Terlalu Banyak Beramal Shalih

Posted by As Salam41



Wahai saudaraku seiman, sungguh jika kita memperhatikan tajuk yang terpampang di atas, tentunya logika kita akan serta-merta menyatakan; tidak mungkin hal tersebut terjadi pada diri seorang hamba, dan tidak mungkin seorang hamba akan merasakan yang demikian itu kecuali orang-orang yang sombong. Namun sungguh di antara kita atau bahkan diri kita sendiri mungkin pernah atau bahkan sungguh-sungguh sedang merasakannya pada saat ini. Atau bisa saja kita tidak merasakannya akibat halusnya tipu daya syaitan terhadap kita. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman,

ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al A’raaf: 17)

Ayat ini menggambarkan kepada kita bahwa tatkala kita mewaspadai syaitan agar kita tidak bersikap berlebihan (ifrath) maka dia akan menjerumuskan kita kepada kebalikannya yakni sikap meremehkan (tafrith).

Waspada dan Jangan Tertipu

Ada kalanya kita telah menunaikan banyak amalan kebaikan, berupa; sholat tahajud di malam hari, berpuasa di siangnya, banyak bertilawah dan menghafal Quran dan hadits, senantiasa hadir di majelis-majelis ilmu, menjaga sholat sunah rawatib, dan senantiasa berjamaah di masjid, tanpa sadar kita merasakan kebanggaan dalam diri kita. Kita merasa telah menjadi orang yang bertakwa, merasa bahwa diri kitalah yang paling sholih di muka bumi ini atau setidaknya di kampung kita. Bahkan merasa bahwa diri kita akan dimasukkan ke dalam surga di hari akhirat nanti. Tidak, wahai saudaraku. Jikalau kita merasakan yang demikian itu maka justru yang terjadi adalah sebaliknya, karena Alloh subhanahu wa ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya:

أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Alloh? Tiada yang merasa aman dari azab Alloh kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raaf: 99)

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً

“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi: 103-104)

Sia-sia karena tidak ikhlas dalam beramal sehingga amalannya tidak berpahala, dan sia-sia karena ujub (merasa bangga) dengan amalannya. Sebagian ulama salaf berkata: “Betapa banyak amalan kecil yang menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amalan-amalan besar menjadi kecil karena niatnya.”

Buah Keimanan Kepada Takdir

Sungguh berbahagialah orang yang pengimanan terhadap takdir Alloh subhanahu wa ta’ala menghujam kuat di dadanya, dia akan selamat dari rasa ujub, karena apabila dia mendapat musibah maka dia bersabar, tidak kecewa dan bersedih hati. Apabila ia mendapat kesenangan dia bersyukur dan tidak merasa bangga atas apa yang telah ia usahakan karena tidak ada yang menetapkan musibah dan rezeki baginya kecuali Alloh subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Alloh. Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Alloh tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid: 22-23)

Apabila dia diuji oleh Alloh subhanahu wa ta’ala dengan amal shalih yang telah diperbuatnya dia tidak ujub dan merendahkan pelaku maksiat, bila dia diuji Alloh subhanahu wa ta’ala dengan perbuatan maksiat dia tidak terus-menerus dalam perbuatan tersebut, dia bertaubat dan tetap berprasangka baik kepada-Nya. Karena Alloh subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Alloh. Sesungguhnya Alloh adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Takwir: 29)

Dan Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“Tak seorang pun di antara satu jiwa kecuali telah ditetapkan tempatnya di neraka atau di janah dan telah ditetapkan untuknya akan hidup sengsara dan bahagia. Seseorang dari suatu kaum bertanya: ‘Ya Rosululloh mengapa kita tidak pasrah dengan ketetapan itu dan meninggalkan amalan? Jika di antara kita ada yang akan hidup bahagia maka ia akan beramal dengan amalan orang berbahagia dan barang siapa yang sengsara maka ia akan beramal dengan amalan orang yang sengsara?’ Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘beramallah! Masing-masing dimudahkan untuk menempuh apa yang ditetapkan untuknya, jika ia termasuk orang yang sengsara maka ia akan mudah untuk beramal dengan amalan orang yang sengsara dan jika ia termasuk orang yang berbahagia maka ia akan mudah untuk beramal dengan amalan orang yang berbahagia.’ Kemudian beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى . وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى . وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى . وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Alloh) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.” (QS. Al-Lail: 5-10). (HR. Bukhori dan Muslim)

Betapa banyak orang yang telah diuji Alloh subhanahu wa ta’ala dengan kebaikan, kemudian kebaikan tersebut menjadikannya dia bersifat sombong lagi membanggakan diri (ujub) kemudian Alloh subhanahu wa ta’ala membinasakannya ke jurang kemaksiatan. Dan betapa banyak pula orang yang di uji Alloh subhanahu wa ta’ala dengan kemaksiatan kemudian dia bertaubat, kemudian Alloh subhanahu wa ta’ala menakdirkan baginya untuk menjadi orang yang bertakwa dan memberikan kedudukan yang mulia baginya di surga. Inilah makna firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Alloh dengan kebajikan. Dan adalah Alloh maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqon: 70)

Bersangka Baiklah Kepada Alloh

Berdasarkan firman Alloh subhanahu wa ta’ala dalam sebuah hadits Qudsi, “Sesungguhnya Aku sebagaimana persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, jika dia berprasangka baik kepada-Ku maka baginya kebaikan dan apabila dia berprasangka buruk kepada-Ku maka baginya keburukan.” (HR. Ahmad)

Maka wajib bagi kita untuk berprasangka baik terhadap Alloh subhanahu wa ta’ala tatkala diuji dengan kemaksiatan, bahwasanya Alloh subhanahu wa ta’ala menakdirkan bagi kita perbuatan tersebut agar kita menyadari bahwa ketika telah berbuat kebaikan kita sering lupa bahwa sesungguhnya hal tersebut tidak akan terjadi melainkan dengan takdir Alloh subhanahu wa ta’ala, sehingga kita merasa bangga atas apa yang telah kita upayakan. Sesungguhnya tatkala seorang hamba merasa sombong dan mengangkat diri dihadapkan manusia, maka Alloh subhanahu wa ta’ala akan menghinakannya di mata manusia. Tidaklah berarti bahwa penulis telah selamat dari perkara ini saat menulis artikel ini, karena perkara ini sangatlah besar. Hanya kepada Alloh lah kita memohon pertolongan.

***

Sumber: Buletin At-Tauhid
Penulis: Abu Yahya Agus Wahyu Cahyono (Alumni Ma’had Ilmi)
Muroja’ah: Ustadz Afifi Abdul Wadud
Artikel www.muslim.or.id


Related Post



Post a Comment