Hukum Pemilu, Bagaimana Kita Menyikapi Pemilu?

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum, ustadz. Alhamdulillah, Allohuma sholi ‘ala muhammad wa ‘ala aliihi wa shohbihi ajma’in.
Ana mau tanya tentang Pemilu, sebenarnya bagaimana kita mensikapinya?
Apa hukumnya?

Jazakallohu khoir.  Wassalamu ‘alaikum.

Abu Abdurrouf
Alamat: Gamping, Sleman, DIY
Email: pamukojo***@yahoo.com

Ustadz Kholid Menjawab:
Untuk menjawab pertanyaan ini dan semisalnya, kami bawakan saja fatwa Syaikh Abdulmalik Ramadhani dalam wawancara beliau dengan al-Akh Abdullah Taslim berikut ini:

Tanya (Abdullah bin Taslim): Sehubungan dengan Pemilu untuk memilih presiden yang sebentar lagi akan diadakan di Indonesia, dimana Majelis Ulama Indonesia mewajibkan masyarakat Indonesia untuk memilih dan mengharamkan golput, bagaimana sikap kaum muslimin dalam menghadapi masalah ini?

Syaikh Abdul Malik:
Segala puji bagi Allah, serta salawat, salam dan keberkahan semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang setia mengikuti jalannya, amma ba’du:

Saat ini mayoritas negara-negara Islam menghadapi cobaan (berat) dalam memilih pemimpin (kepala negara) mereka melalui cara pemilihan umum, yang ini merupakan (penerapan) sistem demokrasi yang sudah dikenal. Padahal terdapat perbedaan yang sangat jauh antara sistem demokrasi dan (syariat) Islam (dalam memilih pemimpin), yang ini dijelaskan oleh banyak ulama (ahlus sunnah wal jama’ah). Untuk penjelasan masalah ini, saudara-saudaraku (sesama ahlus sunnah) bisa merujuk kepada sebuah kitab ringkas yang ditulis oleh seorang ulama besar dan mulia, yaitu kitab “al-’Adlu fil Islaam wa laisa fi dimokratiyyah al maz’uumah” (Keadilan yang hakiki ada pada syariat Islam dan bukan pada sistem demokrasi yang dielu-elukan), tulisan guru kami syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-’Abbaad al-Badr –semoga Allah menjaga beliau dan memanjangkan umur beliau dalam ketaatan kepada-Nya –. ‘Ala kulli hal, pemilihan umum dalam sistem demokrasi telah diketahui, yaitu dilakukan dengan cara seorang muslim atau kafir memilih seseorang atau beberapa orang tertentu (sebagai calon presiden). Semua perempuan dan laki-laki juga ikut memilih, tanpa mempertimbangkan/membedakan orang yang banyak berbuat maksiat atau orang shaleh yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semua ini (jelas) merupakan pelanggaran terhadap (syariat) Islam. Sesungguhnya para sahabat yang membai’at (memilih) Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu (sebagai khalifah/pemimpin kaum muslimin sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di saqiifah (ruangan besar beratap tempat pertemuan) milik (suku) Bani Saa’idah, tidak ada seorang perempuan pun yang ikut serta dalam pemilihan tersebut. Karena urusan siyasah (politik) tidak sesuai dengan tabiat (fitrah) kaum perempuan, sehingga mereka tidak boleh ikut berkecimpung di dalamnya. Dan ini termasuk pelanggaran (syariat Islam), padahal Allah Ta’ala berfirman:

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى

“Dan laki-laki tidaklah seperti perempuan.” (Qs. Ali ‘Imraan: 36)

Maka bagaimana kalian (wahai para penganut sistem demorasi) menyamakan antara laki-laki dan perempuan, padahal Allah yang menciptakan dua jenis manusia ini membedakan antara keduanya?! Allah Ta’ala berfirman:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَة

“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya, sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Qs. al-Qashash: 68)

Di sisi lain Allah Ta’ala berfirman:

أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ

“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Qs. al-Qalam: 35 – 36)

Sementara kalian (wahai para penganut sistem demokrasi) menyamakan antara orang muslim dan orang kafir?! Maka ini tidak mungkin untuk…(kalimat yang kurang jelas). Masalah ini (butuh) penjelasan yang panjang lebar.

Akan tetapi (bersamaan dengan itu), sebagian dari para ulama zaman sekarang berpendapat bolehnya ikut serta dalam pemilihan umum dalam rangka untuk memperkecil kerusakan (dalam keadaan terpaksa). Meskipun mereka mengatakan bahwa (hukum) asal (ikut dalam pemilihan umum) adalah tidak boleh (haram). Mereka mengatakan: Kalau seandainya semua orang diharuskan ikut serta dalam pemilu, maka apakah anda ikut memilih atau tidak? Mereka berkata: anda ikut memilih dan pilihlah orang yang paling sedikit keburukannya di antara mereka (para kandidat yang ada). Karena umumnya mereka yang akan dipilih adalah orang-orang yang memasukkkan (mencalonkan) diri mereka dalam pemilihan tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu:

“Janganlah engkau (berambisi) mencari kepemimpinan, karena sesungguhnya hal itu adalah kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat nanti.” (Gabungan dua hadits shahih riwayat imam al-Bukhari (no. 6248) dan Muslim (no. 1652), dan riwayat Muslim (no. 1825))
Maka orang yang terpilih dalam pemilu adalah orang yang (berambisi) mencari kepemimpinan, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang (berambisi) mencari kepemimpinan maka dia akan diserahkan kepada dirinya sendiri (tidak ditolong oleh Allah dalam menjalankan kepemimpinannya).” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain, dinyatakan lemah oleh syaikh al-Albani dalam “adh-Dha’iifah” (no. 1154).

Lafazh hadits yang shahih Riwayat al-Bukhari dan Muslim: “Jika engkau menjadi pemimpin karena (berambisi) mencarinya maka engkau akan diserahkan kepadanya (tidak akan ditolong oleh Allah).”
Allah akan meninggalkannya (tidak menolongnya), dan barangsiapa yang diserahkan kepada dirinya sendiri maka berarti dia telah diserahkan kepada kelemahan, ketidakmampuan dan kesia-siaan, sebagaimana yang dinyatakan oleh salah seorang ulama salaf – semoga Allah meridhai mereka–.
‘Ala kulli hal, mereka berpendapat seperti ini dalam rangka menghindari atau memperkecil kerusakan (yang lebih besar). Ini kalau keadaannya memaksa kita terjeremus ke dalam dua keburukan (jika kita tidak memilih). Adapun jika ada dua orang calon (pemimpin yang baik), maka kita memilih yang paling berhak di antara keduanya.
Akan tetapi jika seseorang tidak mengatahui siapa yang lebih baik (agamanya) di antara para kandidat yang ada, maka bagaimana mungkin kita mewajibkan dia untuk memilih, padahal dia sendiri mengatakan: aku tidak mengetahui siapa yang paling baik (agamanya) di antara mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (Qs. al-Israa’: 36)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang menipu/mengkhianati kami maka dia bukan termasuk golongan kami.”
(HSR Muslim (no. 101)). Jika anda memilih orang yang anda tidak ketahui keadaannya maka ini adalah penipuan/pengkhianatan.

Demikian pula, jika ada seorang yang tidak merasa puas dengan kondisi pemilu (tidak memandang bolehnya ikut serta dalam pemilu) secara mutlak, baik dalam keadaan terpaksa maupun tidak, maka bagaimana mungkin kita mewajibkan dia melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam?!

Maka ‘ala kulli hal, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Dialah yang memilih untuk umat ini pemimpin-pemimpin mereka. Kalau umat ini baik maka Allah akan memilih untuk mereka pemimpin-pemimpin yang baik pula, (sabaliknya) kalau mereka buruk maka Allah akan memilih untuk mereka pemimpin-pemimpin yang buruk pula. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Qs. al-An’aam: 129)

Maka orang yang zhalim akan menjadi pemimpin bagi masyarakat yang zhalim, demikianlah keadaannya.
Kalau demikian, upayakanlah untuk menghilangkan kezhaliman dari umat ini, dengan mendidik mereka mengamalkan ajaran Islam (yang benar), agar Allah memberikan untuk kalian pemimpin yang kalian idam-idamkan, yaitu seorang pemimpin yang shaleh. Karena Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِم

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

(Dalam ayat ini) Allah tidak mengatakan “…sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada pemimpin-pemimpin mereka”, akan tetapi (yang Allah katakan): “…sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Aku telah menulis sebuah kitab tentang masalah ini, yang sebenarnya kitab ini khusus untuk para juru dakwah, yang mengajak (manusia) ke jalan Allah Ta’ala, yang aku beri judul “Kamaa takuunuu yuwallaa ‘alaikum” (sebagaimana keadaanmu maka begitupulalah keadaan orang yang menjadi pemimpinmu).

Aku jelaskan dalam kitab ini bahwa watak para penguasa selalu berasal dari watak masyarakatnya, maka jika masyarakatnya (berwatak) baik penguasanya pun akan (berwatak) baik, dan sebaliknya.

Maka orang-orang yang menyangka bahwa (yang terpenting dalam) masalah ini adalah bersegera untuk merebut kekuasaan, sungguh mereka telah melakukan kesalahan yang fatal dalam hal ini, dan mereka tidak mungkin mencapai hasil apapun (dengan cara-cara seperti ini). Allah Ta’ala ketika melihat kerusakan pada Bani Israil disebabkan (perbuatan) Fir’aun, maka Allah membinasakan Fir’aun dan memberikan kepada Bani Israil apa yang mereka inginkan, dengan Allah menjadikan Nabi Musa ‘alaihissalam sebagai pemimpin mereka. (Akan tetapi) bersamaan dengan itu, kondisi (akhlak dan perbuatan) mereka tidak menjadi baik, sebagaimana yang Allah kisahkan dalam al-Qur’an. Mereka tidak menjadi baik meskipun pemimpin mereka adalah kaliimullah (orang yang langsung berbicara dengan Allah Ta’ala), yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam, sebagaimana yang sudah kita ketahui. Bahkan sewaktu Allah berfirman (menghukum) sebagian dari Bani Israil:

كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِين

“Jadilah kamu kera yang hina.” (Qs. al-Baqarah: 65)

Kejadian ini bukanlah di zaman kekuasaan Fir’aun. Akan tetapi hukuman Allah ini (menimpa) sebagian mereka (karena mereka melanggar perintah Allah) ketika mereka di bawah kepemimpinan Nabi Musa ‘alaihissalam dan para Nabi Bani Israil ‘alaihimussalam sepeninggal Nabi Musa ‘alaihissalam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sesungguhnya Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi ‘alaihimussalam, setiap seorang Nabi wafat maka akan digantikan oleh Nabi berikutnya.” (HSR al-Bukhari dan Muslim)

Dan hanya Allah-lah yang mampu memberikan taufik (kepada manusia).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Madinah Nabawiyyah, 15 Rabi’ul awal 1430 H / 11 Maret 2009 M

Sumber: ustadzkholid.com

@sumber konsultasisyariah.com

Bolehkah Kita Ber-Madzab?

Pertanyaan:

Ustadz, mohon dijelaskan tentang hukum mengikuti salah satu dari empat madzhab, sikap kita tehadap mereka yang bermadzhab dan yang mewajibkan bermadzab, serta sejauh mana kebenaran klaim bahwa mereka mengikuti salah satu imam tersebut, terutama di negeri ini.
Jazakallah khayran.

Abu Abdillah
Alamat: Rawamangun, jaktim
Email: abu_abdilxxxx@yahoo.com

Jawaban:

Pertanyaan serupa pernah ditanyakan kepada Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz Rahimahullah, beliau menjawab:

“Empat imam mahdzab memiliki kapasitas ilmu yang berbeda. Karena tentunya tidak ada seorang pun yang menguasai semua ajaran Nabi, dan tidak ada seorang pun manusia yang menguasai keseluruhan ilmu yang ada. Sehingga mereka kadang berbeda pada beberapa hal. Namun, mereka adalah para imam besar. Mereka memiliki pengikut yang merumuskan madzhab mereka. Pengikut para imam ini mengumpulkan pembahasan-pembahasan serta fatwa-fatwa para imam. Kemudian ditulis dalam banyak kitab sehingga menyebarlah madzhab mereka dan dikenal banyak orang. Yaitu disebabkan pengikut para imam yang menuliskan dan mengumpulkan pembahasan dan fatwa dari para imam tersebut.

Sebagian diantara empat imam madzhab kadang terjerumus dalam kesalahan. Karena kadang sebagia mereka belum mengetahui hadits yang berkaitan dengan masalah tertentu. Lalu mereka berfatwa dengan ijtihad. Sehingga, dengan sebab ini, mereka memfatwakan yang salah. Sedangkan sebagian imam yang lain mengetahui hadits yang berkaitan, sehingga mereka berfatwa dengan fatwa yang benar. Hal seperti ini banyak terjadi dalam berbagai masalah yang mereka bahas, semoga Allah merahmati mereka semua. Oleh karena itulah Imam Malik berkata:

ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبر

Setiap boleh menolak dan boleh ditolak pendapatnya, kecuali pemilik kuburan ini“, yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam

Namun tentang memilih salah satu pendapat madzhab, ini hanya layak dilakukan oleh orang yang serius belajar agama. Dan merekapun tetap tidak boleh taqlid terhadap salah satu madzhab. Selain itu, jika seseorang menisbahkan diri pada madzhab tertentu karena ia memandang kaidah-kaidah, landasan dan kesesuaian terhadap dalil secara umum pada madzhab ini, ini dibolehkan. Namun tetap ia tidak boleh taklid baik kepada Asy Syafi’i, atau kepada Imam  Ahmad, atau kepada Imam Malik, atau kepada Imam Abu Hanifah atau yang selain mereka. Yang wajib baginya adalah melihat sumber pendapat dan cara pendalilan dari para imam tersebut. Pendapat yang lebih kuat dalilnya dari beberapa pendapat yang ada, maka itulah yang diambil. Sedangkan dalam perkara ijma, tidak boleh ada yang memiliki pendapat lain. Karena para ulama tidak mungkin bersepakat dalam kebatilan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبرلا تزال طائفة من أمتي على الحق منصورة…. الحديث

Akan selalu ada sekelompok orang (thaifah) dari ummatku yang teguh di atas kebenaran, mereka ditolong oleh Allah.”

Dan jika para ulama telah bersepakat, maka merekalah thaifah yang dimaksud.

Bagi orang yang paham agama, wajib baginya untuk memperhatikan dalil dalam masalah khilafiyah. Jika pendapat Imam Abu Hanifah didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Asy Syafi’i didukung dalil, maka ini yang diambil. Jika pendapat Imam Malik didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Imam Ahmad didukung dalil, ini yang diambil. Demikian juga, jika pendapat Imam Al Auza’i didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Ishaq bin Rahawaih didukung dalil, ini yang diambil, dan seterusnya. Wajib mengambil pendapat yang berdasarkan dalil dan wajib meninggalkan pendapat yang tidak berdasarkan atas dalil. Karena Allah Ta’ala berfirman:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Juga firman Allah Ta’ala:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. Asy Syuura: 10)

Kesimpulannya, wajib bagi orang yang paham agama untuk mengembalikan setiap permasalahan khilafiyah kepada dalil. Pendapat yang dalilnya paling kuatlah yang diambil.

Sedangkan orang awam, yang wajib bagi mereka adalah bertanya kepada orang yang berilmu yang ada di masanya. Yaitu orang alim yang dapat memilihkan pendapat yang menurutnya paling mendekati teladan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Orang alim tersebut juga wara’, sangat memahami ilmu agamanya, dan masyarakat pun percaya terhadap keilmuannya. Orang awam sebaiknya merujuk dan bertanya kepada mereka. Sehingga dapat dikatakan madzhab orang awam ini adalah madzhab sang ulama yang ia tanya.

Namun perlu ditekankan, orang awam sebaiknya merujuk pada ulama -baik yang ada di negerinya atau di luar negerinya- yang dikenal ketinggian kapasitas ilmunya, ia mengikuti kebenaran, ia menjaga shalat 5 waktu, ia dikenal sebagai ulama yang mengikuti sunnah Nabi, ia memanjangkan janggut, tidak isbal, bebas dari tuduhan dari ulama yang lain, dan pertanda-pertanda lainnya yang menunjukkan bahwa ia adalah orang yang istiqamah. Maka jika anda ditunjukkan kepada seorang ulama, dan dari zhahirnya nampak tanda-tanda kebaikan dan ia pun dikenal kapasitas ilmunya, silakan bertanya kepadanya tentang hal-hal yang anda belum paham dalam masalah agama. Alhamdulillah, Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertaqwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian.” (QS. At Taghabun: 16)

Allah Ta’ala juga berfirman:

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Bertanyalah kepada orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui.” (QS. Al Anbiya: 7)

[Sampai di sini penjelasan beliau, dikutip dari  Fatawa Nurun ‘Ala Ad Darb Juz 1, http://binbaz.org.sa/mat/4729]

Mengenai mayoritas orang yang menisbahkan diri kepada salah satu mahdzab di negeri kita, yaitu mahdzab Syafi’i, kami pernah menanyakan kepada Syaikh Ali Salim Bukair hafizhahullah saat berkunjung ke Indonesia, beliau adalah seorang faqih (pakar fiqih) Mazhab Syafi’i dan Anggota Majelis Syura negeri Yaman. Beliau mengatakan bahwa pada realitanya kebanyakan orang yang mengaku bermadzab Syafi’i adalah pengikut madzhab Syafi’i dalam masalah furu’, dan mereka banyak menyelisihi mahdzab Syafi’i dalam perkara ushul dan banyak mengikuti pendapat ulama Syafi’iyyah zaman belakangan yang menyelisihi qoul mu’tamad (pendapat yang dijadikan pegangang utama madzhab Syafi’i).

Wallahu’alam.

Yulian Purnama
Sumber: UstadzKholid.Com

@sumber konsultasisyariah.com

Apa Makna Salaf, Salafi, atau Salafiyun?

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum ustadz. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kepada ustadz, karena ada yang kurang jelas.

  1. Apa makna Salaf, Salafi, atau Salafiyyun?
  2. Ada buku yang pernah saya baca, dikatakan bahwa salaf itu berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah, akan tetapi ada beberapa orang yg saya kenal bermanhaj salaf tapi mereka mudah sekali untuk menyalahkan atau mengatakan bahwa ini bid’ah atau sesat, mereka juga jarang senyum. Padahal kalau yang saya baca Rasulullah itu murah senyum. Bagaimana memaknai salaf dalam hal ini?

Maaf jika pertanyaan saya ada yg tidak berkenan di hati. Saya bertanya karena saya baru kenal dengan manhaj Salaf

Ahmad Iqbal
Alamat: Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
Email: ahmad.ixxxx@gmail.com

Al Akh Yulian Purnama menjawab:

Salaf secara bahasa arab artinya ‘setiap amalan shalih yang telah lalu; segala sesuatu yang terdahulu; setiap orang yang telah mendahuluimu, yaitu nenek moyang atau kerabat’ (Lihat Qomus Al Muhith, Fairuz Abadi). Secara istilah, yang dimaksud salaf adalah 3 generasi awal umat Islam yang merupakan generasi terbaik, seperti yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya” (HR. Bukhari-Muslim)

Tiga generasi yang dimaksud adalah generasi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat, generasi tabi’in dan generasi tabi’ut tabi’in. Sering disebut juga generasi Salafus Shalih. Tidak ada yang meragukan bahwa merekalah orang-orang yang paling memahami Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Maka bila kita ingin memahami Islam dengan benar, tentunya kita merujuk pada pemahaman orang-orang yang ada pada 3 generasi tersebut. Seorang sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata, “Seseorang yang mencari teladan, hendaknya ia meneladani para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam karena mereka adalah orang-orang yang paling mulia hatinya, paling mendalam ilmunya, paling sedikit takalluf-nya, paling benar bimbingannya, paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya, dan untuk menegakkan agamanya. Kenalilah keutamaan mereka. Ikutilah jalan hidup mereka karena sungguh mereka berada pada jalan yang lurus.” (Lihat Limaadza Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot, Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Kemudian dalam bahasa arab, ada yang dinamakan dengan isim nisbah, yaitu isim (kata benda) yang ditambahkan huruf ‘ya’ yang di-tasydid dan di-kasroh, untuk menunjukkan penisbatan (penyandaran) terhadap suku, negara asal, suatu ajaran agama, hasil produksi atau sebuah sifat (Lihat Mulakhos Qowaid Al Lughoh Ar Rabiyyah, Fuad Ni’mah). Misalnya yang sering kita dengar seperti ulama hadits terkemuka Al-Bukhari, yang merupakan nisbah kepada kota Bukhara (nama kota di Uzbekistan) karena Imam Al-Bukhari memang berasal dari sana. Ada juga yang menggunakan istilah Al-Hanafi, berarti menisbahkan diri pada madzhab Hanafi. Maka dari sini dapat dipahami bahwa Salafi maksudnya adalah orang-orang yang menisbatkan (menyandarkan) diri kepada generasi Salafus Shalih. Atau dengan kata lain “Salafi adalah mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka”. (Lihat Kun Salafiyyan ‘Alal Jaddah, hal. 10)

Sehingga dengan penjelasan ini jelaslah bahwa orang yang beragama dengan mengambil sumber ajaran Islam dari 3 generasi awal umat Islam tadi, DENGAN SENDIRINYA ia seorang Salafi. Tanpa harus mendaftar, tanpa berbai’at, tanpa iuran anggota, tanpa kartu anggota, tanpa harus ikut pengajian tertentu, tanpa harus mengaji pada ustadz tertentu dan tanpa harus memakai busana khas tertentu. Maka Anda yang sedang membaca artikel ini pun seorang Salafi bila anda selama ini mencontoh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam beragama.

Jika pembaca sekalian memahami penjelasan di atas, maka seharusnya telah jelas bahwa dakwah salafiyyah adalah Islam itu sendiri. Dakwah Salafiyyah adalah Islam yang hakiki. Mengapa? Karena dari manakah kita mengambil sumber pemahaman Al Qur’an dan hadits selain dari para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam? Apakah ada sumber lain yang lebih terpercaya? Apakah Islam dipahami dengan selera dan pemahaman masing-masing orang? Bahkan jika seseorang dalam memahami Al Qur’an dan hadits mengambil sumber dari yang lain, maka dapat dipastikan ia telah mengambil jalan yang salah. Syaikh Salim Bin ‘Ied Al Hilaly setelah menjelaskan surat An Nisa ayat 115 berkata, “Dengan ayat ini jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mu’minin adalah jalan keselamatan. Dan ayat ini dalil bahwa pemahaman para sahabat mengenai agama Islam adalah hujjah terhadap pemahaman yang lain. Orang yang mengambil pemahaman selain pemahaman para sahabat, berarti ia telah mengalami penyimpangan, menapaki jalan yang sempit lagi menyengsarakan, dan cukup baginya neraka Jahannam yang merupakan seburuk-buruk tempat tinggal.” (Lihat Limaadza Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot, Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Salah Kaprah Tentang Salafi

Di tengah masyarakat, banyak sekali beredar syubhat (kerancuan) dan kalimat-kalimat miring tentang Salafi. Dan ini tidak lepas dari dua kemungkinan. Sebagaimana dijelaskan Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri ketika ditanya tentang sebuah syubhat, “Kerancuan tentang Salafi yang berkembang di masyarakat ini tidak lepas dari 2 kemungkinan: Disebabkan ketidak-pahaman atau disebabkan adanya i’tikad yang buruk. Jika karena tidak paham, maka perkaranya mudah. Karena seseorang yang tidak paham namun i’tikad baik, jika dijelaskan padanya kebenaran ia akan menerima, jika telah jelas baginya kebenaran dengan dalilnya, ia akan menerima. Adapun kemungkinan yang kedua, pada hakikatnya ini disebabkan oleh fanatik golongan dan taklid buta, -dan ini yang lebih banyak terjadi- dari orang-orang ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan pelaku bid’ah yang mereka memandang bahwa manhaj salaf akan membuka tabir penyimpangan mereka.” (Ushul Wa Qowa’id Fii Manhajis Salafi, Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri )

Dalam kesempatan kali ini akan kita bahas beberapa kerancuan tersebut.

1. Salafi Bukanlah Sekte, Aliran, Partai atau Organisasi Massa

Sebagian orang mengira Salafi adalah sebuah sekte, aliran sebagaimana Jama’ah Tabligh, Ahmadiyah, Naqsabandiyah, LDII, dll. Atau sebuah organisasi massa sebagaimana NU, Muhammadiyah, PERSIS, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dll. Ini adalah salah kaprah. Salafi bukanlah sekte, aliran, partai atau organisasi massa, namun salafi adalah manhaj (metode beragama), sehingga semua orang di seluruh pelosok dunia di manapun dan kapanpun adalah seorang salafi jika ia beragama Islam dengan manhaj salaf tanpa dibatasi keanggotaan.

Sebagian orang juga mengira dakwah Salafiyyah adalah gerakan yang dicetuskan dan didirikan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab. Ini pun kesalahan besar! Dijelaskan oleh Syaikh ‘Ubaid yang ringkasnya, “Dakwah salafiyyah tidak didirikan oleh seorang manusia pun. Bukan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab bersama saudaranya Imam Muhammad Bin Su’ud, tidak juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, bukan pula oleh Imam Mazhab yang empat, bukan pula oleh salah seorang Tabi’in, bukan pula oleh sahabat, bukan pula oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, dan bukan didirikan oleh seorang Nabi pun. Melainkan dakwah Salafiyah ini didirikan oleh Allah Ta’ala. Karena para Nabi dan orang sesudah mereka menyampaikan syariat yang berasal dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan rujukan melainkan nash dan ijma” (Lihat Ushul Wa Qowaid Fii Manhajis Salaf)

Oleh karena itu, dalam dakwah salafiyyah tidak ada ketua umum Salafi, Salafi Cabang Jogja, Salafi Daerah, Tata tertib Salafi, AD ART Salafi, Alur Kaderisasi Salafi, dan tidak ada muassis (tokoh pendiri) Salafi. Tidak ada pendiri Salafi melainkan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada AD-ART Salafi melainkan Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat.

2. Salafi Gemar Mengkafirkan dan Membid’ahkan?

Musuh utama seorang muslim adalah kekufuran dan kesyirikan, karena tujuan Allah menciptakan makhluk-Nya agar makhluk-Nya hanya menyembah Allah semata. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh kesyirikan adalah kezaliman yang paling besar” [QS. Luqman: 13].

Setelah itu, musuh kedua terbesar seorang muslim adalah perkara baru dalam agama, disebut juga bid’ah. Karena jika orang dibiarkan membuat perkara baru dalam beragama, akan hancurlah Islam karena adanya peraturan, ketentuan, ritual baru yang dibuat oleh orang-orang belakangan. Padahal Islam telah sempurna tidak butuh penambahan dan pengurangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim)

Maka tentu tidak bisa disalahkan ketika ada da’i yang secara intens mendakwahkan tentang bahaya syirik dan bid’ah, mengenalkan bentuk-bentuk kesyirikan dan kebid’ahan agar umat terhindar darinya. Bahkan inilah bentuk sayang dan perhatian terhadap umat.

Kemudian, para ulama melarang umat Islam untuk sembarang memvonis bid’ah, sesat apalagi kafir kepada individu tertentu. Karena vonis yang demikian bukanlah perkara remeh. Diperlukan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah serta memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama dalam hal ini. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata, “Dalil-dalil terkadang menunjukkan bahwa perbuatan tertentu adalah perbuatan kufur, atau perkataan tertentu adalah perkataan kufur. Namun di sana terdapat faktor yang membuat kita tidak memberikan vonis kafir kepada individu tertentu (yang melakukannya). Faktornya banyak, misalnya karena ia tidak tahu, atau karena ia dikalahkan oleh orang kafir dalam perang.” (Lihat Fitnah At Takfir, Muhammad Nashiruddin Al Albani)

Dari sini jelaslah bahwa menjelaskan perbuatan tertentu adalah perbuatan kufur bukan berarti memvonis semua pelakunya itu per individu pasti kafir. Begitu juga menjelaskan kepada masyarakat bahwa perbuatan tertentu adalah perbuatan bid’ah bukan berarti memvonis pelakunya pasti ahlul bid’ah. Syaikh Abdul Latif Alu Syaikh menjelaskan: “Ancaman (dalam dalil-dalil) yang diberikan terhadap perbuatan dosa besar terkadang tidak bisa menyebabkan pelakunya per individu terkena ancaman tersebut” (Lihat Ushul Wa Dhawabith Fi At Takfir, Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman Alu Syaikh).

Bahkan Salafiyyin berada dibarisan terdepan dalam membantah paham takfir, yaitu gemar mengkafirkan secara serampangan.

3. Salafi Memecah-Belah Ummat?

Untuk menjelaskan permasalahan ini, perlu pembaca ketahui tentang 3 hal pokok. Pertama, perpecahan umat adalah sesuatu yang tercela. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Berpegang teguhlah pada tali Allah dan jangan berpecah-belah” (QS. Al-Imran: 103). Kedua, perpecahan umat adalah suatu hal yang memang dipastikan terjadi dan bahkan sudah terjadi. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, “Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini” [HR. Tirmidzi]. Ketiga, persatuan Islam bukanlah semata-mata persatuan badan, kumpul bersama, dengan keadaan aqidah yang berbeda-beda. Mentoleransi segala bentuk penyimpangan, yang penting masih mengaku Islam. Bukan itu persatuan Islam yang diharapkan. Perhatikan baik-baik hadits tadi, saat umat Islam berpecah belah seolah-olah Rasulullah memerintahkan untuk bersatu pada satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh para sahabat, inilah manhaj salaf.

Sehingga ketika ada seorang yang menjelaskan kesalahan-kesalahan dalam beragama yang dianut sebagian kelompok, aliran, partai atau ormas Islam, bukanlah upaya untuk memecah belah ummat. Melainkan sebuah upaya untuk mengajak ummat BERSATU di satu jalan yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tersebut. Bahkan adanya bermacam aliran, sekte, partai dan ormas Islam itulah yang menyebabkan perpecahan ummat. Karena mereka tentu akan loyal kepada tokoh-tokoh mereka masing-masing, loyal kepada peraturan mereka masing-masing, loyal kepada tradisi mereka masing-masing, bukan loyal kepada Islam!!

Selain itu, jika ada saudara kita yang terjerumus dalam kesalahan, siapa lagi yang hendak mengoreksi kalau bukan kita sesama muslim? Tidak akan kita temukan orang kuffar yang melakukannya. Dan bukankah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Agama adalah nasehat” (HR. Muslim). Dan jika koreksi itu benar, bukankah wajib menerimanya dan menghempas jauh kesombongan? Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)

4. Salafi Kasar dan Berakhlak Buruk

Manhaj salaf mengajarkan bahwa setiap muslim wajib berakhlak mulia. Akhlaq mulia yang paling utama adalah terhadap Allah Ta’ala. Yaitu dengan menyembah Allah semata dan tidak berbuat kesyirikan serta menjalani apa yang Ia perintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Kemudian berakhlak mulia terhadap makhluk Allah. Inilah yang dimaksud dalam hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid, 24/333. Di shahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 45 )

Manhaj salaf menghasung ummat agar bergaul dan bermuamalah dengan akhlak mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada. Dan kerjakan banyak kebaikan setelah engkau terjerumus dalam keburukan hingga terhapus dosamu. Dan bergaullah terhadap manusia dengan akhlak yang baik” (HR. Tirmidzi, ia berkata: ‘Hadits in hasan’)

Maka setiap muslim, lebih lagi yang bersemangat untuk berpegang teguh dengan manhaj salaf, selayaknya berakhlak dengan akhlak yang mulia.

Oleh karena itu, jika ada sebagian orang yang mengaku berpegang pada manhaj salaf namun belum berakhlak yang baik, tentu ini tidak dapat menjadi justifikasi terhadap manhaj salaf. Karena manhaj salah justru mengajarkan sebaliknya. Dan kita perlu menyadari bahwa tidak mungkin kita menuntut semua orang yang berpegang pada manhaj salaf harus bebas dari kesalahan dan dosa. Setiap kita pasti bisa salah dan lupa. Bisa jadi karena kejahilan ataupun karena doronganhawa nafsu sehingga manusia belum dapat berakhlak yang baik. Semoga Allah menolong kita agar dapat memupuk akhlak yang mulia dalam diri kita. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun pernah berdoa:

Ya Allah, sebagaimana engkau baguskan rupaku maka baguskanlah akhlakku” (HR. Al Baihaqi dalam Da’awaat Al Kabir, 2/82. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib, 2657)

Nasihat Untuk Ummat

Terakhir, agama adalah nasehat. Maka penulis menasehati diri sendiri dan kaum muslimin sekalian untuk menjadi Salafi. Bagaimana caranya? Menjadi seorang Salafi adalah dengan menjalankan Islam sesuai dengan apa yang telah dituntunkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan dipahami oleh generasi Salafus Shalih. Dan wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk ber-Islam dengan manhaj salaf. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam semua diampuni oleh Allah. Wajib mengikuti metode beragama para sahabat, perkataan mereka dan aqidah mereka sebenar-benarnya” (I’lamul muwaqqi’in, (120/4), dinukil dari Kun Salafiyyan ‘Alal Jaddah, Abdussalam Bin Salim As Suhaimi)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat.

Penulis: Yulian Purnama
Sumber: UstadzKholid.Com

@sumber konsultasisyariah.com

Apakah Jilbab Besar dan Cadar Adalah Ciri Teroris?

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Ustadz, saat ini saya sedang menghadapi beberapa masalah yang sangat mengacaukan pikiran saya. Alhamdulillah sekarang ini saya mulai belajar menjadi seorang salafi (sebelumnya saya akhwat suatu harakah. Perlu disebutkan? Saya Eks. Tarbiyah). Tapi alhamdulillah sekarang dah berlepas diri dari harakah itu. Sekarang saya lagi bingung, di tengah semangat2nya “ngaji” & menjadi salafi, ujian datang dari berbagai pihak. Keluarga, kantor, teman2 kuliah. Apalagi sejak di media massa santer diberitakan tentang terorisme, keluarga jadi pasang lampu kuning untuk saya. Mereka menganggap akhwat bercadar, berjilbab gelap & lebar identik dengan teroris (di TV, koran sering muncul keluarga & istri Amrozi dkk yang bercadar). Bagaimanakah cara menjelaskan kepada keluarga & teman2 bahwa salafi TIDAK Ada kaitannya dengan terorisme? Karena mereka sering mengkomentari, bahkan mengejek saya begini “Tuh temen-temen kamu (ketika keluarga Amrozi dkk muncul di TV/koran ).”

Yang kedua, bolehkah ikhwan dan akhwat saling mengirim sms, email, chatting? Apakah hal itu termasuk khalwat?

Yang ketiga, saya pengin segera menikah. Saya sudah bekerja, dan saya takut terkena fitnah dengan ikhwan (makanya saya pengen menyegerakan menikah), tapi saya baru 19 tahun, ortu pun pasti tidak setuju karena masih mengharapkan saya untuk menyelesaikan kuliah dulu (baru semester 1). Bagaimanakah hukum menikah bagi saya?

Dan bagaimana cara untuk meluluhkan hati ortu saya?

Kemudian, sejak dulu saya sering tindihan. Tapi sekarang dah jarang. Padahal sebelum tidur saya tidak lupa berdoa & wudhu? Apakah saya perlu diruqyah?
Sekian pertanyaan dari saya, Jazakallah khair…

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Jawaban Ustadz:

Waalaikum Salam Warohmatullah,

Adapun komentar orang-orang termasuk dari keluarga, teman-teman bahwasanya yang penampilannya seperti mereka lihat para teroris adalah dianggap hal yang wajar karena pada umumnya manusia terbiasa mengelompokkan dari sisi dhohir/tampilan luar walaupun sesungguhnya mereka salah karena pada kenyataan sehari-hari, tidak setiap yang berpenampilan sama di dalamnya (hakikatnya) juga sama. Mereka sendiri yang mengatakan rambut sama hitam tapi hati berbeda. Itu juga disebabkan kerena kebodohan mereka terkait dengan pakaian dan tampilan dhohir/luar, apa yang menjadi semestinya menjadi kewajiban seorang muslim maka yang perlu dijelaskan pada mereka adalah kaidah tadi, tidak setiap yang berpenampilan sama itu sama dalam seluruh sisi, kebetulan saja kami dengan mereka memiliki kesamaan dalam berpegang teguh dalam urusan berpakaian yang menjadi kewajiban seorang muslim (jilbab, cadar, jenggot, dan memendekkan celana di atas mata kaki -ed).

Kalau mereka mempertanyakan dalilnya bisa anti tunjukkan dalil dari hadits, Al Qur’an dan akhlaq salaf, yang bisa anti dapatkan dalam buku tafsir sampai buku-buku terjemahan yang tentunya ditafsirkan oleh ulama terpercaya. Anti bisa menjadikan alat bantu seperti membaca majalah Al Furqon, Fatawa tentang terorisme dan Buletin At Tauhid Edisi 44, 2 Desember 2006 yang juga membahas terorisme dan bom. Untuk ikut menjelaskan bahwa inilah kami yang berbeda dengan mereka. insya Allah mereka akan paham jika kita justru ikut mengutuk perbuatan tersebut. [pada website ini juga banyak terdapat artikel yang membahas tentang permasalahan jihad dan terorisme, silahkan merujuk artikel-artikel pada kategori “Manhaj” -ed]

Kita mampu menjelaskan hakikat mereka (para teroris tersebut). Dimana letak kesalahan dan pelanggaran yang ada pada mereka yang kita berlepas diri dari pelanggaran tersebut. Kita jelaskan latar belakang mengapa mereka bisa berbuat demikian, keyakinan apa yang melandasinya sehingga mereka sampai berbuat demikian. Yang jelas kita sampaikan bahwasanya kita berlepas diri dari perbuatan mereka dan ikut membantu untuk menyebarkan bahwa perbuatan itu salah dan menyimpang, namun ingat bahwa yang berpenampilan sama itu tidak sama juga dalam seluruh sisi.

Khusus pada keluarga, Anti jelaskan bahwa dalam berbuat, Anti berdasarkan alasan (dalil yang shohih), tidak sembrono, tidak asal berbuat tanpa dalil dan perbuatan Anti tersebut merujuk pada Islam dari dulu (Salafush Sholih). Apa yang Anti amalkan sudah diamalkan oleh kaum muslimin sejak zaman Rasulullah, para sahabat, diteruskan dari generasi ke generasi, yang amalan ini telah banyak ditinggalkan kaum muslimin. Sekarang Anti juga bisa jelaskan pada orang tua atau yang lainnya, lihatlah orang-orang Arab pakaiannya juga hitam-hitam tapi tidak teroris. Pakaiannya semua sama, wanitanya berjubah, bercadar tapi tidak semua dicap teroris, padahal sama semua (secara dhohir). Kadang di televisi ada siaran langsung haji di bulan Dzulhijah, mereka bisa lihat bagaimana masyarakat Arab berpakaian. Mereka tidak dicap teroris kan?

Adapun orang-orang yang tidak bisa ditemui/berbicara langsung dengan mereka, ya wajar saja memberlakukan sama dengan teroris tersebut. Yang terpenting adalah keluarga kita yang kita ajak bicara, teman-teman kita, teman kantor, teman dekat atau teman kuliah yang langsung berinteraksi dengan kita yang tatkala mereka menyatakan “Tuh liat teman-teman kamu”. Maka Anti jelaskan dari referensi yang telah saya sebutkan tadi untuk menjelaskan pada mereka.

Itulah kenyataan bahwa mengapa mereka berpakaian seperti itu, karena itu adalah syariat Islam, menuntut pakaian wanita adalah menutup auratnya, lebar, besar, dan diwajibkan sebagaimana yang dipraktekkan masyarakat Arab yang merupakan tempat turunnya wahyu yaitu Saudi Arabia dan sekitarnya. Itu sebagai tambahan penjelasan untuk membuka jalan pikiran bahwasanya itu merupakan pakaian yang disyariatkan Islam dan tidak ada hubungannya dengan terorisme sama sekali. Adapun kebetulan sama karena pelaku teroris tersebut berniat mengamalkan Islam dalam sebagiannya tapi salah dalam sebagian yang lain.

***

Saling mengirim sms, email, chatting tidaklah termasuk khlawat, karena yang termasuk khalwat adalah orang berduaan saja tanpa orang lain. Kalau bercampur baur laki-laki dan perempuan namanya ikhtilath. Kedua hal tersebut haram menurut syariat.

Adapun saling mengirim sms, email, chatting selama ada hajat/kebutuhan (bukan dicari-cari alasan untuk saling kirim sms, email) maka boleh saja. Selama aman dari fitnah. Batasannya selama aman dari fitnah. Karena boleh seorang laki-laki bicara dengan seorang wanita selama aman dari fitnah, tidak khalwat dan ada kebutuhan.

***

Hukum menikah bagi Anti tergatung walinya. Kalau walinya tidak bersedia menikahkan maka tidak bisa menikah KECUALI Anti bisa lapor pada hakim/pihak KUA/Pengadilan Agama: “Saya pengin menikah tapi orang tua saya tidak mau menikahkan”. Jika kemudian pihak hakim memenangkan tuntutan Anti untuk menikah maka orang tua akan dipaksa menikahkan kalau tidak mau menikahkan maka hakim yang akan menikahkan, dan itu SAH. Itu kalau Anti mau melakukannya, kalau tidak ya bicara baik-baik pada orang tua, jelaskan bahwa sangat berbahaya kalau tidak segera menikah sementara Anti sudah sangat ingin menikah. Adapun masalah kuliah itu tergantung nanti bagaimana suaminya. Kalau suaminya menghendaki meneruskan ya diteruskan, kalau suaminya tidak menghendaki diteruskan ya tidak diteruskan. Atau kemudian disyaratkan pada suaminya untuk sampai melanjutkan menikah dengan syarat melanjutkan kuliah. Hal tersebut jika suaminya setuju dan tergantung bentuk kuliah. Apakah kuliahnya adalah yang diperbolehkan syariat atau tidak, ini perlu pembahasan tersendiri.

Yang terpenting adalah bicara pada orang tua secara baik-baik dari hati ke hati bahwa tuntutan menikah bagi Anti memang sudah sangat mendesak dan cara meluluhkan hati orang tua adalah dengan bicara baik-baik dari hati ke hati, sampaikan bahwa konsep kebahagiaan menurut Anti karena sering berbeda dengan konsep kebahagiaan menurut orang tua.

Konsep kebahagiaan menurut Anti adalah tatkala seseorang melaksanakan syariat Allah dengan sungguh-sungguh, itulah orang bahagia. Sekali lagi, jelaskan pada orang tua secara baik dan hikmah, dari hati ke hati bahwasanya walau baru 19 tahun tapi kalau sudah dewasa. Sudah berpikir tentang tahu arti sebuah bahagia. Namanya bahagia yaitu hanya kalau mengikuti syariat Allah dan orang yang bertaqwa pada Allah adalah bahagia tatkala tunduk pada syariat Allah dan sengsara/susah tatkala melanggar syariat Allah Ta’ala.

***

Insya Allah tidak perlu ruqyah karena tindihan adalah hal biasa. Walaupun mungkin tidak terlepas dari gangguan jin, tapi insya Allah tidak perlu diruqyah. Sering-sering lah minta dan berdoa pada Allah. Ta’awudz minta perlindungan Allah, demikian juga ketika tindihan, berlindunglah pada Allah. insya Allah segera sembuh dari tindihan.

Catatan:
Jawaban ustadz ini kami ketik ulang dari rekaman suara ustadz ketika menjawab pertanyaan ini secara langsung (lisan) -ed.

***

Penanya: Ummu Faiz
Dijawab Oleh: Ustadz Abu Isa

@sumber konsultasisyariah.com

Berteman Dengan Wanita Bukan Mahram

Pertanyaan:

Pak ustadz gimana nih saya berumur tujuh belas tahun, mempuyai seorang sahabat perempuan, sehingga kemana-mana saya terus bareng sama dia hukumnya bagaimana ustadz?

Jawaban:

Untuk Penanya Akhi Abdul Aziz Rahman, Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh. Alhamdulillah. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad. Amma ba’du.

Sebelumnya, kami memohon maaf atas keterlambatan jawaban ini. Saudaraku, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepadamu dan kami, masa muda memang masa yang penuh dengan godaan. Dan godaan yang menimpa kita bersumber dari dua pintu utama: pintu syubhat dan pintu syahwat. Pintu syubhat atau kerancuan pemahaman merupakan jeratan maut yang banyak memakan korban dari kalangan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai pembela agama namun pada hakikatnya mereka terjerumus dalam penyimpangan-penyimpangan akibat kerancuan pemahaman yang merusak kejernihan hati mereka. Sedangkan pintu kedua yang tidak kalah dahsyatnya adalah pintu syahwat atau bujukan hawa nafsu yang juga telah banyak memakan mangsa. Dengan rayuan inilah syaithan menjajah keinginan dan kecintaan kita sehingga saking parahnya ada yang sampai menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, wal iyaadzu billaah. Kita memohon kepada Allah keselamatan dari kedua bahaya ini.

Ketahuilah saudaraku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan bahwasanya: “Kelak pada hari kiamat matahari didekatkan di atas kepala umat manusia dan keringat dosa mereka bercucuran membanjiri dan bahkan ada yang hampir tenggelam di dalam lautan keringatnya sendiri, alangkah teriknya matahari ketika itu. Namun subhanallah, Allah Yang Maha Pemurah memberikan sebuah keistimewaan bagi para pemuda yang tumbuh dalam ketaatan beribadah kepada-Nya, yaitu mereka akan mendapatkan naungan Arsy Allah ta’ala.”

( Hadits shahih itu terdapat di dalam Shahih Bukhori no. 660, 1423, 6479 dan 6806 dari Sahabat Abu Hurairah rodhiallahu ‘anhu yang menceritakan tujuh golongan yang akan memperoleh naungan dari Allah pada hari ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya.)

Demikianlah balasan yang sangat menyejukkan hati kaum beriman. Adakah di antara kita yang ingin mendapatkannya? Maka sudah semestinya kita berlomba-lomba untuk meraih keutamaan yang sangat agung ini. Dan sudah saatnya kita tampil sebagai pemuda yang berani melakukan perbaikan diri dengan rajin mengaji, membaca Al Quran dan mempelajari Sunnah-Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama dalam perkara akidah dan ibadah. Karena dengan akidah yang lurus kita akan terbentengi dari jebakan syubhat. Dan dengan keteguhan dan kesabaran beribadah maka kita akan terbentengi dari jebakan syahwat. Ya, dengan kedua senjata inilah: keyakinan dan kesabaran, seorang pemuda akan bisa tampil di barisan depan menjadi calon-calon pemimpin agama. Allah ta’ala berfirman,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami pun menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan bimbingan perintah Kami karena mereka mau bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah: 24). Ya Allah jadikanlah kami termasuk di antara mereka…

Akhi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Tidaklah aku tinggalkan sesudahku sebuah cobaan yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki dibandingkan (cobaan yang berasal dari) kaum perempuan.” (HR. Bukhari no. 5096 dari Usamah bin Zaid rodhiallahu ‘anhu)

Beliau juga bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian berdua-duaan dengan perempuan kecuali ada mahram yang menyertainya.” (HR. Bukhari no. 5233 dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma)

Beliau juga bersabda tentang shaf yang terbaik bagi kaum lelaki dan kaum wanita di dalam sholat, “Sebaik-baik shaf bagi kaum lelaki adalah yang terdepan dan shaf terjelek bagi mereka adalah yang paling belakang. Sedangkan sebaik-baik shaf bagi perempuan adalah yang paling belakang dan yang terjelek adalah yang terdepan.” (HR. Muslim)

Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu menjaga hubungan antara lelaki dan perempuan, sampai dalam hal barisan sholat mereka pun diusahakan saling berjauhan. Dan demikianlah yang dipahami oleh para Sahabat wanita rodhiallahu ‘anhunna di masa Nabi yaitu tidak diperbolehkan terjadinya berdesak-desakan atau campur baur lelaki dan perempuan. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Ummu Salamah rodhiallahu ‘anha. Beliau mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah selesai mengucapkan salam maka para wanita pun berdiri seketika sesudah selesai membaca salam. Adapun Nabi tetap diam dalam posisinya selama beberapa saat sebelum berdiri.” (HR. Bukhari no. 870). Ummu Salamah mengatakan, “Menurut kami, wallahu a’lam, beliau melakukan hal itu adalah dalam rangka agar kaum wanita segera beranjak pergi sebelum ada lelaki yang berpapasan dengan mereka.” (lihat Nashihati lin Nisaa’, hal. 119). Nah, kalau ketika sholat saja campur baur itu tidak boleh, maka apalagi di luar sholat… Tentunya lebih terlarang!!

Akhi, coba perhatikan sebuah hadits lagi. Pada suatu saat ada seorang wanita yang ingin berangkat haji dan suaminya telah terdaftar untuk mengikuti perang berjihad bersama pasukan kaum muslimin. Ketika si suami mendengar hadits, “Tidaklah boleh seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan kecuali bersama dengan mahramnya.” Maka ia pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri saya ingin berangkat haji sementara saya telah terdaftar untuk ikut berperang dalam pertempuran ini dan itu, lantas bagaimana? Maka beliau menjawab, “Kembalilah kamu dan berangkatlah haji menemani istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi juga bersabda, “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan sepanjang siang dan malam (dalam riwayat lain disebutkan, sepanjang dua hari) kecuali apabila dia ditemani dengan mahramnya.” (HR. Bukhari). Yang dimaksud dengan mahram bagi wanita adalah laki-laki yang telah baligh, yang ia tidak boleh menikah dengan wanita itu selamanya, baik karena nasab (garis keturunan) maupun karena sebab lain, sedangkan anak kecil yang belum baligh tidak memenuhi syarat sebagai mahram (lihat Fatwa-Fatwa untuk Anak Muslim, hal. 193). Allahu akbar! Adakah perlindungan terhadap kaum wanita yang lebih hebat daripada perlindungan yang diberikan oleh syariat Islam?! Karena memang demikianlah kekhususan kaum wanita. Dia adalah sosok yang terhormat dan tidak boleh untuk diobral.

Ibunda ‘Aisyah rodhiallahu ‘anha menceritakan bahwasanya tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak pernah menyentuh tangan kaum wanita bahkan meskipun ketika sedang melakukan bai’at (ikatan janji setia dan taat kepada beliau) (HR. Muslim). Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan, “Sungguh apabila kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan paku dari besi itu lebih baik baginya daripada harus menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, 20/211). Ummu Abdillah Al Wadi’iyah -semoga Allah menjaganya- mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwasanya menyentuh perempuan ajnabiyah (bukan mahram) hukumnya adalah dosa besar dan merupakan celah menuju fitnah.” Imam Asy Syinqithi juga mengatakan, “Dan tak diragukan lagi bahwasanya terjadinya sentuhan antara tubuh dengan tubuh adalah akan mengundang hawa nafsu yang lebih kuat dan lebih keras dalam menyeret ke dalam fitnah daripada sekedar melihat dengan mata. Dan setiap orang yang bijak pasti mengerti kebenaran hal itu.” (Nashihati lin Nisaa’, hal. 123-124).

Oleh karena itulah, wahai saudaraku… tinggalkanlah kebiasaan buruk itu dan bertaubatlah kepada Allah. Karena bepergian bersama perempuan yang bukan mahram kita adalah terlarang dan jelas akan banyak mengundang campur tangan syaithan. Janganlah kau tertipu dengan bujuk rayu syaithan yang mengatakan, “Ah, kalian ‘kan sekedar berteman. Masa’ berteman saja dilarang.” Ketahuilah bahwa Allah dan Rosul-Nya telah memerintahkanmu untuk taat dan patuh kepada Nabi, bukan kepada syaithan.

Allah berfirman,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإِنسَانِ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Yusuf: 5)

Allah juga berfirman,

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ

“Dan apa saja yang dibawa Rasul maka ambillah dan apa saja yang dilarangnya bagi kamu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr: 7)

Allah juga berfirman,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah: Jika engkau mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

Allah juga berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً

“Dan tidaklah pantas bagi lelaki maupun perempuan yang beriman apabila Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara kemudian mereka justru mencari pilihan lain. Dan barang siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

Akhi, kembalilah ke jalan Tuhanmu, dan ingatlah bahwa siksanya sangat pedih. Bertaubatlah dengan ikhlas dengan menyesali perbuatanmu, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, mintalah pertolongan kepada-Nya dan beritahu sahabatmu dengan cara yang baik-baik. Kami nasihatkan supaya antum mencari bacaan majalah-majalah remaja Islami yang bermanfaat seperti El Fata atau Tashfiya untuk mengisi waktu luang antum dan meringankan proses perubahan ini. Semoga hal itu bisa membantu antum untuk memahami ilmu-ilmu syar’i dan kemudian mengamalkannya. Semoga Allah memudahkan berbagai macam kebaikan bagimu; ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan teman-teman yang baik. Dan semoga Allah mengumpulkan kita semua di dalam golongan hamba-hambaNya yang senantiasa bertaubat dan mendapatkan limpahan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sesungguhnya Dia adalah Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Wallaahul musta’aan. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

Dijawab Oleh: Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi (Staf pengajar Ma’had ‘Ilmi)

@sumber konsultasisyariah.com

Seputar Doa Bersama

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum,
Ana ingin minta penjelasan seputar doa bersama yang sering dilakukan sebagian masyarakat kita setelah suatu acara tertentu, baik bersifat keagamaan atau bukan. Bagaimanakah hal tersebut, dan bagaimana sikap kita.
Jazakumullahu khoiron,
Wassalamu’alaikum

Jawaban:

Ibnu Wahdah meriwayatkan dengan sanad sampai ke Abu Utsman An Nahdi, beliau mengatakan: Salah seorang gubernur yang di angkat oleh Khalifah Umar ibnu Khattab berkirim surat kepada khalifah Umar, isi suratnya “Sesungguhnya di sini terdapat sekelompok orang yang berkumpul lantas memanjatkan doa kebaikan untuk kaum muslimin secara umum dan penguasa secara khusus.” Balasan surat dari Khalifah Umar: “Hendaknya engkau menghadapku serta membawa mereka” Setelah gubernur tersebut tiba, khalifah Umar berpesan kepada penjaga rumah beliau untuk menyiapkan cambuk, tatkala mereka menemui khalifah Umar, beliau mencambuki pimpinan kelompok tersebut. Pimpinan kelompok tersebut berkata, “Wahai amirul mu’minin kami bukanlah orang-orang yang di maksud oleh gubernur tersebut, yang dimaksudkan oleh gubernur adalah sekelompok orang yang berasal dari daerah timur.” (Maa jaa fii bida’ karya Ibnu Wahdah hal 54 & Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 8/558 dan sanadnya berderajat hasan. Lihat Adz Dzikir Al Jama’i baina Al-Ittiba’ wal Ibtida’ karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais hal 29).

Dalam hal 16 Dr. Al Khumais berkata, “Termasuk bentuk zikir jama’i yang ada saat ini adalah berkumpulnya banyak orang di suatu masjid karena negeri tersebut telah terjadi bencana. Mereka lalu berdoa kepada Allah secara serempak agar bencana segera berakhir.” Pada akhir pembahasan di hal 54, Dr Muhammad Al Khumais mengatakan, “Jelaslah bahwa zikir jamaah itu tidak memiliki dasar dalam agama Allah, karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi dan para sahabat berzikir dengan berjamaah.” Hal tersebut juga tidak dilakukan oleh salafus shalih bahkan mereka mengingkari orang yang melakukannya.

Tentang hal ini pernah ada orang bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah anda tidak menyukai jika ada sekelompok orang berkumpul untuk berdoa sambil mengangkat tangan?” Jawaban beliau “aku tidak membencinya asalkan berkumpulnya itu tidak dengan sengaja, kecuali mereka berjumlah banyak” (Iqtidha Ash Shirathal Mustaqim 2/630 & Al Amru bittiba’ hal 180. Lihat Qowaid Ma’rifati Bida’ hal 52).

Bisa kita simpulkan dari perkataan Imam Ahmad di atas bahwa doa berjamaah itu di perbolehkan dengan dua persyaratan:
1. Tidak sengaja berkumpul untuk hal tersebut,
2. Orang yang hadir tidak berjumlah besar sehingga orang-orang awam yang mengikutinya mengira bahwa amal ini memiliki keutamaan yang bersifat khusus.

***

Penanya: Abu Ibrahim
Dijawab Oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar

@sumber konsultasisyariah.com

Hukum Membaca Shadaqallahul Azhim

Pertanyaan:

Assalammualaikum…
Mau tanya, apakah ada dalilnya membaca bacaan Shadaqallahul azhim di setiap selesai membaca Al Quran ?

Jawaban:

Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuhu

Pertanyaan saudara merupakan pertanyaan yang pernah diajukan kepada Lajnah Da’imah Saudi Arabia (Komite Fatwa di Saudi Arabia, semacam MUI di Indonesia). Maka kami akan mencukupkan diri dengan membawakan jawaban dari pertanyaan tersebut. Berikut jawaban dari Lajnah Da’imah mengenai pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan anda:

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du.

Ucapan shadaqallahul azhim setelah selesai membaca Al-Qur’an adalah bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, demikian juga para Khulafaur Rasyidin, seluruh sahabat dan para imam Salafus Sholih, padahal mereka banyak membaca Al-Qur’an, sangat memelihara dan mengetahui benar masalahnya. Jadi, mengucapkan dan terus menerus mengucapkannya setiap kali selesai membaca Al-Qur’an adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan.

Diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda:

Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya Allahlah yang mampu memberi petunjuk. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

(Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah, fatwa nomor 3303, disadur dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2 penerbit darul haq)

Kesimpulannya adalah membaca bacaan Shadaqallahul azhim setiap selesai membaca Al Quran tidak ada dalil/tuntunannya dari Nabi dan termasuk perbuatan bid’ah. Wallahu a’lam.

***

Penanya: Dimas Priambada
Dijawab Oleh: Tim muslim.or.id

@sumber konsultasisyariah.com

Haramnya Demonstrasi

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Ustadz, adakah dalil yang dengan tegas mengharamkan demonstrasi? Saya mendengar dari seorang kawan, ada sebuah kisah tentang Umar radiallahu’anhu yang demo, tapi didiamkan saja oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam? Jazakallah khairan atas jawabannya.

Jawaban Ustadz:

Memang ada kisah seperti itu, yaitu saat Umar bin Khattab radiallahu’anhu masuk islam. Beliau radiallahu’anhu berada di barisan depan, sedangkan Hamzah radiallahu’anhu (paman Nabi shallallahu’alaihiwasallam) berada di belakang Umar radiallahu’anhu. Sedangkan kaum muslimin (di kisah tersebut) berjalan di jalan-jalan kota Mekah di belakang keduanya.

Ketahuilah bahwa riwayat tersebut TIDAK SHAHIH, kisah tersebut diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Dalail dan di dalam Hilyah. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Ishaq bin Abdullah bin Abu Farwah, dan beliau dinilai matruk oleh para ulama pakar hadits (Silsilah Fatawa Syar’iyyah 1/14).

Catatan: Keterangan mengenai haramnya demokrasi dan demonstrasi insya Allah akan dibahas dalam artikel khusus. Silahkan melakukan pencarian dengan keywords “demonstrasi” pada website ini.

***

Penanya: Ummu
Dijawab Oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar

@sumber konsultasisyariah.com

Berdakwah Melalui Sarana Cerpen

Pertanyaan:

Assalammu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Ustadz yang dirahmati Allah, Ana mau tanya berhubungan dengan aktifitas dakwah yang selama ini ana dan kawan-kawan jalankan. Apakah cerpen yang isinya dari kisah nyata, koran, cerita kawan, keluarga, konflik sosial, budaya dan lain-lain yang tetap mempunyai nilai-nilai religius termasuk cerita dusta? Bagaiman hukum dakwah yang menggunakan media cerpen tersebut? Karena melihat fenomena remaja sekarang, kalau dakwah kami langsung menggunakan artikel yang bahasanya baku dan kaku serta banyak ayat-ayat dan hadistnya, mereka akan malas membacanya. Salah satu alternatif yang kami pilih adalah menggunakan media cerpen yang bahasanya renyah, gaul, mudah dimengerti, meremaja, ringan dan sudah akrab dengan bacaan mereka. Kebetulan diantara kami ada beberapa yang mempunyai bakat dalam bidang sastra tersebut, sayang kalau disia-siakan, kan bisa mubadzir. Mohon penjelasanya. Syikron, Jazakillah khairon. Wassalammu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Jawaban Ustadz:

Sebagaimana telah diketahui bahwasanya aktifitas dakwah merupakan ibadah yang agung dan juga Allah memerintahkan dan menganjurkannya bahkan menjadikan pelakunya orang yang paling baik ucapannya dan amalnya.

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Al-Fushshilat: 33)

Maknanya:
Tidak ada seorang pun yang lebih baik ucapanya dari orang yang menyeru di jalan Allah, mengamalkan apa yang dia serukan dan terang-terangan mengatakan bahwasanya dia termasuk orang-orang yang berserah diri. Dan banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang menjelaskan tentang kewajiban berdakwah dan keutamaannya yang semua ini menunjukkan bahwa aktifitas dakwah adalah suatu ibadah yang agung. Maka sebagaimana yang ma’ruf (dikenal -ed) di kalangan ahlul ilmi, suatu ibadah tidaklah diterima di sisi Allah kecuali terkumpul padanya dua syarat:

Syarat pertama:

Ikhlas karena Allah, dengan dalil firman-Nya, yang artinya:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)

Dan syarat ke dua:

Sesuai dengan tuntunan dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dengan dalil sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang artinya:

“Barangsiapa beramal denga suatu yang yang tidak ada perintah dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhori)

dan ini sesuai dengan makna dari firman Allah subhanahuwata’ala:

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk: 2)

Yang ditafsirkan oleh Fudhail bin Iyadh makna yang lebih baik amalnya yaitu: yang lebih ikhlas dan lebih tepat dengan tuntunan Nabi. Maka beranjak dari sini, ketika kita memulai aktifitas dakwah haruslah kita bertanya, apakah dakwah kita ikhlas karena Allah atau sesuaikah dakwah kita dengan yang digariskan oleh Nabi kita shollallahu’alaihiwasallam, baik itu kaifiyyah-nya, metodenya atau wasilah-nya/medianya, tempat ini bukan tempat untuk berijtihad dengan mereka-reka kaifiyyah dakwah, metodenya ataupun medianya, harus sesuai dengan syariat dan tuntunannya, karena seluruh bagian dari agama kita telah sempurna tanpa memerlukan lagi tambahan ataupun pengurangan, sehingga dalam masalah kaifiyyah dakwah, metodenya ataupun medianya itu pun sudah jelas, tidak mungkin hal ini diserahkan kepada kita untuk mengada-ngadakannya atau membuat-buatnya, maka ana nasehatkan kepada al-akh untuk kembali mempelajari kitab-kitab para ulama’ yang menjelaskan tentang masalah ini secara mendetail seperti kitab karya Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkholi yang berjudul “Manhaj Dakwah Ilallah fihi Al-Hikmah wal Al-Aql” dan juga membekali dirinya dengan Ilmu-ilmu syar’i, karena ini merupakan bekal yang utama dan pertama bagi seorang da’i ilallah, kalau menghendaki dakwahnya menjadi dakwah yang benar di atas dasar Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman generasi salaful-ummah serta memberikan buah yang berbarokah dan diterima di sisi-Nya. Wallahu a’lam.

***

Penanya: Alaik
Dijawab Oleh: Ustadz Abu Sa’ad

@sumber konsultasisyariah.com

Membaiat Imam

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya ingin menanyakan mengenai dalil-dalil yang berhubungan dengan membai’at imam. Apakah benar bahwa tidak syah islam seseorang tanpa membaiat seorang imam. Bahkan, Bukhori pun berbaiat pada imam di zamannya. Jaza kallohu khoiron.

Jawaban Ustadz:

Nabi bersabda:
“Barang siapa yang meninggal dunia dan di lehernya tidak ada ikatan bai’at maka orang tersebut mati jahiliyah.” (HR. Muslim no. 1850)

“Demikian ini karena orang jahiliyah adalah orang yang tidak tertata dalam artian mereka tidak mau tunduk kepada penguasa tertentu. Inilah kondisi di masa Jahiliyah.” (Syarah Masail Jahiliyah, Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 14).

Jelaslah bahwa Hadits tersebut TIDAK menunjukkan bahwa orang yang tidak punya ikatan bai’at itu kafir, akan tetapi orang tersebut mati dalam kondisi berbuat maksiat.

Akan tetapi, penguasa yang berhak untuk dibai’at adalah penguasa yang sebenarnya yang punya kekuasaan dan kedaulatan yang nyata (bukan penguasa bawah tanah).

Ibnu Taimiyah mengatakan “Nabi hanya memerintahkan untuk ta’at kepada penguasa yang dikenal dan memiliki kekuasaan sehingga bias mengatur urusan banyak orang. Tidak ada kewajiban taat terhadap orang yang tidak ada dan tidak dikenal, serta tidak ada kewajiban taat terhadap orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan dan kekuasaan.” (Minhaj Sunnah Nabawiyah 1/115).

***

Penanya: Iwan
Dijawab Oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar

Penjelasan Hadits Adab & Akhlaq Bulughul Maram: (7) Adab-Adab Bermajelis

Hadits 5 : Adab-Adab Bermajelis

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : “لاَ يُقِيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ، وَلَكِنْ تَفَسَّحُوْا وَتَوَسَّعُوْا.” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu Ta’ālā ‘anhumā beliau berkata: Rasūlullāh  bersabda: “Janganlah seseorang memberdirikan saudaranya dari tempat duduknya kemudian dia gantikan posisi tempat duduk saudaranya tersebut, akan tetapi hendaknya mereka melapangkan dan merenggangkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Al-Hāfizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Imām Muslim.”

Hadits ini kembali menjelaskan kepada kita tentang agungnya Islam. Bahwasanya Islam mengajarkan berbagai macam adab, sampai kepada adab terhadap perkara-perkara yang dianggap sepele, seperti adab bermajelis yang ternyata diatur dalam Islam.

Dalam hadits ini diajarkan dua adab kepada kita, yaitu sebagai berikut.

Adab pertama, yaitu adab yang berkaitan dengan orang yang datang terlambat di majelis.

Berdasarkan hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa orang  yang datang terlambat hadir di suatu majelis hendaknya duduk di tempat yang ia dapatkan/tempat yang masih kosong dan dia harus rela mendapatkan tempat yang bagaimana pun keadaannya karena dia memang datang terlambat.

Jika seseorang datang terlambat, maka tempat duduk yang ia peroleh itulah yang harus ia terima. Tidak boleh baginya memaksakan diri untuk mendapatkan tempat yang  baik dengan melewati orang-orang yang terlebih dahulu datang atau dengan cara menyuruh orang lain berpindah dari tempat duduknya untuk ditempati.

Hal seperti itu dilarang di dalam Islam karena menunjukkan keangkuhan dan egoisme. Islam melarang sikap angkuh dan egois, Islam mengajarkan sikap tawādhū’ serta menghormati orang lain. Karena itu, kalau kita datang terlambat dan saudara-saudara kita telah lebih dahulu datang, maka kita tidak berhak untuk memintanya berpindah dari tempat yang ia tempati untuk kemudian kita tempati atau melangkahi mereka agar kita mendapatkan tempat yang sesuai dengan keinginan kita.

Karena itu, perbuatan seperti di atas sangat dicela di dalam islam meskipun dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan, kehormatan, dan kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Maka, bukanlah hal yang sopan dan beradab apabila seseorang -meskipun memiliki kedudukan, kehormatan, dan kekayaan- terlambat menghadiri shalat lima waktu, shalat Jumat, shalat Ied, atau menghadiri majelis lain kemudian mereka memaksakan diri untuk mendapatkan tempat terbaik dengan cara melompati pundak-pundak orang yang lebih dahulu hadir atau menyuruh mereka bergeser untuk diambil tempatnya. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap adab mulia yang diajarkan Islam dan bentuk jauhnya seseorang dari sikap  tawaddu’.

Adab kedua, berkaitan dengan orang-orang yang sudah terlanjur lebih dahulu duduk.

Berbeda dengan adab pertama yang harus dipegang oleh orang yang terlambat hadir dalam majelis, adab yang kedua ini hendaknya dipegang oleh mereka yang sudah terlebih dahulu hadir di majelis dan telah mengambil tempat duduk. Adab bagi mereka yang telah hadir terlebih dahulu berbeda dengan yang datang terlambat dan hal ini merupakan bentuk keseimbangan di dalam Islam sekaligus bentuk kemudahan bagi setiap yang hadir di majelis.  

Kalau bagi yang terlambat hadir di majelis dilarang untuk melompati pundak-pundak dan menyuruh pindah orang yang telah hadir terlebih dahulu  di majelis, sebaliknya bagi orang yang telah hadir terlebih dahulu di majelis dianjurkan untuk melapangkan majelis bagi mereka yang baru datang. Hal ini sesuai dengan firman Allāh dalam Al-Qurān. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika dikatakan kepada kalian lapangkanlah/renggangkanlah majelis kalian, maka renggangkanlah/lapangkanlah majelis kalian, niscaya Allāh akan beri kelapangan pada kalian.” (QS. Al-Mujādilah: 11)

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa jika orang-orang yang telah hadir di suatu majelis melihat saudaranya datang terlambat ke majelis, hendaknya ia segera melapangkan dan memberikan tempat kepadanya agar ia bisa duduk di dalam majelis tersebut bersama-sama dengan saudara-saudaranya yang lain yang telah lebih dahulu hadir di majelis tersebut.

Berdasarkan ayat ini pula diperintahkan kepada orang yang lebih dahulu hadir di suatu majelis, jika dikatakan kepadanya, “Yā ikhwān, tafassahū, tolong berikan saya tempat, tolong berikan saya tempat,” maka hendaklah ia memperhatikan permintaan saudaranya tersebut dan memenuhinya sebagaimana perintah Allāh tadi,

إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ

“Jika dikatakan kepada kalian lapangkanlah/renggangkanlah maka lakukanlah, maka niscaya Allāh akan berikan kelapangan pada kalian.”

Orang-orang yang terlebih dahulu hadir di suatu majelis, hendaknya berusaha memberikan tempat kepada saudaranya. Hal ini menunjukkan sikap saling cinta kasih di antara sesama muslim. Orang yang hadir terlebih dahulu di majelis ingin agar saudaranya juga dapat menghadiri majelis dan mendapatkan kebaikan sebagaimana ia juga ingin mendapatkan kebaikan dari majelis itu untuk dirinya sendiri. Dia juga tidak ingin menyakiti hati saudaranya dengan mempersulitnya menghadiri majelis. Karena itu dia memberikan kesempatan kepada saudaranya untuk ikut dalam majelis tersebut dengan melapangkan tempat untuknya. Demikianlah indahnya akhlak dan adab dalam bermajelis yang dituntunkan oleh Islam.

Para ulama menyebutkan bahwa majelis yang dimaksud dalam hadits ini adalah majelis umum yang berkaitan dengan kebaikan. Dengan demikian termasuk di dalamnya adalah majelis dzikir, majelis ilmu, majelis pengajian, majelis shalat Jum’at, dan sejenisnya. Bahkan Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini berlaku umum termasuk tidak boleh mengambil posisi shaf orang lain. Jika di shaf pertama ada anak kecil, lalu ada orang dewasa yang terlambat datang maka tidak boleh bagi orang dewasa tersebut menyuruh anak kecil tersebut mundur untuk menggantikan posisinya. (Syarah Riyad as-Shalihin 4/350)

Mungkin timbul suatu pertanyaan, bagaimana jika ada seorang ustadz atau orang yang dihormati hadir terlambat dalam majelis, kemudian muridnya atau orang-orang yang telah hadir merasa tidak enak dengan ustadz atau orang terhormat tersebut, kemudian ia berdiri dan mempersilakan ustadz atau orang terhormat tadi untuk duduk di tempatnya. Apakah yang harus dilakukan oleh si ustadz atau orang yang dihormati tersebut? Bolehkah ia duduk menggantikan tempat muridnya tersebut?

Maka jawabannya adalah, Min bābil warā (kalau kita warā), maka hendaknya ia tidak mengambil tempat duduk yang ditawarkan tersebut meskipun ia tahu bahwa hal itu dilakukan oleh murid tersebut semata-mata untuk menghormatinya. Hal ini adalah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh shahābat Ibnu ‘Umar .

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا قَامَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ مَجْلِسِهِ لَمْ يَجْلِسْ فِيْهِ

“Ibnu Umar jika ada seseorang yang berdiri mempersilahkan tempat duduknya kepada beliau maka beliau tidak duduk di tempat tersebut” (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod No. 1153)

Ibnu ‘Umar  jika datang terlambat di majelis, maka orang-orang berdiri dan meminta beliau agar duduk di posisi mereka karena rasa hormat mereka terhadap Ibnu ‘Umar .  Meskipun demikian, Ibnu ‘Umar tidak mau mengambil tempat duduk mereka. Hal ini disebabkan oleh sikap wara’ beliau. Beliau tidak ingin mengambil hak orang lain meskipun orang lain itu merelakannya karena menghormati beliau.  

Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Semua ini dilakukan oleh Ibnu Umar karena wara’ beliau. Beliau khawatir orang lain tersebut melakukannya karena malu atau karena tidak enak. Dan telah diketahui bersama bahwasanya jika ada seseorang yang memberikan hadiah kepadamu atau memberikan sesuatu kepadamu karena malu atau tidak enak maka janganlah engkau menerimanya, karena orang ini hukumnya seperti orang yang mukroh (yang terpaksa). Oleh karenanya para ulama rahimahumullah berkata haram bagimu menerima hadiah jika engkau mengetahui bahwasanya ia memberikan hadiah kepadamu karena malu atau tidak enak. Termasuk dalam hal ini, jika engkau melewati rumah seseorang dan penghuni rumahnya ada lalu ia berkata, “Silahkan mampir” dan engkau mengetahui bahwa ia mengatakan demikian karena malu dan tidak enak, maka janganlah engkau mampir di rumahnya, karena hukum penghuni rumah tersebut seperti orang yang mukroh/terpaksa” (Syarah Riyad as-Shalihin 4/350-351)

Demikianlah adab yang seharusnya kita terlambat datang di suatu majelis kemudian ada orang yang berdiri mempersilahkan kita mengambil posisinya, kita menolak karena kita tidak ingin mengambil hak orang lain.  Namun jika kita khawatir hal itu akan menyinggung perasaan orang yang menawarkan tempatnya tersebut atau kita ingin menyenangkan hatinya, maka tidak mengapa jika kita mengambil tempat duduk yang ia tawarkan kepada kita. Sedangkan jika orang tersebut menawarkan tempatnya kepada kita hanya sekedar karena ia merasa malu, maka tidak boleh kita mengambil haknya.

 

Jakarta, 14-10-1438 H / 08-07-2017
Abu Abdil Muhsin Firanda

@sumber Firanda.com

Penjelasan Hadits Adab & Akhlaq Bulughul Maram: (6) Larangan Berbisik Antara Dua Orang ketika Sedang Bertiga

Hadits 4 Larangan Berbisik Antara Dua Orang ketika Sedang Bertiga

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ – رضي الله عنه -قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم:  «إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً, فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ, حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ ». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ.

Dari Ibnu Mas’ūd  beliau berkata: Rasūlullāh  bersabda, “Jika kalian bertiga, maka janganlah dua orang berbicara/berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, sampai kalian bercampur dengan manusia. Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih.” (HR. Imām Bukhāri dan Imām Muslim dan lafazhnya adalah terdapat dalam Shahīh Muslim).

Hadits yang mulia ini menunjukkan salah satu sisi keagungan Islam. Hadits ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur segala hal sampai pada hal-hal yang bahkan dianggap sepele, seperti adab makan, adab minum, dan lain-lain, termasuk di antaranya adab bergaul.

Hadist ini mengajarkan adab dan kesopanan tingkat tinggi di mana jika tiga orang sedang berkumpul, jangan sampai dua orang di antaranya berbisik-bisik dengan mengabaikan orang ketiga.  Mengapa demikian? Nabi  menjelaskan,

مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُه

“Karena perbuatan ini bisa menjadikan orang yang ketiga bersedih.”

Dalam situasi yang demikian, di mana ada tiga orang berkumpul, sementara dua orang saling berbisik tanpa diketahui oleh orang ketiga apa yang dibicarakan, akan menimbulkan berbagai perasaan yang tidak mengenakkan bagi orang ketiga. Bisa jadi timbul rasa sedih dalam dirinya, kenapa dia tidak diajak bicara, kenapa pembicaraan itu dirahasiakan dari dirinya, dan berbagai pertanyaan lain.  Hal yang demikian ini sangat diperhatikan dalam Islam. Islam mengajarkan agar seorang muslim menjaga perasaan saudaranya dan tidak menyakiti serta membuatnya bersedih.

Selain menimbulkan perasaan sedih, berbisik-bisik seperti itu juga dapat menimbulkan berbagai prasangka atau sū-uzhan (persangkaan-persangkaan yang buruk). Bisa jadi orang ketiga itu berpikir bahwa dua saudaranya sedang  mengghībahi dirinya, menggosip tentang dirinya, atau bahkan sedang menjelek-jelekkannya. Timbullah persangkaan-persangkaan yang didiktekan setan kepada orang ketiga itu.

Oleh karenanya, Allāh sampai menyebutkan dalam Al-Qurān permasalahan ini. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman dalam surat Al-Mujādalah ayat yang ke-10:

إِنَّمَا النَّجْوٰى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا

“Sesungguhnya najwā (berbisik-bisik) itu dari syaithān untuk menjadikan orang-orang yang beriman bersedih.”

Mengingat akibatnya yang tidak baik, maka berbisik-bisik antara dua orang ketika sedang bertiga sangat dilarang. Berbisik-bisik hanya boleh dilakukan jika dalam suasana banyak orang sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah .

Nabi  bersabda,

حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ

“Sampai kalian bercampur (berbaur) dengan manusia.”

Kalau dalam suasana berkumpul banyak orang, maka tidak masalah dua orang berbicara sendiri, sementara yang lain bisa berbicara pula dengan orang lain lagi. Sehingga, tidak ada orang yang merasa didiamkan atau tidak diajak mengobrol oleh saudaranya.

Namun jika berkumpul beberapa orang, kemudian mereka mengobrol dengan meninggalkan salah satunya, maka dianggap masih melanggar hadis ini. Karena menurut para ulama,  meskipun pada lafal hadits disebutkan “Jika kalian bertiga kemudian dua orang ngobrol dan satunya tidak diajak”, namun maknanya juga mencakup jumlah yang lebih dari itu.  Misalnya, ada empat orang yang tiga orang di antaranya saling mengobrol, sedangkan salah seorang di antara mereka tidak diajak, didiamkan, atau saling berbisik di antara mereka bertiga saja, maka hal ini juga termasuk dalam hadits ini. Hal ini juga dilarang karena bisa menimbulkan kesedihan bagi orang yang keempat. Demikian pula jika ada lima orang, kemudian empat orang di antaranya mengobrol sendiri dengan meninggalkan orang kelima, maka hal ini juga dilarang karena menyedihkan orang yang kelima dan seterusnya.

Karena ‘illah (sebab larangan) dari hadits ini adalah jangan sampai membuat sedih orang yang tidak diajak berbicara dan jangan  sampai timbul persangkaan-persangkaan yang buruk dalam diri orang tersebut, maka  para ulama menyebutkan bentuk najwā yang terlarang lainnya. Yaitu, jika ada tiga orang, kemudian dua orang di antaranya berbicara dengan bahasa yang tidak dipahami oleh orang ketiga, maka ini pun dilarang. Meskipun kedua orang tersebut tidak berbisik-bisik, atau berbicara berdua tanpa meninggalkan yang ketiga, namun pembicaraan mereka dengan bahasa yang tidak dipahami oleh orang ketiga itu juga bisa menyakitkan hati, membuat sedih orang ketiga, dan menimbulkan sangkaan yang bermacam-macam.

Karenanya, hal itu juga tidak diperbolehkan oleh para ulama. Menurut para ulama, hal itu  hukumnya sama, seakan-akan dia didiamkan dan tidak tidak diajak berbicara. Kalau memang diajak berbicara, mengapa dengan bahasa yang tidak dipahami olehnya?  Hal itu tetap saja akan membuatnya sedih, merasa ditinggalkan dalam pembicaraan, atau merasa yang dibicarakan itu adalah  suatu rahasia yang berkaitan dengan dirinya, atau sangkaan-sangkaan lain yang bisa jadi didiktekan setan kepadanya. Oleh karenanya, lihatlah indahnya Islam yang memperhatikan hal-hal detail dalam pergaulan seperti ini.

Sebenarnya hadits ini hanyalah sekedar contoh di mana seorang muslim diajarkan bagaimana bergaul dengan baik sehingga tidak membuat saudaranya bersedih dan membuatnya merasa dihargai serta dijaga perasaannya. Jika membuat sedih dan menyakiti saudara muslim dengan sikap bergaul yang demikian saja dilarang, maka lebih terlarang lagi jika sampai menyakiti sesama muslim dengan perkataan dan perbuatan.

Coba perhatikan sekali lagi, najwā yang disebutkan dalam hadits ini tidak berkaitan dengan perkataan yang terucap atau perbuatan yang jelas-jelas menimbulkan rasa sakit, tapi berkaitan dengan sikap, yaitu sikap dua orang yang berbisik-bisik sehingga apa yang dibicarakan tidak diketahui oleh orang ketiga yang hadir di situ.  Jika hal seperti ini saja dilarang, apalagi menyakiti atau membuat sedih dengan perkataan dan perbuatan.

Pelajaran lain dari hadits ini adalah bahwa seorang muslim dituntut untuk jangan sampai menimbulkan persangkaan-persangkaan yang buruk dalam diri saudaranya dan sahabatnya.

Jakarta, 15-08-1438 H / 11-05-2017
Abu Abdil Muhsin Firanda

@sumber Firanda.com

Penjelasan Hadits Adab & Akhlaq Bulughul Maram: (5) Hakikat Hakikat Kebajikan dan Dosa

وَعَنِ النَّوَّاسِ ابْنِ سَمْعَانَ رضي اللّه عنه قَالَ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللّهِ صلّى اللّه عليه وسلّم عَنِ الْبِرِّ وَ اْلأِثْمِ فَقَالَ اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَ اْلأِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاس

Dari sahabat Nawwas bin Sam’an  beliau berkata, Aku bertanya kepada Rasūlullāh  tentang makna Al-Birr (yaitu kebajikan) dan itsm (yaitu dosa) -Apa itu kebajikan? Dan apa itu dosa?- Maka Rasūlullāh  berkata, “Al-birr (kebajikan) adalah akhlak yang mulia. Adapun dosa yaitu apa yang engkau gelisahkan di hatimu dan engkau tidak suka kalau ada orang yang mengetahuinya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim)

Pembaca dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Sahabat ini bertanya kepada Nabi  tentunya agar dia bisa beramal. Demikianlah seharusnya adab seorang yang bertanya, yaitu ketika dia belajar hendaknya diniatkan untuk diamalkan. Selain itu, apa yang ditanyakan oleh sahabat ini adalah pertanyaan yang sangat indah, yaitu tentang apa hakikat kebajikan dan apa hakikat dosa?

Adapun jawaban Nabi  yang berkaitan dengan hakikat kebajikan, beliau  berkata, “husnul khuluq (akhlaq yang mulia).”

Kita tahu bahwasanya kebajikan itu mencakup perkara yang sangat banyak. Semua kebaikan adalah kebajikan. Tetapi mengapa Rasūlullāh  mengkhususkan penyebutan husnul khuluq (akhlaq yang mulia)? Hal ini tidak lain adalah untuk menunjukkan keutamaan dan keistimewaan akhlak yang mulia. Sabda Nabi  ini mirip seperti sabda Nabi ,

الْحَجُّ عَرَفَةُ

“Haji adalah (wukuf di) padang Arofah.” (HR. At-Tirmidzi no. 889, Ibnu Maajah no. 3.006, An-Nasaa’i no. 3.016, dan Ahmad no. 18.774, dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Hadits ini bermakna inti dari ibadah haji adalah wukuf di padang Arofah. Jadi, bukan berarti haji itu cuma wukuf di padang Arofah saja. Tetapi ada juga yang namanya thowaf, ada namanya sa’i, ada namanya ihram, dan ada namanya ibadah-ibadah yang lain (lempar jamarat, mabit di Mina, mabit di Muzdalifah) yang kesemuanya merupakan rangkaian ibadah haji. Adapun Nabi  mengkhususkan penyebutan wukuf di padang Arofah adalah karena hal ini merupakan inti dari ibadah haji.

Sama halnya seperti ungkapan al-birru husnul khuluq (kebajikan adalah akhlak yang mulia). Artinya, akhlak mulia memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Oleh karenanya, kalau kita ingin melihat dalil-dalil tentang akhlak yang mulia, kita akan menjumpai dalil-dalil yang sangat banyak.

Misalnya sabda Nabi ,

لَيْسَ شَيْءٌ أَثْقَلَ فِي الْمِيزَانِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ

“Tidak ada suatu yang lebih berat daripada akhlak yang mulia dalam timbangan (pada hari kiamat).” (HR. Ahmad no. 27.532 dan dishahihkan oleh Al-Albani Shahihul Jaami’ no. 5.390)

Hadits ini menunjukkan  bahwa akhlak mulia yang dimiliki oleh seseorang akan berpengaruh besar terhadab timbangan kebajikannya di akhirat kelak. Akhlak mulia itu akan memperberat timbangan kebajikan secara signifikan.

Contoh lainnya adalah Nabi  mengatakan dalam haditsnya,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ، دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

“Sesungguhnya seorang dengan akhlaknya yang mulia bisa meraih derajat orang yang senantiasa berpuasa sunnah dan senantiasa shalat malam.” (HR. Ahmad no. 25.537, hadits shahih)

 
Perhatikan hadits ini! Seseorang mungkin saja jarang shalat malam dan jarang berpuasa sunnah. Tetapi ia memiliki akhlak yang mulia, orang senang dekat dengannya, orang bahagia duduk bersamanya, orang senang mendengar wejangan-wejangannya, dan orang senang mendapatkan bantuannya. Maka, meskipun dia jarang shalat malam dan jarang berpuasa sunnah, namun dia mendapat pahala sama atau bahkan lebih dari orang-orang yang sering shalat malam dan berpuasa sunnah. Mengapa demikian? Jawabannya, Bihusni khuluqihi, yaitu karena akhlaknya yang mulia.

Perhatikan pula sabda Nabi ,

أَقْربكمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحاسنكمْ أَخْلَاقًا

“Orang yang paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 791)

 

Berdasarkan hadits ini, jika seseorang ingin dekat dengan Nabi  pada hari kiamat, maka ia harus memperbaiki akhlaknya. Karena Rasūlullāh  mengatakan bahwa yang paling dekat dengan Beliau di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.

Ini menunjukkan keutamaan dan keistimewaan akhkak yang mulia. Dia adalah amalan yang spesial. Dengan demikian, janganlah kita menyangka bahwa amalan itu hanyalah shalat, puasa, zakat, dan amal ibadah mahdhah lainnya, tetapi akhlak yang mulia juga merupakan amalan yang sangat spesial dan sangat mulia di sisi Nabi .

Karena itu, hendaknya seseorang berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Janganlah ia mengatakan,

“Saya tidak bisa mengubah akhlak saya.”

“Saya memang begini modelnya.”

“Saya diciptakan begini modelnya, tabiat saya memang seperti ini.”

dan kalimat-kalimat lain semacamnya.

Ketahuilah, seandainya akhlak tidak bisa diubah, lalu untuk apa hadits-hadits tentang akhlak mulia yang sedemikian banyak? Untuk apa Allah menurunkan ayat-ayat yang memotivasi orang-orang untuk berakhlak mulia?

Semua ayat dan hadits yang memotivasi seseorang untuk berakhlak mulia itu menunjukkan bahwa akhlak bisa diubah. Seorang yang pelit bisa jadi dermawan. Seorang pemarah bisa jadi penyabar, dan seterusnya. Karena itu, jangan sampai seseorang mengatakan,

“Saya memang suka marah”,

“Saya memang temperamental.”

“Saya begini tipenya.”

Jangan!

Ketahuilah, bahwa setiap orang bisa mengubah akhlaknya. Ia bisa berlatih dan membiasakan diri agar menjadi orang yang baik akhlaknya. Oleh karenanya, dalam hadits Rasūlullāh  mengatakan,

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقَهُ

“Aku menjamin istana di bagian atas surga bagi orang yang terindah akhlaknya.”

Dalam riwayat lain,

لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقُهُ

“Bagi orang yang memperindah akhlaknya.”

Menurut kedua hadis ini, akhlak yang mulia itu bisa diperoleh, bisa diraih.

Dalam hadits lain Rasūlullāh  bersabda,

مَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ الله

“Barangsiapa yang berusaha bersabar, maka Allah akan jadikan dia penyabar.” (HR. Al-Bukhari no. 1.469)

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang pemarah bisa jadi penyabar. Karenanya para pembaca yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, hendaknya kita senantiasa memperbaiki diri dan membiasakan diri dengan akhlak-akhlak yang mulia agar kita bisa mendapatkan keutamaan yang banyak sebagaimana disebutkan pada hadits-hadits di atas.

Jadi akhlak itu ada yang bawaan dan ada yang bisa diusahakan. Nabi berkata kepada Asyaj :

يَا أَشَجُّ، إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ وَرَسُولُهُ: الْحِلْمَ وَالْأَنَاةَ ” فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا تَخَلَّقْتُهُمَا، أَوْ جَبَلَنِي اللهُ عَلَيْهِمَا؟ قَالَ: ” بَلِ اللهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا “. قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَبَلَنِي عَلَى خُلُقَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ وَرَسُولُهُ

“Wahai Asyaj, sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang dicintai oleh Allah dan RasulNya, yaitu kecerdasan dan tidak tergesa-gesa”. Asyaj berkata, “Ya Rasulullah, apakah kedua perangai tersebut aku mengusahakannya ataukah Allah yang telah memfitrahkannya kepadaku?”. Nabi berkata, “Allah telah memfitrahkanmu di atas kedua perangai tersebut”. Asyaj berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memfitrahkan aku diatas dua perangai yang dicintai oleh Allah dan RasulNya” (HR Ahmad 39/490 dan asalnya HR Muslim No. 17)

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْخُلُقَ قَدْ يَحْصُلُ بِالتَّخَلُّقِ وَالتَّكَلُّفِ

“Pada hadits ini ada dalil bahawasanya akhlak bisa diperoleh dengan usaha dan kesungguhan” (Zaadul Ma’aad 3/532)

Namun untuk meraih akhlak memang butuh perjuangan karena memang sulit, Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :

فَإِنَّ أَصْعَبَ مَا عَلَى الطَّبِيعَةِ الْإِنْسَانِيَّةِ: تَغْيِيرُ الْأَخْلَاقِ الَّتِي طُبِعَتِ النُّفُوسُ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya perkara yang sangat sulit atas tabi’at manusia adalah mengubah akhlak yang sudah merupakan tabi’atnya” (Madaarijus Saalikin 2/297)

Para ulama menyebutkan di antara akhlak mulia adalah sebagaimana perkataan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah,

حَقِيْقَةُ حُسْنُ الْخُلُقِ بَذْلُ المَعرُوْفِ  وَكَفُّ الأَذَى وطَلاَقَةُ الوَجْهِ

“Hakikat akhlak mulia adalah mudah berbuat baik kepada orang lain, tidak mengganggu orang lain, dan  wajah yang sering berseri-seri karena murah senyum.” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim karya An-Nawawi 15/78)

Dari perkataan ini, kita dapatkan tiga rukun akhlak, yaitu:

Wajah yang berseri-seri, murah senyum kepada orang lain, tidak merendahkan, dan tidak menghinakan orang lain.

Ringan tangan untuk membantu orang lain.

Tidak mengganggu orang lain.

Selanjutnya Nabi  bersabda tentang dosa,

وَاْلأِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

“Dosa adalah apa yang menggelisahkan engkau di hatimu. Dan engkau tidak suka jika orang-orang melihat kau melakukannya.”

 
Hadits ini menjelaskan tentang barometer untuk mengenal dosa. Tentunya, dosa-dosa adalah melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Untuk mengenal dosa, kita bisa melihat dengan mempelajari Al-Qurān dan sunnah-sunnah Nabi . Apa yang dilarang oleh Allāh dalam Al-Qurān maka itu adalah dosa dan apa yang dilarang oleh Nabi  dalam hadits-haditsnya maka itu adalah dosa.

Namun terkadang, ada perkara yang kita lakukan yang kita tidak sempat melihat/mengecek dalilnya atau kita tidak tahu dalilnya. Maka tatkala kita hendak melakukannya muncul kegelisahan dalam dada kita dan muncul ketidaktenangan dalam hati kita, itulah ciri dosa.

Karena dalam hadits ini Rasūlullāh  menyebutkan barometer dan indikator untuk mengenal dosa, beliau menyebutkan 2 ciri, yaitu menjadikan dadamu gelisah, dan engkau tidak suka untuk dilihat oleh orang lain.

Kalau anda melakukan suatu perkara kemudian anda merasa tenang, hati tidak merasa gelisah dan kalau orang lain tahu pun tidak jadi mengapa, maka ini bukan dosa. Tapi tatkala anda melakukan sesuatu, kemudian ternyata hati anda gelisah atau tidak tenang dan tidak ingin orang lain (tetangga/sahabat/ istri atau ustadz kita) tahu, maka ini merupakan ciri dosa, maka berhati-hatilah. Dan sebaiknya kita meninggalkan perkara yang menimbulkan ketidaktenangan tersebut.

Para ulama mengingatkan bahwa hadits ini berkaitan dengan orang yang hatinya masih sesuai dengan fitrah, bukan orang-orang yang fitrahnya sudah rusak, yang membanggakan kemaksiatan-kemaksiatan yang mereka lakukan tanpa merasa malu dan berdosa. Hadits ini juga tidak berlaku bagi orang-orang berikut ini.

orang-orang yang memamerkan aurat mereka,

orang-orang yang minum khamr di hadapan banyak orang,

orang-orang yang bangga dengan kejahatan-kejahatan/maksiat-maksiat yang mereka lakukan,

orang-orang yang mengambil gambar diri mereka ketika sedang bermaksiat, seperti sedang berzina, lalu mereka sebarkan  luaskan di dunia maya.

Terhadap mereka semua ini, hadits ini tidak berlaku karena karena fitrah mereka telah rusak.

Dengan demikian hadits ini berlaku bagi orang-orang yang masih punya rasa malu, yang fitrahnya masih baik. Bagi orang-orang seperti ini, mereka dapat mengenal dosa atau tidak dengan 2 ciri/indikator yang disebutkan, yaitu hatinya tidak tenang dan dia tidak suka kalau ada orang yang melihatnya.

Oleh karenanya, sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwasanya dosa itu pasti mendatangkan kegelisahan. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla pasti dia gelisah, pasti dia tidak tenang.  Hal ini berkebalikan dengan orang-orang yang mengingat Allāh, sebagaimana disebutkan oleh Allah,

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan mengingat Allāh maka hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’du: 28)

 

Jika mengingat Allah hati menjadi tenang, maka sebaliknya orang yang lupa kepada Allah dan bermaksiat kepada Allāh pasti hatinya gelisah dan gundah gulana, tidak tenang, dan tidak tentram sampai dia bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjauhkan kita dari segala dosa. Dan semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang tawwābīn, yaitu hamba yang jika berdosa segera bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Jakarta, 09-08-1438 H / 05-05-2017
Abu Abdil Muhsin Firanda

@sumber Firanda.com