Oleh
Syaikh Abdul Aiz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aiz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum perayaan setelah setahun atau dua tahun atau lebih umpamanya, atau kurang, sejak kelahiran seseorang, yaitu yang disebut dengan istilah ulang tahun atau tolak bala. Dan apa hukum menghadiri pesta perayaan-perayaan tersebut. Jika seseorang diundang menghadirinya, apakah wajib memenuhinya atau tidak? Kami mohon jawabannya, semoga Allah membalas Syaikh dengan balasan pahala.
Jawaban:
Dalil-dalil syari’at dari Al-Kitab dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa peringatan hari kelahiran termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam agama dan tidak ada asalnya dalam syari’at yang suci, maka tidak boleh memenuhi undangannya karena hal itu merupakan pengukuhan terhadap bid’ah dan mendorong pelaksanaannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.” [Asy-Syura: 21]
Dalam ayat lain disebutkan,
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ﴿١٨﴾إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ۚ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۖ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Jatsiyah: 18-19]
Dalam ayat lainnya lagi disebutkan,
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” [Al-A’raf : 3]
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ
“Barang siapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” [1]
Dalam hadits lainnya beliau bersabda,
خَيْرُ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللَّه وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Saw, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat.” [2]
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna.
Di samping perayaan-perayaan ini termasuk bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syari’at, juga mengandung tasyabbuh (menyerupai) kaum Yahudi dan Nashrani yang biasa menyelenggarakan peringatan hari kelahiran, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan agar tidak meniru dan mengikuti cara mereka, sebagaimana sabda beliau,
لَتَتَّبِعَنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُم شِبْرًا شِبْرًاوَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْدَخَلُوْا جُحْرَضُبٍّ تَبَعْتُمُوْهُم، قُلنَا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta, sampai-sampai, seandainya mereka masuk ke dalam sarang biaivak pun kalian mengikuti mereka.” Kami katakan, “Ya Rasulullah, itu kaum Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata, “Siapa lagi.” [3]
Makna ‘siapa lagi’ artinya mereka itulah yang dimaksud dalam perkataan ini. Kemudian dari itu, dalam hadits lain beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka” [4]
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna.
Semoga Allah menunjukkan kita semua kepada yang diridhai-Nya.
[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutannawwi’ah, juz 4, hal. 283]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
_______
Footnote
[1]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718). Al-Bukhari menganggapnya mu’allaq dalam Al-Buyu’ dan Al-I’tisham.
[2]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).
[3]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim: Al-Bukhari dalam Ahaditsul Anbiya’ (3456). Muslim dalam Al-‘Ilm (2669).
[4]. Ahmad (5094, 5634). Abu Dawud (4031).
MENGHADIAHKAN UANG SAAT KELAHIRAN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana menurut syariat mengenai kebiasaan sebagian wanita zaman sekarang, yang mana apabila salah seorang teman mereka dianugrahi anak, mereka memberikan kado berupa uang yang jumlahnya cukup besar dan terkadang memberatkan suami dan kesulitan lainnya. Apakah ini ada dasarnya dalam syari’at?
Jawaban
Pada dasarnya memberikan hadiah untuk kelahiran bayi tidak apa-apa, karena hukum asalnya dibolehkan memberikan hadiah untuk semua kondisi yang halal dan benar kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Jika tradisi yang berlaku, bahwa jika seseorang melahirkan bayi maka kerabatnya memberikan hadiah berupa uang, maka hal ini tidak apa-apa dilakukan, karena mengikuti kebiasaan dan tradisi, bukan sebagai ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Memang saya tidak mengetahui bahwa hal itu dianjurkan oleh As-Sunnah, tapi hanya merupakan kebiasaan sebagian orang zaman sekarang yang sudah mentradisi, hanya saja, jika kebiasaan ini menimbulkan madharat pada seseorang, maka ia tidak harus melaksanakannya.
Jika kebiasaan ini memberatkan suami, sebagaimana disebutkan oleh penanya, yang mana si isteri memaksa suaminya agar memberinya uang yang sebenarnya memberatkannya untuk dihadiahkan kepada orang yang baru melahirkan, maka hal itu terlarang karena menyakiti suami dan memberatkan suami dan menyulitkannya.
Adapun kebiasaan saling memberikan hadiah sederhana sekadar untuk mengungkapkan rasa saling mencintai dan mengasihi, maka hal itu tidak ap-apa.
[Nur’ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 34-35]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
Post a Comment