Alasan yang bersifat sosiologis, bahwa peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan wasilah untuk melaksanakan berbagai kebaikan, apalagi tradisi masyarakat kita yang selalu melaksanakan bersama- sama.
Jawaban:
Alasan seperti ini juga merupakan kebatilan yang tidak ada nilainya dalam perspektif al-Qur`ân dan Sunnah, karena beberapa hal berikut.
Pertama. Bahwasanya landasan beragama adalah al-Qur`ân dan Sunnah, bukan keadaan sosial suatu masyarakat dan tradisi yang berkembang di kalangan mereka, atau warisan para leluhur. Semua itu merupakan landasan sangat rapuh dan alasan yang batil.
Allâh Ta’ala berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [al-A’râf/7:3].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil-amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur`ân) dan Rasul (sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ`/4:59].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Dan apa yang dibawa oleh Rasul maka ambil-lah, dan apa yang dicegahnya maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/59:7].
Juga ayat-ayat lain yang senada dengan ayat-ayat di atas yang memerintahkan untuk mengikuti wahyu dari Allâh dan Rasul-Nya, dan larangan mengikuti hawa nafsu.
Begitu juga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dalam banyak hadits telah memerintahkan untuk mengikuti sunnah-nya, diantaranya sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَعَليْكُمْ بسُنَّتِي وسُنَّةِ الخُلَفاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِيِّنَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بالنَّواجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ؛ فإنَّ كلَّ بدعة ضلالة وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
Ikutilah oleh kalian sunnah-ku dan sunnah para khulafa ar-rasyidîn yang telah mendapat petunjuk sepeninggalku. Gigitlah (peganglah) sunnah tersebut dengan gigi gerahammu, dan tinggalkan olehmu perkara-perkara yang baru (dalam agama). Setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka.[1]
Demikian pula hadits-hadits lain yang banyak memerintahkan untuk berpegang teguh kepada Sunnah dan melarang mengada-adakan dalam agama. Termasuk perkara yang diada-adakan dalam agama adalah menjadikan sosiologi (perilaku dan perkembangan masyarakat) sebagai landasan dalam beragama.
Kedua. Berdalil dengan tradisi untuk melegitimasi suatu amalan dan ritual merupakan wujud pendalilan yang sangat rancu dan keliru. Yang seperti itu tiada lain adalah dalil untuk menentang kebenaran dan menolak petunjuk dari kalangan orang-orang musyrikin, munafikin dan yang mengikuti langkah-langkah mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam banyak ayat di dalam al-Qur`ân, diantaranya:
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allâh dan mengikuti Rasul,” mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? [al-Mâ-idah/5:104].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allâh,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? [al-Baqarah/2:170].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allâh,” mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? [Luqman/31:21]
Ketiga. Sesungguhnya ukuran (barometer) kebenaran bukan terletak pada banyaknya masyarakat dan kebersamaan mereka dalam melakukan suatu amalan atau ritual, karena mayoritas manusia berada dalam kesesatan dan kebatilan, sebagaimana firman Allâh Ta’ala yang melarang Nabi-Nya agar tidak mengikuti mayoritas penduduk bumi:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allâh). [al-An’âm/6:116].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman -walaupun kamu sangat menginginkannya-. [Yusuf/12:103].
Akan tetapi takaran kebenaran adalah kecocokan suatu perkara atau pendapat dengan al-Qur`ân dan Sunnah kendati pengikut dan pelakunya sedikit. Wallâhu a’lam.
Keempat. Dalam Islam, hubungan antara wasilah dengan tujuan sangatlah erat. Bahkan wasilah dalam agama dihukumi dengan hukum tujuan, sebagaimana dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan :
الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
Hukum perantara sama dengan hukum tujuan
Namun, satu hal yang harus dipahami dalam perkara ini, bahwa wasilah (perantara) yang digunakan untuk mewujudkan tujuan hendaklah wasilah yang baik dan tidak bertentangan dengan kaidah syari’at. Jika bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, maka wasilah tersebut tidak diperbolehkan oleh Islam. Sehingga untuk melaksanakan berbagai macam kebaikan, hendaklah menggunakan wasilah yang disyari’atkan oleh agama, bukan mengada-adakan wasilah bid’ah yang bertentangan dengan prinsip agama.
Demikian pula, tidak diragukan bahwa peringatan maulid merupakan wasilah yang masuk dalam kategori bid’ah dan menyelisihi Sunnah karena tidak pernah dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para salafush-shâlih. Jika pelaksanaan peringatan tersebut wasilah syar’i, tentu para salafush-shâlih lebih dahulu menggunakannya karena mereka sangat bersungguh-sungguh dalam melakukan bermacam kebaikan.
Perlu diketahui, bahwa kecintaan kepada Rasul, mengekspresikan kegirangan dan kegembiraan dengan kelahiran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta keinginan untuk melaksanakan kebaikan hendaklah dibuktikan dengan kesungguhan dalam mempelajari dan mengikitui ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , melaksanakan apa yang mampu dikerjakan dari sunnah-sunnah beliau, bukan dengan mengada-adakan hal-hal baru yang tidak ada tuntunannya dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hal ini pada hakikatnya bertentangan dengan makna kecintaan dan kegembiraan.
Fenomena yang tidak bisa dipungkiri, selama ini peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kepada banyak kesesatan dan menimbukan dampat negatif dalam keyakinan dan sikap orang-orang yang gemar melakukan ritual tersebut, seperti sikap berlebihan dalam memuji Rasul n , keyakinan tentang kehadiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam acara tersebut, dan dampak negatif lainnya. Bahkan jika sekiranya tidak ada bentuk kerusakan dalam acara tersebut kecuali hanya menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan salafush-shâlih dalam beragama, tentu hal itu pun telah cukup untuk menghukumi kebatilan peringatan tersebut. Bahkan orang-orang yang memperingati ritual tersebut menunjukkan, bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat jauh dari Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dalam masalah akidah, ibadah, akhlak, dakwah, dan lainnya, bahkan mereka lebih gemar melakukan tradisi-tradisi yang tidak ada landasan dalam agama daripada mengamalkan Sunnah yang telah jelas shahîh–nya. Jika demikian, maka kebaikan apakah yang akan didapatkan dalam menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melakukan peringatan maulid yang bid’ah?
Mencermati syubhat-syubhat yang dilontarkan para pendukung ritual maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka nampaklah tidak ada satupun dalil yang digunakan mereka dalam melegitimasi peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut yang bisa dijadikan sebagai hujjah dalam pandangan ilmu syar’i yang berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush-shâlih. Wallâhu a’lam.
(Dringkas dari Syubhat Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, DR Muhammad Nur Ihsan MA)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR Tirmidzi (no. 2.676) dan Ibnu Mâjah (no. 42).
@Sumber : Almanhaj.or.id
Post a Comment