menodai kesuciannya. Sehingga muncullah banyak karya para Ulama yang mengupas dan menyingkap tentang prihal para pemalsu dan hadits hadits palsu[39] .
Kedua : Adapun perkataan para orientalis bahwa pemalsuan hadits telah muncul sejak zaman nabi dan pemalsuan tersebut di lakukan oleh para shahabat, maka ini jelas suatu kebohongan yang nyata, dan para shahabat berlepas diri dari kedustaan ini. Karena kondisi dan prihal para shahabat yang hidup bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mendapatkan rekomendasi dari Allâh dan Rasul-Nya, yang telah mengorbankan jiwa raga dan harta mereka untuk meperjuangkan agama Allâh, kecintaan kepada Allâh dan Rasul-Nya telah menyatu dengan darah dan daging mereka, mustahil dengan keadaan yang seperti ini mereka akan berbohong atas nama Allâh dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedang mereka telah mendengar dan membaca ayat ayat al-Qur’an dan hadits hadits nabawiyyah yang mengancam para pembohong dengan azab yang sangat pedih, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allâh dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? [az-Zumar/39:32]
Dan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh tidak beruntung [Yunus/10:69]
Dan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mutawatir :
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang sengaja berbohong atas namuku, maka ia telah menyiapkan tempat duduknya di neraka[40] .
Ketiga : Para Ulama berbeda pendapat kapan munculnya pemalsuan hadits, kepada dua pendapat:
1. Pemalsuan hadits muncul di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
2. Pemalsuan hadits muncul tatkala munculnya fitnah yang di kobarkan apinya oleh orang orang yang benci kepada Islam, dan secara spesifik muncul pada tahun 40 hijriyyah, pasca fitnah yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah Radhiyallahu anhuma . Dan bisa jadi muncul setelah fitnah pembunuhan Khalifah Utsman bin Affân Radhiyallahu anhu .
Terlepas dari pebedaan tersebut, yang jelas tidak mungkin pemalsuan tersebut muncul dari para shahabat g yang di kenal dengan kejujuran, amanah dan loyalitas tinggi terhadap agama dan Hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Adapun yang mengatakan bahwa pemalsuan tersebut muncul di zaman nabi, maka hal ini sama sekali tidak akan menimbulkan keraguan akan kejujuran para shahabat, sebab yang hidup dizaman Rasul juga banyak kaum munafikin yang menyembunyikan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin[41] .
Keempat : Sejak munculnya fitnah, maka para Ulama salaf dan ahli hadits telah melakukan usaha yang optimal dan mengambil langkah-langkah positif untuk menjaga kesucian Hadits dari makar para pemalsu, sehingga mereka sangat berhati hati dalam menerima riwayat, mereka tidak semena mena menerimanya kecuali bila diketahui kejujuran para rawinya dan keshahihan sanadnya, sebagaimana kata Iman Ibnu Sirin rahimahullah :
“لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
Dahulunya mereka tidak menanyakan tentang sanad (hadits), maka tatkala terjadi fitnah, mereka mengatakan: sebutkan/jelaskan kepada kami para perawi kalian (sanad hadits), lalu di perhatikan siapa dari kalangan ahlussunnah maka diterima hadits mereka, dan di perhatikan siapa dari kalangan ahlulbid’ah maka tidak di terima hadits mereka”[42] .
Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian” [43].
Kelima : Kemudian para ulama telah menentukan persyaratan persyaratan yang sangat ketat dalam merima riwayat hadits dan untuk menentukan keshahihan hadits dari kepalsuannya, yang semuanya itu merupakan penyebab munculnya disiplin ilmu yang merupakan keistimewaan umat ini yang tidak di miliki oleh selain umat Islam, yaitu ilmu “Mushthalah Hadits”, keilmuan yang sangat jeli dan teliti yang menjelaskan akan kejeniusan para ulama hadits dan kejelian mereka dalam menentukan kaedah kaedah dasar dalam periwayatan dan menghukumi hadits, ia merupakan benteng yang sangat kokoh untuk menjaga kesucian hadits dari kekotoran tangan tangan para perusak dan penebar fitnah dari kalangan ahlulbid’ah dan zindiq (munafik).
Dari apa yang di utarakan jelaskan kebatilan syubuhat syubuhat para orientalis dan para pembeo (pengikut) mereka dan nyatalah kebohongan mereka, dan bahwasanya hasil penelitian mereka tentang Islam dan Hadits hanya kesalahan belaka karena jauh dari metodelogi yang benar dan sikap yang objektif serta ilmiyah, yang pada hakekatnya hal itu tidaklah muncul dari mereka kecuali karena disebabkan kebencian yang mendalam terhadap Islam dan Hadits.
Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin waspada dan berhati hati dari syubuhat syubuhat, makar makar dan propaganda propaganda musuh Islam dari kalangan non Islam dan para pengikut mereka dari kalangan munafikin yang berkedok Islam sementara mereka adalah orang yang telah menjual keislaman yang prinsip akidah mereka kepada musuh musuh Islam, sehingga mereka menjadi boneka boneka para orientalis dalam menghujat Islam dan Hadits, ibarat musuh dalam selimut yang menggunting kain dalam lipatan, Wallahul musta’aan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat biografinya di kitab, al-A’lâm, karangan az-Zirikli (1/84).
[2]. Lihat biografinya di kitab al-‘Uyûbul Manhajiyyah fi Kitâbâtil Mustasyriq Syakhat al Muta’alliqah bis Sunnah an Nabwiyyah” karangan Dr. Khalid bin Manshur ad-Durais. (hlm. 5-13).
[3]. Lihat kitab as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha karangan ‘Imad Sayyid Asy Syarbini (1/266).
[4]. HR Muslim dalam Shahihnya no. 3004. Dari hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu
[5]. Dalam kitabnya al-Aqîdah wasy Syari’ah fil Islam, hlm. 53, 251. Dan lihat kitab as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha 1/267 dan 348).
[6]. HR Bukhari (no. 7447) dan Muslim (no. 1679).
[7]. HR Abu Daud dalam sunannya no. 3660, dan Tirmizi dalam sunannya no. 2656, beliau berkata: “Hadits hasan”.
[8]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya (1/8).
[9]. HR Abu Daud dalam Sunannya no. 3646, Ahmad dalam Musnad 2/162 dan al-Hâkim dalam Mustadrak 1/105, Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini mempunyai beberapa sanad yang saling menguatkan” Lihat : Fathul Bâri 1/250.
[10]. HR Bukhari no. 112 dan 2434 dan Muslim no. 448.
[11]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya no. 113.
[12]. HR al-âakim dalama al-Mustadrak 1/106 dan ar-Ramahurmuzi dalam kitab al-Muhadditsul Fâshil, hlm. 365. Dan riwayatkan juga ar Ramahurmuzi dari hadits Anas bin Malik dalam kitab yang sama hal: 368 dan al Khathib al Bagdadi dalam Tarikh Bagdad 10/460, dan sanadnya saling menguatkan, dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîhul Jâmi’ no. 4310 dan Silsilah Shahihah no. 2026.
[13]. Lihat perkataan mereka tentang izin menulis hadits dalam Sunnan ad-Darimi” 1/432-438, Taqyîdul Ilm, hlm. 87-98 dan al-Muhadditsul Fâshil, hlm. 370
[14]. Lihat perkataan mereka tentang izin menulis hadits dalam Sunnan ad-Darimi” 1/439-443, Taqyîdul Ilm, hlm. 99 dan al-Muhadditsul Fâshil, hlm. 376. Dan lihat juga kitab as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/286).
[15]. Lihat Majmû’ Fatâwâ 18/318 dan 2/322.
[16]. Lihat Ma’âlimus Sunan (4/183) dan as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/288).
[17]. Lihat “Zaadul ma’aad” 3/457 dan Fathul bari 1/251.
[18]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/292-296).
[19]. Lihat : Mukaddimah “sunan ad darimi” 1/139 dan Taqyîdul ‘Ilm (hlm. 58-60) dan as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/297).
[20]. Lihat bantahan terhadap pernyataan dan kesimpulan diatas kitab as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/302-307).
[21]. Al-Aqîdah wasy Syari’ah fil Islam” hlm. 53, 251, lihat: as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/348).
[22]. Lihat kitab as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/348).
[23]. Di riwayatkan oleh Bukhari –ta’liqan- dalam Kitab Ilmu dari Shahihnya 1/234.
[24]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/350-351).
[25]. Fathul Bâri” 1/251.
[26]. HR Bukhari dalam Shahihnya hadits no. 112.
[27]. HR Nasa’i dalam Sunannya no. 4853-4859 dan Abu Ubadi Qasim bin Sallam dalam kitab al-Amwâl hlm 358-362. Dan lihat Dalâilut Tautsîqil Mubakkir lis Sunnah karangan Dr. Imtiyaaz Ahmad hlm. 368, dan as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/353).
[28]. H.R Bukhari dalam shohihnya no. 1448, lihat Dirâsât fil Hadîtsin Nabawi wa Târîkh Tadwînihî karya Dr. Muhammad Mustapa Al A’dzami, 1/94. dan as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/353).
[29]. H.R Bukhari dalam shohihnya no. 5828.
[30]. Lihat Musnad Abdullah bin Amru bin Ash dalam Musnad Imam Ahmad” 2/158 s/d 227.
[31]. H.R Abu Daud dalam sunannya no. 3646, Ahmad dalam Musnad 2/162 dan al-Hâkim dalam Mustadrak 1/105, Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini mempunyai beberapa sanad yang saling menguatkan” Lihat Fathul Bâri 1/250.
[32]. Shahifah ini diriwayatkan dengan teksnya oleh Imam Ahmad dalam musnadnya 2/312 s/d 319. Dan telah di cetak berulang kali secara tersendiri dengan tahqiq Dr. Muhammad Humaidullah.
[33]. Lihat Dirâsât fil Hadîtsin Nabawi wa Târîkh Tadwînihî karya Dr. Muhammad Mustapa al-A’dzami, 1/92-142.
[34]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/375).
[35]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/376).
[36]. Bugyatul Wu’ât fi Thabaqât al Lugawiyyin wan Nuhât karya as-Suyuthi 1/134.
[37]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/385 s/d 394).
[38]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/395).
[39]. As-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/399).
[40]. HR Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4.
[41]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A’dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu ‘alaiha (1/401-402).
[42]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya, hlm. 15.
[43]. Ibid, hal: 14.
@Sumber : Almanhaj.or.id
Post a Comment