Allâh memberkati dan mengagungkan hari dan tanah kelahiran para nabi. Lihatlah keterangan dalam hadits yang mengaitkan kemuliaan hari Jum’at dengan kelahiran Nabi Adam, dan lain lain. maka apalagi dengan hari kelahiran Rasûlullâh. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai umat Rasûlullâh memuliakan hari kelahirannya.
Jawaban:
Kebatilan syubhat di atas ditinjau dari beberapa sisi, adalah sebagai berikut:
Pertama. Pernyataan bahwa Allâh memberkati dan mengagungkan hari dan tanah kelahiran para nabi.
Kemungkingan yang mereka maksud ialah seperti disebutkan dalam firman Allâh Ta’ala yang mengagungkan maqom Ibrahim Alaihissallam dan perintah untuk menjadikannya sebagai tempat shalat. Firman Allâh Ta’ala:
وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
Dan jadikanlah maqom (bekas telapak kaki) Ibrahim sebagai tempat shalat. [al-Baqarah/2:125].
Akan tetapi perlu diketahui, bahwa dalil pengambilan landasan ibadah dan ketaatan adalah dari al-Qur`ân dan Sunnah, bukan pendapat dan perasaan atau mengada-adakan perkara yang baru. Sehingga sesuatu atau tempat atau waktu yang diagungkan oleh Allâh dan Rasul-Nya, maka kita wajib juga untuk mengagungkannya; jika tidak, maka seseorang juga dilarang untuk mengagungkan hal itu. Adapun maqom Nabi Ibrahim Alaihissallam, sungguh tidak diragukan bahwa Allâh telah mengagungkannya dan memerintahkan untuk menjadi tempat shalat, dan Allâh tidak memerintahkan untuk memperingati hari kelahiran Nabi dan menjadikannya sebagai waktu yang diagungkan dengan ritual-ritual dan tradisi-tradisi yang tidak ada landasanya dalam Islam.
Kedua. Adapun men-qiyas-kan (menganalogikan) hari dan tanah kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan disyariatkan shalat di maqom Ibrahim, maka qiyas seperti ini merupakan analogi sangat batil, dan sejenis dengan qiyas orang-orang yang mengatakan bahwa jual beli itu seperti riba.
Tidak diragukan, mengagungkan tempat-tempat yang berkaitan dengan para nabi dan peninggalan orang-orang shalih merupakan sarana kesyirikan yang sangat besar. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburannya dijadikan sebagai tempat beribadah (perayaan) dan melarang menjadikan kuburan-kuburan sebagai tempat ibadah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan Nasrani yang melakukan hal itu, sebagaimana yang tertera dalam hadits-hadits yang shahîh.
Bahkan dalam riwayat yang shahîh dijelaskan bahwa Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, tatkala mendengar sebagian kaum muslimin mendatangi sebatang pohon yang terjadi di bawahnya Bai’atur-Ridhwan, maka beliau Radhiyallahu anhu memerintahkan untuk memotong pohon tersebut,[1] karena kekhawatirannya terhadap terjadinya fitnah disebabkan oleh pohon tersebut.
Dari al-Ma’rûr bin Suwaid rahimahullah, beliau menuturkan:
Kami pergi bersama Umar dalam sebuah perjalanan haji. Tatkala beliau Radhiyallahu anhu telah selesai melaksanakan haji kemudian pulang. Dalam perjalanan beliau Radhiyallahu anhu melihat sebagian kaum Muslimin bergegas mendatangi sebuah tempat. Melihat hal itu, Umar Radhiyallahu anhu bertanya, “Tempat apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah masjid (tempat shalat) yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat di dalamnya.”
Beliau Radhiyallahu berkata :
هَكَذَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَابِ، اتَّخَذُوا آثَارَ أَنْبِيَائِهِمْ بِيَعًا، مَنْ عَرَضَتْ لَهُ مِنْكُمْ فِيهِ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ، وَمَنْ لَمْ تَعْرِضْ لَهُ مِنْكُمْ فِيهِ الصَّلَاةُ فَلَا يُصَلِّ
Beginilah ahlul–kitab (Yahudi dan Nasrani) celaka, mereka menjadikan tempat–tempat peninggalan para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Barangsiapa di antara kalian kedatangan shalat pada tempat tersebut, maka shalatlah; jika tidak kedatangan shalat pada tempat tersebut, maka jangan sengaja mendatanginya untuk shalat.[2]
Perhatikanlah, bagaimanakah sikap Khalifah Umar Radhiyallahu anhu –seorang shahabat yang mendapat ilham dari Allâh Azza wa Jalla ? Beliau Radhiyallahu anhu mengingkari orang yang dengan sengaja mendatangi tempat yang pernah dijadikan tempat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memotong pohon tempat terjadinya Bai’atur-Ridwan. Sekiranya mengagungkan tempat-tempat yang berkaitan dengan sebagian para nabi dan menjadikannya sebagai tempat ibadah sebagai sesuatu yang diperbolehkan dan disyari’atkan, maka tentu Umar Radhiyallahu anhu tidak akan memotong pohon tersebut dan tidak kan melarang orang mendatangi tempat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Begitu juga sikap para ulama Islam dari kalangan salafush-shâlih, mereka membenci mendatangi dengan sengaja tempat-tempat shalat Nabi dan peninggalan-peninggalan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan ibadah pada tempat tersebut. Hal itu mereka lakukan untuk menutup peluang terjadinya fitnah yang dapat merusak akidah umat.
Imam Ibnu Wadhdhah rahimahullah menjelaskan bahwa Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu dan yang lain dari kalangan Ulama Madinah membenci (tidak menyukai) sikap mendatangi masjid-masjid dan peninggalan-peninggalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut kecuali masjid Quba` dan (kuburan) Uhud. Saya mendengar mereka menyebutkan bahwa Sufyân ats-Tsauri masuk ke dalam masjid Baitul-Maqdis (masjid al-Aqsha) dan melaksanakan shalat di dalamnya dan tidak mendatangi tempat-tempat peninggalan tersebut dan shalat padanya. Begitu juga yang dilakukan oleh yang lain dari kalangan Ulama yang menjadi panutan. Begitu juga Waki’ bin Jarrah mendatangi masjid Baitul-Maqdis dan tidak melebihi apa yang dilakukan oleh Sufyân.
Kemudian Imam Ibnu Wadhdhah menambahkan:
Hendaklah kalian mengikuti para imam yang terkenal dan telah mendapat petunjuk. Sungguh sebagian Ulama terdahulu (salaf) telah mengatakan, “Betapa banyak perkara pada hari ini telah dikenal oleh mayoritas orang sedangkan ia adalah perkara yang mungkar menurut generasi terdahulu; disenangi sedangkan ia adalah hal yang dibenci; dianggap sebagai ketaatan yang mendekatkan diri kepada Allâh, sedangkan ia adalah perkara yang menjauhkan dari-Nya. Setiap bid’ah terlihat indah dan menyenangkan.”[3]
Ketiga. Adapun pernyataan “lihatlah keterangan dalam hadits yang mengaitkan kemuliaan hari Jum’at dengan kelahiran Nabi Adam, dan lain lain. Apalagi hari kelahiran Rasûlullâh. oleh karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai umat Rasûlullâh memuliakan hari kelahirannya”.
Dalam penyataan ini telah terjadi kekeliruan yang sangat fatal. Untuk lebih jelasnya, perlu disimak terlebih dahulu lafazh hadits yang dibawakan oleh para penyelenggara peringatan maulid :
عَنْ أَوْسِ بْنِ أَوْسٍ الثَّقَفِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ : مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَام وَفِيهِ قُبِضَ
Dari Aus bin Aus ats-Tsaqafi Radhiyallahu anhu, beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diantara hari-hari kalian, yang paling utama adalah hari Jum’at; pada hari tersebut diciptakan Adam dan pada hari itu juga beliau diwafatkan[4]
Mencermati hadits yang mulia ini, di dalamnya disebutkan dengan nyata bahwa Adam diciptakan pada hari Jum’at, sedangkan dalam pernyataan di atas disebutkan “…kemuliaan hari Jum’at dengan kelahiran Adam”; setiap yang memiliki akal sehat pasti memahami perbedaan antara dua kalimat tersebut, yaitu diciptakan dan dilahirkan.
Berdasarkan lafazh yang dinukil para penggemar maulid, maka pertanyaan yang harus mereka jawab adalah, siapakah yang melahirkan Adam? Siapakah ayahnya? Dan siapakah ibunya?
Tentu suatu kebatilan yang sangat nyata dan kebodohan yang sangat besar, jika ada yang mengatakan bahwa Adam q dilahirkan. Dan kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dari kejahilan seperti ini. Karena dalam aqidah kaum Muslimin, bahwa Adam Alaihissallam diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla dengan kedua tangan-Nya dari tanah. Tatkala telah sempurna penciptaannya, maka Allâh Azza wa Jalla meniupkan kepadanya ruh, kemudian para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam, dan mereka seluruhnya bersujud kecuali Iblis.
Pernyataan mereka yang merubah lafazh hadits Rasûlullâh فيه خلق آدم (pada hari Jum’at diciptakan Adam) dengan lafazh فيه ولد آدم (pada hari Jum’at dilahirkan Adam), yang dalam pernyataan di atas tertulis “…kemulian hari Jum’at dengan kelahiran Adam”.
Ini adalah bentuk kebohongan yang nyata atas Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang sengaja berbohong atas (nama)ku, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka.[5]
Keempat. Tidak diragukan bahwa hari Jum’at adalah hari yang mulia di sisi Allâh, akan tetapi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan hari tersebut dengan sesuatu amalan sunnah apapun, bahkan beliau telah melarang mengkhususkan siangnya dengan puasa dan malamnya dengan qiyamul-lail (tahajjud), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhnu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَخُصُّوا لَيْلَة الْجُمْعَة بِقِيَامٍ مِنْ بَيْن اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْم الْجُمْعَة بِصِيَامٍ مِنْ بَيْن الْأَيَّام , إِلَّا أَنْ يَكُون فِي صَوْم يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ رواه مسلم.
Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at dengan qiyamul-lail diantara malam-malam yang lain, dan jangan pula kalian khususkan hari Jum’at dengan puasa diantara hari-hari yang lain, kecuali apabila seorang berpuasa pada hari itu.[6]
Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan hari Jum’at –sedangkan hari itu adalah hari yang mulia- dengan sesuatu dari amalan-amalan sunat disebabkan Adam diciptakan pada hari tersebut, bahkan melarang mengkhususkannya dengan ibadah tertentu. Dari sisi mana para pelaku bid’ah peringatan maulid Nabi berdalil dengan kemulian hari Jum’at untuk meligitimasi ritual peringatan hari kelahiran Nabi? Demikian ini bentuk analogi yang batil, dan sisi pendalilannya pun sangat rancu.
Kelima. Sebagaimana dimaklumi tentang prinsip agama Aslam, bahwa landasan ibadahnya adalah wahyu, bukan akal, logika atau pun bid’ah. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan hari kelahirannya dengan sesuatu apapun dalam hal amal shalih dan ibadah, maka tentu seseorang juga tidak dibolehkan mengada-adakan amalan (ritual) yang tidak diijinkan oleh Allâh dan tidak diamalkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hal itu merupakan perbuatan bid’ah yang tertolak. Sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ .. وَفِي رِوَايَةٍ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak.[7]
Dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak berlandaskan perintah kami, maka ia tertolak (tidak diterima).“[8]
(Dringkas dari Syubhat Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, DR Muhammad Nur Ihsan MA)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf (2/120, no. 7.545).
[2] Ibid, (2/151, no. 7.550).
[3] Kitab al-Bida’ wan-Nahyu ‘anha, hlm. 88.
[4] HR Abu Dawud (no. 1.047) dan Ibnu Majah (no. 1.085).
[5] HR Bukhâri (no. 107), dan Muslim (no. 3).
[6] HR Muslim, no. 1.144.
[7] HR Bukhâri (no. 2.697) dan Muslim (no. 1.718).
[8] HR Muslim, no. 1.718.
@Sumber : Almanhaj.or.id
Post a Comment