Harap Dan Takut Buah Keikhlasan

Posted by As Salam41

Oleh
Al-Ustadz Fariq Bin Gasim Anuz

Seorang mu’min haruslah berharap dan cemas atas setiap amal baik yang ia kerjakan, ia berharap mendapatkan rahmat Allah dan cemas kalau-kalau amal baik yang ia kerjakan tidak diterima oleh Allah Subhana waTa’ala.

Imam Bukhari rahimahullah menamakan sebuah bab dalam kitab Al-Iman dengan Bab khaufil mu’min min an yahbatha a’maluhu wa huwa la yasy’ur, artinya “Bab takutnya seorang mu’min kalau-kalau amalannya terhapus sedang dia tidak menyadarinya”. Kemudian beliau membawakan ucapan Ibrahim At-Taimi rahimahullah secara mu’allaq. [Dan dalam kitab Tarikhnya beliau meriwayatkannya secara maushul sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari juz 1 hal.136] :

Dan Ibrahim At-Taimi berkata. “Apabila saya mempertimbangkan antara ucapanku dan amalanku saya takut kalau-kalau saya termasuk seorang pendusta.”

Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata. “Ucapan beliau (Imam Bukhari, pent) : “Dan Ibrahim At-Taimi berkata,” dia adalah termasuk ahli fiqh Tabi’in dan ahli ibadah di kalangan mereka, dan ucapannya (ãßÐÈÇ) diriwayatkan dzalnya berfathah, yaitu: Saya takut orang yang melihat amalku bertentangan dengan ucapanku akan mendustakanku, (maksudnya) ia berkata: Jika engkau benar tentu perbuatanmu tidak bertentangan dengan ucapanmu, ia mengucapkan demikian ketika ia sedang memberi nasehat kepada manusia. Dan diriwayatkan pula huruf dzalnya berkasrah, dan yang ini paling banyak riwayatnya, adapun maknanya, meskipun ia seorang pemberi nasehat kepada manusia, ia merasa bahwa amalannya belum mencapai target yang semestinya. Dan Allah mencela orang yang ber-amar ma’ruf nahi munkar, sedang dia lalai dalam segi amal, sebagaimana dalam firmanNya.

“Amat besar kebencian di sisi Allah, kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.”[As-Shaff :3]

Maka dia takut seperti para pendusta.[1]

Selanjutnya Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan ucapan Ibnu Abi Mulaikah secara mu’alaq juga. [2]

“Dan Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Saya mendapatkan tiga puluh orang dari para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka semuanya takut kalau dirinya terjangkit penyakit nifak, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengatakan bahwa dirinya seperti imannya Jibril dan Mikail”.[3]

Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata. “Yang demikian dikarenakan seorang mu’min mungkin sekali datang kepadanya sesuatu yang menodai amalnya sehingga berubah niatnya menjadi tidak ikhlas. Tidak berarti mereka terjerumus kepada kemunafikan, dikarenakan ketakutan mereka tersebut, tetapi ini menunjukkan keutamaan mereka dalam hal wara’ dan taqwa, semoga Allah meridhai mereka semuanya.”

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat ini “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” [Al-Mu’minun 60]. Apakah mereka itu orang-orang yang meminum minuman keras dan mencuri?

Beliau menjawab, “Bukan! Wahai putri Ash-Shidiq! Akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang berpuasa, menjalankan shalat, bershadaqah dan mereka takut kalau-kalau amal baik mereka itu tidak diterima, mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan.[4]

Saudara-saudaraku sekalian, pada kesempatan ini saya nukilkan tulisan Imam Adz Dzahabi rahimahullah dalam bukunya SiyarA’laami An-Nubalaa ketika beliau menulis biografi Al-Allamah, Al Hafizh Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Abi Hatim Ar Razi rahimahullah (327H), Imam AdzDzahabi rahimahullah berkata.

“Dan Abu Ar Rabi’ Muhammad bin Al Fadhl Al Balkhi berkata, “Saya mendengar dari Abu Bakr Muhammad bin Mahrawaih Ar Razi, saya mendengar dari Ali bin Al-Husein bin Al Junaid, saya mendengar dari Yahya bin Ma’in bahwasanya ia berkata, “Sesungguhnya kami mencela manusia, padahal mungkin mereka yang dicela tersebut telah disediakan tempat mereka di Surga sejak dua ratus tahun yang lalu (sejak wafatnya, pent)”.” Saya berkata (yaitu Imam Adz-Dzahabi, pent), “Barangkali yang benar sejak seratus tahun yang lalu, karena sesungguhnya di zaman Yahya belum sampai ke angka tersebut.”

Ibnu Mahrawaih berkata, “Maka saya masuk menemui Abdurrahman bin Abi Hatim dan dia sedang membacakan buku Al-Jarhu wat Ta’dil kepada manusia, lalu saya sampaikan perkataan Yahya bin Ma’in, maka beliau menangis, dan kedua tangannya gemetar sampai mengakibatkan bukunya terjatuh, dan terus menangis sambil meminta kepadaku untuk mengulangi hikayat tersebut.

Saya berkata (Yaitu Imam Adz-Dzahabi,pent), “Dia menempuh jalan gentar dan takut akan akibat yang buruk, padahal ucapan pengkritik yang wara’ mengenai orang-orang dhu’afa, termasuk nasehat bagi dien Allah dan dalam rangka membela As Sunnah.[5]

Semoga kisah di atas menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua. Wahai Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati-hati kami agar selalu dalam keadaan istiqamah di atas dien Mu yang lurus, dan kami memohon kepadaMu untuk mengakhiri kehidupan di dunia ini dengan kesudahan yang baik.

[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya’ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]
__________
Foote Note
[1]. Fathul Bari, juz 1 hal.136
[2]. Dimaushulkan oleh Abu Zur’ah Ad-Dimasyqi dalam Tarikh-nya dan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam Tarikh-nya dan Muhammad Ibnu Nashr Al-Marwazi dalam kitabnya Al-Iman, meskipun keduanya tidak menyebutkan jumlah shahabat, begitulah seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Hajardalam Fathul Bari, Juz 1hal. 136
[3]. Shahih Al Bukhari, hal 14
[4]. H.R. Tirmidzi (2/201), Ibnu Jarir (10/26), Al-Hakim (2/393-394) dan Al-Baghawi dalam tafsirnya (6/25)dan Ahmad (6/159 dan 205).Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah No.162)
[5]. Siyar A’lami An-Nubala’, juz 13 hal.268

@Sumber : Almanhaj.or.id

Related Post



Post a Comment