Pentingnya memperingati maulid Nabi adalah bertolak dari kisah Abu Lahab, paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerdekakan budaknya bernama Tsuwaibah al-Aslamiyyah pada hari kelahiran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu girangya Abu Lahab atas kelahiran keponakannya yang bernama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia memerdekakan Tsuwaibah al-Aslamiyyah yang sekaligus berlaku sebagai orang pertama yang menyusui Muhammad.
Jawaban:
Kisah Abu Lahab di atas tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk melegitimasi peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dikarenakan beberapa hal berikut.
Pertama. Kisah ini merupakan riwayat yang mursal (diriwayatkan oleh tabi’in dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) yang tidak shahîh, bukan kisah yang maushûl (yang diriwayatkan langsung oleh sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Riwayat yang mursal tidak bisa dijadikan hujjah (dalil) untuk suatu amalan atau ritual sebagaimana dimaklumi di kalangan para ulama.
Kedua. Tidak terdapat riwayat shahîh yang menjelaskan Abu Lahab bergembira dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan begitu juga bahwa Tsuwaibah mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Nabi, kemudian Abu Lahab memerdekakannya disebabkan hal itu. Semua itu tidak benar. Barangsiapa yang mengatakan hal itu, maka hendaklah ia mendatangkan dalil shahîh tentang kebenaran dakwaannya.
Ketiga. Dalam kisah tersebut dijelaskan bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah tatkala mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini bertentangan dengan riwayat yang terdapat dalam kitab sirah bahwa Abu Lahab memerdekakannya sebelum Hijrah Rasul ke Madinah, dan itu terjadi setelah menyusui dengan selang waktu yang lama. Jadi, bukan ketika Tsuwaibah mengabarkan kepadanya tentang hal itu.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Yang terdapat di dalam (kitab-kitab) sejarah menyelisihi hal itu; yaitu Abu Lahab memerdekaan Tsuwaibah sebelum Hijrah; yang demikian itu setelah menyusui dengan waktu yang lama”.[1]
Ibnu Sa’ad dalam kitabnya, ath-Thabaqât, meriwayatkan dari Muhammad bin Umar al-Wâqidiy dari banyak ulama, mereka menuturkan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan silaturrahmi kepada Tsuwaibah ketika beliau berada di Makkah, dan Khadijah juga memuliakannya sedangkan ia pada waktu itu masih berstatus budak. Beliau meminta kepada Abu Lahab untuk menjualnya untuk dimerdekakan, akan tetapi Abu Lahab tidak mau. Tatkala Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah hijrah ke Madinah, lalu Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengirimkan kepadanya (sesuatu) untuk menyambung silaturrahim dan pakaian, sampai datang berita wafatnya beliau pada tahun ketujuh saat kepulangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Khaibar.”[2]
Keempat. Apa yang dilakukan oleh Abu Lahab, saat ia dalam keadaan kafir, sama sekali tidak bermanfaat baginya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam banyak ayat, bahwa amalan orang-orang kafir akan sirna tidak ada gunanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [al-Furqân/25:23].
Dan firman Allâh:
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ ۖ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ ۖ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَىٰ شَيْءٍ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ
Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. [Ibrâhim/14:18].
Kedua ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa amalan orang-orang kafir akan sirna dan tidak bermanfaat selama mereka berada dalam kekafiran. Allâh Azza wa Jalla menjadikan amalan tersebut bagaikan debu yang beterbangan.
Jika demikian amalan orang-orang kafir, maka pantaskah hal itu dijadikan sebagai landasan untuk memperingati maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Sungguh bentuk pendalilan yang sangat aneh, rancu, dan rapuh.
Kelima. Dalam sebagian perkataan mereka yang melegitimasi peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kisah Abu Lahab menyebutkan, bahwa “Abu Lahab mendapatkan keringanan adzab setiap hari Senin disebabkan ia memerdekakan Tsuwaibah ketika mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.
Pendapat ini juga merupakan perkataan batil dan riwayat yang tidak shahîh, karena bertentangan dengan al-Qur`ân. Sungguh, di dalam al-Qur`ân terdapat banyak ayat yang menjelaskan bahwa adzab tidak akan diringankan atau pun dikurangi bagi orang-orang kafir, diantaranya firman Allâh:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ ﴿٣٦﴾ وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ ۚ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ ۖ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Dan orang-orang kafir bagi mereka Neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka adzabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir. Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal yang shalih berlainan dengan yang telah kami kerjakan”. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zhalim seorang penolongpun. [Fâthir/35:36-37].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي عَذَابِ جَهَنَّمَ خَالِدُونَ ﴿٧٤﴾ لَا يُفَتَّرُ عَنْهُمْ وَهُمْ فِيهِ مُبْلِسُونَ ﴿٧٥﴾ وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَٰكِنْ كَانُوا هُمُ الظَّالِمِينَ ﴿٧٦﴾ وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ ۖ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُونَ ﴿٧٧﴾ لَقَدْ جِئْنَاكُمْ بِالْحَقِّ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَكُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam adzab Neraka Jahannam. Tidak diringankan adzab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa. Dan tidaklah Kami menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Mereka berseru: “Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja”. Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini). Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan diantara kamu benci pada kebenaran itu. [az-Zukhruf/43:74-78].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِهِ ۖ وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَىٰ وُجُوهِهِمْ عُمْيًا وَبُكْمًا وَصُمًّا ۖ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا﴿٩٧﴾ذَٰلِكَ جَزَاؤُهُمْ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا وَقَالُوا أَإِذَا كُنَّا عِظَامًا وَرُفَاتًا أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقًا جَدِيدًا
Barangsiapa yang Dia sesatkan maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Dia. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah Neraka Jahannam. Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya. Itulah balasan bagi mereka, karena sesungguhnya mereka kafir kepada ayat-ayat Kami dan (karena mereka) berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk baru?” [Al-Isra/17:97-98]
Ketiga ayat di atas berlaku bagi Abu Lahab, karena ia telah kafir kepada Allâh. Yakni, telah datang kepadanya kebenaran dan petunjuk, akan tetapi ia menolak dan berpaling serta membencinya, memusuhi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membawa kebenaran tersebut. Allâh sama sekali tidak akan meringankan adzab baginya. Bahkan dalam ayat lain Allâh Azza wa Jalla berfirman :
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ﴿١﴾مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ﴿٢﴾سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaidah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. [al-Lahab/al-Masad/111:1-3].
Keenam. Sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab sejarah, Abu Lahab merupakan orang yang paling membenci dan memusuhi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau n diutus, bahkan menyakitinya dengan cara berlebihan.
Sekiranya terbukti Abu Lahab bergembira dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memerdekaan Tsuwaibah yang mengabarkan kepadanya tentang hal itu, maka hal ini sama sekali tidaklah berguna baginya, karena kebencian dan permusuhannya yang berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghancurkan seluruh bentuk kegembiraan dan kebaikannya dalam memerdekaan Tsuwaibah dan amalan-amalannya yang lain, karena ia tidak beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya. Sehingga jelaslah, tidak ada yang berdalil dengan kegembiraan Abu Lahab yang kafir itu untuk melegitimasi perayaan maulid, kecuali orang-orang yang jauh dari kebenaran dan petunjuk.
Ketujuh. Seandainya terbukti kegembiraan Abu Lahab dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai keponakannya, maka itu hanya sekedar kegembiraan biasa yang merupakan tabiat manusia, bukan kegembiraan bersifat ibadah yang bermanfaat.
Seseorang bergembira dengan kelahiran anak saudaranya dan karib kerabatnya, akan tetapi ini tidak bermanfaat di sisi Allâh. Kegembiraan yang berpahala dan bermanfat adalah kegembiraan karena Allâh. Sedangkan kegembiraan seorang mukmin dengan kelahiran Nabi adalah sesuatu yang senantiasa menyertai dirinya, karena ini salah satu konsekuensi dari kecintaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menuntut seseorang meneladani beliau n dalam segala aspek kehidupan, bukan mengada-adakan dalam agama, seperti peringatan maulid Nabi yang tidak ada landasannya dalam al-Qur`an maupun Sunnah.
(Dringkas dari Syubhat Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, DR Muhammad Nur Ihsan MA)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Fathul-Bâri, 9/145.
[2] Ath-Thabaqât al-Kubrâ, Cet. Dar Shâdir, Beirut, 1/108-109.
@Sumber : Almanhaj.or.id
Post a Comment