Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum memukul murid perempuan untuk tujuan pendidikan dan desakan untuk melaksanakan kewajiban yang dimintanya dari mereka, supaya mereka tidak terbiasa meremehkannya?
Jawaban
Tidak apa-apa. Para pendidik pria dan wanita serta orang tua, masing-masing mempunyai kewajiban untuk memperhatikan anak-anak dan menghukum anak yang harus dihukum jika berbuat lalai, hingga mereka terbiasa dan berakhlak mulia, serta senantiasa istiqomah dalam perbuatan shalih. Dalam hal ini telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata.
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anakmu untuk shalat ketika umur tujuh tahun dan pukullah bila umurnya sepuluh tahun (bila tidak shalat) dan pisahkan tempat tidur mereka (antara laki-laki dan perempuan)”.
Baik laki-laki maupun perempuan boleh dipukul apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun dan melalaikan shalatnya, sebagai hukuman agar mereka istiqomah dalam melaksanakan shalat. Demikian pula untuk kewajiban-kewajiban yang lain dalam pendidikan, permasalahan rumah dan lain-lain. Bagi pera pendidik hendaknya memperhatikan pengarahan dan pengajaran mereka, tetapi dengan pukulan yang ringan yang tidak membahayakan yang bisa menghasilkan tujuan yang dimaksud.
[Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 6/304]
HUKUM BERDIRINYA ANAK MURID UNTUK GURU SEBAGAI PENGHORMATAN
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum berdirinya para murid-murid wanita untuk menghormati guru wanita mereka?
Jawaban
Berdirnya murid perempuan untuk mengormati kepada guru wanita atau berdirinya murid laki-laki untuk menghormati guru pria tidak sepatutnya dilakukan, paling tidak hukumnya sangat makruh, berdasarkan ucapan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu. “Tidak ada seorangpun yang lebih mereka (para sahabat) cintai daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka tidak berdiri untuk menyambut beliau karena mereka mengetahui makruhnya perbuatan itu”
Juga berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَمْثُلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa ingin dihormati para pria dengan berdiri maka hendaknya ia menyiapkan tempatnya di Neraka”
Dalam hal ini wanita seperti pria. Semoga Allah memberi taufiknya untuk melaksanakan segala yang diridhainya dan menghindarkan kita dari kemurkaanNya dan larangan-Nya, serta memberi kepada kita semua ilmu yang bermanfaat dan melaksanakannya. Sesungguhnya Dia Maha Baik dan Maha Mulia.
[Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 6/304]
HUKUM CIUM TANGAN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apa hukum cium tangan? Dan apa hukum merncium tangan seseorang yang memiliki keutamaan, misalnya guru, dan sebagainya? Apa pula hukum mencium tangan paman dan lainnya yang lebih tua? Apakah mencium tangan kedua orang tua ada tuntunannya dalam syari’at? Ada orang yang mengatakan bahwa cium tangan mengandung kehinaan (menghinakan diri sendiri).
Jawaban
Menurut kami, itu boleh, dalam rangka menghormati dan bersikap sopan terhadap kedua orang tua, ulama, orang-orang yang memiliki keutamaan, kerabat yang lebih tua dan sebagainya. Ibnul Arabi telah menulis risalah tentang hukum cium tangan dan sejenisnya, sebaiknya merujuknya.
Bila cium tangan itu dilakukan terhadap kerabat-kerabat yang lebih tua atau orang-orang yang memiliki keutamaan, ini berarti sebagai penghormatan, bukan menghinakan diri dan bukan pula pengagungan. Kami dapati sebagian Syaikh kami mengingkarinya dan melarangnya, hal itu karena sikap rendah hati mereka, bukan berarti mereka mengharamkannya. Wallahu a’lam
[Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin (1852), tanggal 20/11/1421H]
[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]
Post a Comment