Syaikh Sholeh Alu Syaikh –hafzohullah- Berkata [1]:
بسم الله الرحمن الرحيم
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah saja dan tidak ada syarikat bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan rasulNya, pilihanNya, dan kekasihNya, semoga Allah senantiasa mencurahkan salawat dan salam yang banyak kepadanya, kepada keluarganya, para sahabatya hingga hari akhir.
Topik pembahasan pada pelajaran kali ini adalah hak-hak persaudaraan (perkara-perkara yang hendaknya ditunaikan oleh orang-orang yang saling bersaudara-pen), dan yang kami maksudkan dengan hak-hak persaudaraan adalah yang mencakup hak yang mustahab dan hak yang diwajibkan, bukanlah maksudnya untuk memperinci mana diantara hak-hak tersebut yang wajib dan manakah yang mustahab?, akan tetapi maksudnya adalah menyebutkan hak-hak tersebut secara global yang diantara hak-hak tersebut ada yang wajib dan ada yang mustahab. Dan ada hak-hak yang lain yang tidak dibahas di sini karena waktu yang sempit[2].
Kedudukan hal ini -yaitu hak-hak persaudaraan, hak-hak persahabatan, hak seseorang atas saudaranya- termasuk kedudukan yang agung yang ditekankan dalam dalil-dalil, sangat ditekankan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka perhatian terhadap hal ini merupakan perhatian terhadap suatu ibadah dan melalaikannya adalah bentuk melalaikan salah satu jenis ibadah, karena hakikat dari ibadah adalah sebuah nama yang mencakup seluruh perkara yang dicintai oleh Allah dan diridhoi-Nya baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang nampak maupun yang batin. Diantara perkataan dan perbuatan yang diridhoi oleh Allah adalah perkara yang telah diperintahkan oleh Allah berupa penunaian hak seseorang terhadap saudaranya, terlebih lagi jika telah terjalin antara dia dengan saudaranya tersebut kasih sayang yang sepesial, rasa cinta yang khusus. Persahabatan yang khusus melebihi hanya sekedar hubungan biasa antar kaum muslimin yang lain. Di sana ada hak seorang muslim -yang harus ditunaikan- bagi muslim yang lain yang hak ini dimiliki oleh saudaranya tersebut karena ia adalah seorang muslim, dan hak tersebut lebih ditekankan lagi dan lebih kuat jika terjalin persahabatan yang khusus antara seseorang dengan saudaranya sesama muslim, terjalin antara mereka berdua kecintaan khusus, mereka berdua saling bersahabat, saling mencintai, saling berpartisipasi dalam mewujudkan rasa cinta karena Allah, dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, saling menunjukkan kepada kebaikan, saling mengantarkan kepada petunjuk kebenaran, saling mengajak untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka ada hak-hak (yang lebih khusus) antara mereka berdua. Dan seorang muslim hendaknya memperhatikan hak-hak ini, baik yang telah tua maupun yang belum, demikian juga hendaknya diperhatikan oleh seorang muslimah. Maka jika kami mengatakan hak-hak seorang muslim atas seorang muslim yang lain dan hak-hak persaudaraan maka mencakup hak-hak antara kaum muslimin baik antar kaum tua, antar kawula muda, antar kaum lelaki, dan juga antar para wanita.
Allah dalam Al-Qur’an yang agung telah menganugerahkan kenikmatan bagi hamba-hambaNya dengan menjadikan mereka -dengan anugerahNya, dengan Islam- menjadi saling bersaudara. Allah berfirman
فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتٌمْ عَلَى شَفَى حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
“Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya” (QS Ali ‘Imron 103)
Dan Allah telah menganugerahkan kenikmatan bagi hamba-hambaNya yang beriman dengan menyatukan hati-hati mereka, dengan anugerah-Nya Allah menjadikan mereka saling bersaudara, yang hal ini menunjukan kepada kita bahwa kecintaan karena Allah dan bahwasanya persaudaraan karena Allah adalah merupakan kenikmatan yang sangat agung yang telah Allah tanamkan di antara hati-hati orang-orang yang beriman, satu dengan yang lainnya dan hendaknya memperhatikan kenikmatan yang agung ini, menjaganya, dan mengakui bahwa ia adalah anugerah dari Allah, oleh karena anugerah dari Allah hendaknya dijaga dan kesengsaraan hendaknya dijauhi dan diwaspadai. Oleh karena itu Allah berfirman فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا ((Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara)), berkata sebagian Ulama menafsirkan firman Allah بِنِعْمَتِهِ (karena nikmat-Nya), ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya tali cinta kasih diantara kaum mu’minin hanyalah karena karunia Allah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:
لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka” (QS Al-Anfal:63)
Maka yang menjadikan seseorang mencintai yang lainnya dan menjadikan hati-hati manusia menjadi bersatu padahal mereka berasal dari penjuru dunia yang beraneka ragam, dari ras dan bangsa yang bermacam-macam, dari martabat yang bertingkat-tingkat, yang menjadikan mereka saling mencintai, menjadikan mereka sama dalam perkara yang satu yaitu beribadah kepada Allah –yaitu mereka menjadi saling bersaudara karena Allah- adalah Allah dengan karunia nikmat-Nya. Allah berfirman:
?قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ?
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (QS Yunus 58)
Dan merupakan kenikmatan yang paling agung dan rahmat yang paling agung yang digembirakan adalah Al-Qur’an yang agung ini dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan tatkala menafsirkan ayat ini
?قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ?
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (QS Yunus 58)
Ia (Ibnu Abi Hatim) meriwayatkan bahwanya tatkala barang-barang zakat datang ke Madinah[3] maka Umar bin Al-Khotthob radhiyallahu ‘anhu dan budaknya keluar menuju tempat dikumpulkannya zakat atau di tempat dikumpulkannya unta-unta zakat maka tatkala budaknya melihat unta yang jumlahnya begitu banyak dan juga zakat-zakat yang lainnya yang banyak yang akan dibagikan kepada kaum muslimin maka iapun berkata kepada Umar, “Ini adalah karunia dari Allah dan rahmatNya wahai Amrul mukminin”. Maka Umarpun berkata, “Engkau berdusta, tapi (yang benar bahwasanya) karunia Allah dan rahmatNya adalah Al-Qur’an .[4] ((Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan)) . Maka perkara yang paling agung untuk digembirakan adalah seorang hamba adalah melaksanakan perkara-perkara yang datang dalam Al-Qur’an, yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah sesuatu yang terbaik bagi kita baik di kehidupan dunia maupun di akhirat kelak.
Hadits-hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk bersahabat dan disahabati sangat banyak sekali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan hal ini dan menjelaskan keutamaan persaudaraan karena Allah, keutamaan saling mencintai karena Allah, dan menjelaskan keutamaan seorang mukmin yang bergaul (bersahabat) dan (bisa) disahabati dan hendaknya seorang mukmin dekat dengan saudara-saudaranya dalam banyak hadits. Diantaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
إن أقربَكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنُكم أخلاقا، المُوَطَّئُوْنَ أكنافا الذين يَأْلَفُوْنَ ويُؤْلَفُوْنَ
((Sesungguhnya yang terdekat denganku tempat duduknya pada hari kiamat yaitu mereka yang terbaik akhlaknya diantara kalian yang pundak-pundak mereka terbentang[5] yang bersahabat dan disahabati))[6]
Dan dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya yang diriwayatkan dari beberapa jalan dan ia adalah hadits yang shahih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
المؤمن يألف ويؤلف
((Seorang mukmin itu bersahabat dan disahabati))[7]
Dalam lafal yang lain المؤمن مَألفة ((Seorang mukmin itu adalah tempat untuk persahabatan))[8], orang yang melihatnya merasa srek (merasa tenang) bersahabat dengannya karena tidaklah yang ia menampakkan pada saudara-saudaranya dan pada masyarakat kecuali kebaikan. Allah telah memerintahkan hal itu kepada seluruh manusia dalam firmanNya ?وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا? ((serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia)), (QS. 2:83).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
المؤمن يألف ويؤلف ولا خير فيمن لا يألف ولا يؤلف
((Orang mukmin adalah bersahabat dan disahabati dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bersahabat dan tidak disahabati))[9]
Dan telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam shahih Musilm bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
إن الله جل جلاله يقول يوم القيامة أين المتحابون بجلالي اليوم أظلهم في ظلي يوم لا ظل إلا ظلي
Bahwasaya Allah berfirman pada hari kiamat “Dimanakah orang-orang yang saling mengasihi dengan keagunganKu, maka pada hari ini aku menaungi mereka di bawah naunganku pada hari tidak ada naungan kecuali naunganKu” [10]
Firman Allah ((Dimanakah orang-orang yang saling mengasihi dengan keagunganKu)) yaitu orang-orang yang saling bersaudara yang didasari oleh kecintaan karena Allah, karena mengharapkan pahala Allah, bukanlah yang mendekatkan mereka adalah harta benda, bukanlah juga keturunan, namun yang satu mencintai yang lainnya karena saling mencintai karena Allah bukan karena kepentingan duniawi tetapi karena Allah. Inilah yang ditunjukan oleh hadits lain yang disepakati -oleh para ulama- akan keshahihannya yang terkenal سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله ((Tujuh golongan yang akan Allah naungi di bawah naungan-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya))[11] dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan diantara mereka adalah dua orang yang saling mencintai karena Allah yang mereka berdua saling berkumpul karena kecintaan karena Allah dan demikian pula saling berpisah karena Allah. Dalil-dalil ini menunjukan akan agungnya perkara saling mencintai karena Allah dan menunjukan pula akan agungnya tegaknya persaudaraan karena Allah yang dibangun di atas landasan kecintaan (karena Allah) yang tersebut dalam dalil-dalil yang banyak dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dan jika demikian perkaranya, yaitu jika saling mencintai karena Allah memiliki keutamaan yang agung maka di sana ada hak-hak (kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan) diantara orang-orang yang saling mencintai karena Allah, di sana ada hak-hak persaudaraan antara seorang muslim yang mencintai muslim yang lainnya, hak bagi seorang muslim yang telah terjalin antara dia dan sudaranya tali persaudaraan, ikatan persaudaraan atas landasan keimanan. Allah berfirman
?وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَرِ?[التوبة:71]
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. (QS. 9:71)
Para ulama mengatakan bahwa firman Allah { بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ} ((Sebagian mereka dari sebagian yang lain)) yaitu sebagian mereka menolong sebaian yang lain, sebagian mereka mengasihi sebagian yang lain, sebagian mereka mencintai sebagian yang lain dan seterusnya demikan pula pada hak-hak persaudaraan yang lainnya.
Maka saling berwala (sikap loyalitas diantara kaum mukminin) merupakan ikatan yang terjalin antara seorang mukmin dengan mukmin yang lain, antara seorang muslim dengan muslim yang lain, dan hal ini (loyalitas tersebut) memiliki tingkatan-tingkatan berdasarkan tingkat hubungan diantara mereka, berdasarkan tingkat kasih sayang antara seseorang dengan saudaranya, dan hak-hak (persaudaraan) ini banyak macamnya dan kami hanya menyebutkan sebagian saja.
Hak pertama: Hendaknya seorang mukmin tidak mencintai saudaranya kecuali karena Allah, bukan karena kepentingan dunia. Ini adalah bentuk keikhlasan dalam ibadah tersebut (yaitu persahabatan dengan saudaranya).
Hendaknya antara dia dan saudarnya sesama muslim, antara dia dan sahabatnya, terjalin tali cinta karena Allah, bukan karena kepentingan dunia. Jika persaudaraan dan persahabatan dilandasi karena Allah maka persahabatan tersebut akan langgeng. Adapun jika persahabatan karena kepentingan dunia maka kecintaan dan persahabatan tersebut akan pudar dan sirna. Bentuk keihklasan dalam tali cinta, bentuk keikhlasan dalam hubungan persaudaraan, adalah hendaknya seorang hamba mencitai dan bersahabat karena Allah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
”Tiga perkara yang jika terdapat pada diri seorang maka ia akan merasakan manisnya iman: (1) Jika Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. (2) Ia mencintai seseorang yang mana tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut, sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam Neraka”[12]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa jika tiga perkara ini terkumpul pada diri seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman. Diantara tiga perkara tersebut adalah tidaklah ia mencintai seseorang melainkan karena Allah.
Karena itu, perkara yang penting bukanlah sekedar engkau mencintai saudaramu, tetapi yang penting -dalam ibadah, melaksanakan perintah Allah ini- hendaknya kecintaanmu kepada sahabat karibmu, kepada saudaramu, adalah karena Allah bukan karena faktor dunia. Jika engkau mencintai saudaramu maka hendaknya karena apa yang terdapat dalam hati saudaramu, berupa tauhid, pengagungan terhadap Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta amalannya yang sesuai dengan sunnah. Inilah hakekat dari kecintaan karena Allah, yang merupakan hak ukhuwwah yang pertama.
Maknanya, jika seseorang hendak bergaul dengan orang lain, atau menjalin hubungan dengan saudaranya, maka tidaklah ia melakukan hal itu kecuali semata-mata karena Allah. Jika ia bersahabat dengan saudaranya seiman, lalu ia menampakkan kepada saudaranya bahwa persahabatannya karena Allah, tetapi ternyata dalam hatinya menyimpan sebagian kepentingan dunia, maka ia pada hakikatnya telah menipu dan berbuat curang kepada saudaranya tadi. Sebab, saudaranya tersebut tidak mengetahui isi hatinya dan ia menyangka bahwa persahabatan mereka karena Allah, padahal tidaklah demikian.
Kecintaan seorang terhadap saudaranya karena Allah akan membuahkan buah yang manis. Diantaranya ia akan menunaikan hak-hak ukhuwah (yang akan dijelaskan rinciannya). Karena tidaklah ia bermu’amalah dengan saudaranya –apa saja bentuk mu’amalah tersebut- kecuali ia dalam keadaan takut pada Allah. Sebab, tidaklah dia bersahabat kecuali semata-mata karena Allah. Barang siapa yang tertanam dalam hatinya hakikat ini, kemudian dia menerapkannya -yaitu ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah- maka akan tampak buah yang manis pada tindakan-tindakannya sesuai dengan kadar keikhlasannya. Buah yang manis itu juga akan tampak pada hak-hak ukhuwwah lainnya -yang akan dijelaskan-.
Diantara buah yang manis dari hasil persahabatan karena Allah adalah persahabatan itu akan langgeng. Adapun persahabatan dan persaudaraan yang tidak didasari karena Allah, maka akan pudar dan sirna. Hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa melihat relasi diantara manusia, hubungan mereka dengan saudara mereka yang seiman, hubungan mereka dengan ulama, dengan penuntut ilmu, dengan sebagian saudara mereka yang memiliki harta, memiliki perniagaan, atau memiliki kedudukan, atau terpandang, jika seseorang bersahabat dan bersaudara dengan mereka bukan karena Allah, namun karena memperoleh kepentingan dunia maka ketika ia sudah memperoleh kepentingannya akan terputuslah tali persaudaraannya tersebut. Bahkan dia tidak berterima kasih terhadap saudaranya, tidak menghubunginya lagi, bahkan lebih dari itu -semoga Allah melindungi kita dari sifat seperti ini-, ia malah mencela saudaranya tadi dan membeberkan aib-aib saudaranya yang dulu pernah ia lihat tatkala bersahabat.
Tidak diragukan lagi bahwa hak ini adalah hak ukhuwwah yang pertama, hendaknya seseorang mengkondisikan dirinya untuk tidak mencintai seseorang melainkan karena Allah, sehingga membuahkan faidah yang sangat besar dalam relasinya dengan saudaranya, dalam bermu’amalah, dalam menjaga hak-hak saudaranya, dan dalam ibadah -yang merupakan perkara paling agung-.
bersambung…
Yogyakarta, 15 Agustus 2005
Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Ditrjemahkan dari tulisan yang ditranskrip dari muhadhoroh (ceramah) Syaikh Sholeh Alu Syaikh yang berjudul “huququl ukhuwah”
[2] Karena ini beliau sampaikan dalam ceramah beliau yang waktu ceramah sangatlah terbatas.
[3] Yang datang dari negeri Iraq sebagaimana disebutkan dalam riwayat tersebut
[4] Tafsir Ibnu Abi Hatim 6/1960 no 10435
[5] المُوَطَّئُوْنَ yaitu dengan sighoh isim maf’ul diambil dari kalimat التوطئة yang maknanya membentangkan (merendahkan). Disebut فراش وطيء tempat tidur yang terbentang jika tidak mengganggu lambung yang tidur di atasnya. Dan yang dimaksud dengan الأكناف adalah sisi-sisi tubuh seseorang dan maskud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang sisi-sisi mereka terbentang yang memungkinkan dijadikan sahabat dengan tidak merasa terganggu, dan ini merupakan balagoh yang sangat baik (Faidul Qodir 3/464-465)
[6] Mushonnaf Abdurrozaq As-Shon’ani 11/144 no 0153, At-Tobroni dalam Al-Mu’jam As-Shogir 2/89 no 835, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/270 no 8118, Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini (dengan lafal seperti ini) adalah hasan ligoirihi (Shahih At-Targhib wat tarhib no 2658).
[7] HR At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 6/58 no 5787. Berkata Al-Haitsami رواه أحمد والبزار ورجال أحمد رجال الصحيح “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bazzar dan para perowi Ahmad adalah para perowi as-shahih” (Majma’Az-Zawaid 8/87)
[8] HR Ahmad 5/335 no 22891, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/271 no 8120, At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 6/131 no 5744 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/784 no 425
[9] Lihat As-Shahihah 1/784 no 425
[10] HR Muslim no 2566, dari hadits Abu Hurairah, kitabul Adab, bab Fadlul hubbi fillah
[11] HR Al-Bukhari 1/234 no 629, Muslim 2/715 no 1031
[12] HR al-Bukhari (16 dan 21), serta Muslim (43).
lihat juga:
Post a Comment