Oleh
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah
Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah ditanya : “Fadilatus Syaikh,…kami berharap agar Anda menjelaskan dhowabith (batasan-batasan) perselisihan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, maksudnya adalah : Perselisihan yang tidak mengeluarkan orang yang berselisih tersebut dari lingkup Ahlus Sunnah..?
Jawaban.
Perkara yang diperbolehkan perselisihan didalamnya adalah : Permasalahan yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah. Ada beberapa masalah yang diperselisihkan oleh sebagian orang yang menisbahkan dirinya kepada sunnah di dalam masalah-masalah yang ma’lum. Sebagaimana telah terjadi perselisihan dikalangan Salafus Shalih dalam masalah tersebut. Seperti perselisihan mereka dalam masalah “apakah ahlul mahsyar (pada hari kiamat) melihat Rabb atau tidak?”, apakah yang melihat Rabb itu kaum muminin saja atau kaum munafiqun pun melihat-Nya juga, atau ahli mahsyar semuanya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah perselisihan antara Ahlus Sunnah yang tidak mengakibatkan orang yang berselisih dihukumi sebagai Ahlul Bid’ah. Inilah kaidah asalnya. Maka setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh Salaf, seperti perselisihan mereka tentang “hukum orang yang meninggalkan shalat”, juga perselisihan mereka tentang “kafir tidaknya orang yang meninggalkan salah satu rukun Islam setelah dia menyakininya” dan perselisihan mereka tentang “orang yang meyakini rukun Islam kemudian dia meninggalkan salah satunya karena malas”, semua permasalahan ini menjadi perselisihan dikalangan ulama Ahlus Sunnah, maka orang yang berpendapat dengan salah satu pendapat mereka tidaklah dihukumi sebagai Ahlul Bid’ah, walaupun kita yakin bahwa al-haq itu berada pada salah satu pendapat dari para ahli ijtihad, karena al-haq itu tidak mungkin berbilang, akan tetapi kita memberikan udzur (ma’af) pada ikhwah kita yang berpendapat dengan pendapat yang ada pendahulunya dari Salaf, inilah batasan perselisihan yang diperbolehkan.
Adapun sekarang, kebanyakan penuntut ilmu tidak mengetahui al-haq dalam banyak masalah, terkadang ada sebagian Ahlus Sunnah atau yang menisbatkan dirinya kepada sunnah berpendapat dengan sebagian pendapat Ahlul Bid’ah. Maka orang tersebut jika sunnah lebih dominan pada dirinya, maka -secara umum- dia termasuk Ahlus Sunnah. Dia berijtihad untuk mengetahui al-haq, dia mengambil dalil dari nash-nash dan menghargai ucapan ulama Salaf, mencintai Ahlus Sunnah dan ulamanya dan berusaha untuk mengetahui yang haq, kemudian dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka dia diberi udzur (dimaafkan) bagaimanapun kesalahan dia. Disini terkadang kita bisa mensifatinya dengan “kurang ilmu”, tapi tidak mengeluarkan dia dari Ahlus Sunnah, karena yang namanya kesempurnaan adalah kesempurnaan dalam ilmu, amal dan mutaba’ah. Mereka menginginkan yang haq tapi terkadang terbatas ilmunya, maka terkadang pendapatnya sesuai dengan sebagian pendapat Ahlul Bid’ah atau yang lainnya, padahal bukanlah tujuan mereka adalah menyepakati Ahlul Bid’ah, hanya saja mereka menyangka bahwa itulah yang benar. Maka orang semacam ini bisa kita sifati sebagai orang yang punya kekurangan dalam ilmunya, tapi jangan dihukumi sebagai Ahlul Bid’ah, karena mereka menginginkan yang haq tapi salah dalam memahami nash.
Kaidah dalam masalah ini adalah bahwa setiap orang yang berijtihad berdasarkan pokok-pokok (tata cara) ijtihad Ahlus Sunnah dalam mengambil dalil, kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka kesalahannya tersebut dima’afkan -insya Allah, dan tidak boleh orang tersebut dinisbahkan kepada bid’ah, karena sebagaimana kalian ketahui bahwa sebagian ahlus sunnah terdahulu ada yang menyepakati sebagian pendapat Ahlul Bid’ah, seperti murjiatul fuqoha dan sebagian mereka juga ada yang berpendapat sesuai dengan pendapat sebagian asyariyyah dalam beberapa penakwilan-penakwilan mereka atau menyeleweng dalam sebagian masalah qodar, maka mereka ini bersesuaian dengan Alul Bid’ah di dalam perkataan-perkataan mereka, tapi mereka tidak dinisbatkan kepada bid’ah, karena mereka pada dasarnya diatas pokok-pokok aqidah ahlus sunnah.
Orang yang hidup zaman sekarang khususnya penuntut ilmu atau orang yang hidup di negara yang jauh dari ulama, terkadang terjerumus dalam kesalahan yang betul-betul fatal, yang mana kesalahan itu bukan dalam masalah yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah, tapi jika mereka termasuk Ahlus Sunnah, maka kita berikan udzur (maaf) dalam kesalahannya. Bukan karena kesalahan mereka sepele atau ringan, tapi karena mereka berijtihad untuk mengetahui yang haq dan itulah hasil dari ijtihadnya. Tapi tentunya merekapun wajib untuk belajar, dan kita nasehati agar kembali pada para ulama dan mengambil pendapatnya dalam rangka menghilangkan perselisihan.
[Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam Madinah]
@Sumber : Almanhaj.or.id
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah
Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah ditanya : “Fadilatus Syaikh,…kami berharap agar Anda menjelaskan dhowabith (batasan-batasan) perselisihan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, maksudnya adalah : Perselisihan yang tidak mengeluarkan orang yang berselisih tersebut dari lingkup Ahlus Sunnah..?
Jawaban.
Perkara yang diperbolehkan perselisihan didalamnya adalah : Permasalahan yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah. Ada beberapa masalah yang diperselisihkan oleh sebagian orang yang menisbahkan dirinya kepada sunnah di dalam masalah-masalah yang ma’lum. Sebagaimana telah terjadi perselisihan dikalangan Salafus Shalih dalam masalah tersebut. Seperti perselisihan mereka dalam masalah “apakah ahlul mahsyar (pada hari kiamat) melihat Rabb atau tidak?”, apakah yang melihat Rabb itu kaum muminin saja atau kaum munafiqun pun melihat-Nya juga, atau ahli mahsyar semuanya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah perselisihan antara Ahlus Sunnah yang tidak mengakibatkan orang yang berselisih dihukumi sebagai Ahlul Bid’ah. Inilah kaidah asalnya. Maka setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh Salaf, seperti perselisihan mereka tentang “hukum orang yang meninggalkan shalat”, juga perselisihan mereka tentang “kafir tidaknya orang yang meninggalkan salah satu rukun Islam setelah dia menyakininya” dan perselisihan mereka tentang “orang yang meyakini rukun Islam kemudian dia meninggalkan salah satunya karena malas”, semua permasalahan ini menjadi perselisihan dikalangan ulama Ahlus Sunnah, maka orang yang berpendapat dengan salah satu pendapat mereka tidaklah dihukumi sebagai Ahlul Bid’ah, walaupun kita yakin bahwa al-haq itu berada pada salah satu pendapat dari para ahli ijtihad, karena al-haq itu tidak mungkin berbilang, akan tetapi kita memberikan udzur (ma’af) pada ikhwah kita yang berpendapat dengan pendapat yang ada pendahulunya dari Salaf, inilah batasan perselisihan yang diperbolehkan.
Adapun sekarang, kebanyakan penuntut ilmu tidak mengetahui al-haq dalam banyak masalah, terkadang ada sebagian Ahlus Sunnah atau yang menisbatkan dirinya kepada sunnah berpendapat dengan sebagian pendapat Ahlul Bid’ah. Maka orang tersebut jika sunnah lebih dominan pada dirinya, maka -secara umum- dia termasuk Ahlus Sunnah. Dia berijtihad untuk mengetahui al-haq, dia mengambil dalil dari nash-nash dan menghargai ucapan ulama Salaf, mencintai Ahlus Sunnah dan ulamanya dan berusaha untuk mengetahui yang haq, kemudian dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka dia diberi udzur (dimaafkan) bagaimanapun kesalahan dia. Disini terkadang kita bisa mensifatinya dengan “kurang ilmu”, tapi tidak mengeluarkan dia dari Ahlus Sunnah, karena yang namanya kesempurnaan adalah kesempurnaan dalam ilmu, amal dan mutaba’ah. Mereka menginginkan yang haq tapi terkadang terbatas ilmunya, maka terkadang pendapatnya sesuai dengan sebagian pendapat Ahlul Bid’ah atau yang lainnya, padahal bukanlah tujuan mereka adalah menyepakati Ahlul Bid’ah, hanya saja mereka menyangka bahwa itulah yang benar. Maka orang semacam ini bisa kita sifati sebagai orang yang punya kekurangan dalam ilmunya, tapi jangan dihukumi sebagai Ahlul Bid’ah, karena mereka menginginkan yang haq tapi salah dalam memahami nash.
Kaidah dalam masalah ini adalah bahwa setiap orang yang berijtihad berdasarkan pokok-pokok (tata cara) ijtihad Ahlus Sunnah dalam mengambil dalil, kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka kesalahannya tersebut dima’afkan -insya Allah, dan tidak boleh orang tersebut dinisbahkan kepada bid’ah, karena sebagaimana kalian ketahui bahwa sebagian ahlus sunnah terdahulu ada yang menyepakati sebagian pendapat Ahlul Bid’ah, seperti murjiatul fuqoha dan sebagian mereka juga ada yang berpendapat sesuai dengan pendapat sebagian asyariyyah dalam beberapa penakwilan-penakwilan mereka atau menyeleweng dalam sebagian masalah qodar, maka mereka ini bersesuaian dengan Alul Bid’ah di dalam perkataan-perkataan mereka, tapi mereka tidak dinisbatkan kepada bid’ah, karena mereka pada dasarnya diatas pokok-pokok aqidah ahlus sunnah.
Orang yang hidup zaman sekarang khususnya penuntut ilmu atau orang yang hidup di negara yang jauh dari ulama, terkadang terjerumus dalam kesalahan yang betul-betul fatal, yang mana kesalahan itu bukan dalam masalah yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah, tapi jika mereka termasuk Ahlus Sunnah, maka kita berikan udzur (maaf) dalam kesalahannya. Bukan karena kesalahan mereka sepele atau ringan, tapi karena mereka berijtihad untuk mengetahui yang haq dan itulah hasil dari ijtihadnya. Tapi tentunya merekapun wajib untuk belajar, dan kita nasehati agar kembali pada para ulama dan mengambil pendapatnya dalam rangka menghilangkan perselisihan.
[Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam Madinah]
Post a Comment