( BAB III )
Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dilakukan Para Suami
(1) Lupa terhadap orang tua
Sebagian orang tatkala menikah maka iapun sibuk dan terlena dengan istrinya hingga melupakan kedua orang tuanya. Orang tuanya yang telah melahirkannya, yang telah mendidikanya hingga dewasa hingga akhirnya menikah…??, orang tuanya yang telah sibuk menyiapkan pernikahannya karena ingin melihat anaknya bahagia..??, kemudian setelah itu yang mereka dapatkan hanyalah anak mereka melupakan mereka, melalaikan mereka, bahkan terkadang sang anak lebih taat kepada istrinya dari pada kedua orang tuanya. Bahkan terkadang sang anak rela untuk meremehkan dan menghina kedua orang tuanya untuk menyenangkan istrinya..bahkan sampai-sampai ada yang mengusir kedua orang tuanya demi menyenangkan istrinya, bahkan orang yang telah terbalik fitrohnya terkadang sampai memukul orang tuanya. Ini jelas merupakan bentuk durhaka kepada orang tua, namun betapa banyak orang yang melakukannya tidak merasakannya.
Banyak orang tua yang memiliki harga diri yang tinggi sehingga tidak mau minta kepada anak mereka atau menampakan kebutuhannya kepadanya, akhirnya sang anak memang benar-benar lupa terhadap orang tuanya. Namun kondisi seperti ini bukanlah alasan bagi sang anak, alasan seperti ini tidak bisa diterima karena merupakan kewajiban anak untuk memperhatikan kedua orang tuanya, memperhatikan kondisi mereka, bukan malah berpaling dan tidak ambil peduli terhadap mereka.
Sebagian orang tua berangan-angan -setelah anak mereka menikah- untuk tidak melihat sang anak sehingga tidak terganggu dengan mulut anaknya yang seakan-akan selalu merasa bahwa keberadaan orang tua hanyalah menjadi beban hidupnya.
Sebagian orang..kondisi ekonominya mencukupkan, bahkan ia menghambur-hamburkan uangnya demi menyenangkan istirinya atau menyenangkan anak-anaknya, namun tatkala orangtuanya membutuhkan bantuannya maka ia berusaha untuk mengeluarkan sesedikit-dikitnya. Jika sang ayah meminta uang darinya untuk memenuhi kebutuhannya maka dengan lantangnya sang anak langsung berkata, “Saya masih punya hutang banyak… saya beli mobil dengan kredit…, saya beli rumah dengan kredit…, saya harus menabung untuk kebutuhan anak-anak di masa depan..”, dan seterusnya. Namun anehnya jika tiba waktu liburan maka dengan mudahnya ia menghambur-hamburkan uang sebanyak-sebanyaknya untuk menyenangkan istri dan anak-anaknya. Padahal orang tuanya tidak meminta banyak darinya… bahkan tidak sampai seperseluluh dari yang ia hambur-hamburkan untuk menyenangkan istri dan anak-anaknya..???!!!
Bukankah Allah berfirman
يَسْأَلونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan berupa kebaikan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. 2:215)
Berkata Syaikh As-Sa’di, “((Apa saja harta yang kamu nafkahkan berupa kebaikan)) yaitu harta yang sedikit maupun banyak maka orang yang paling utama dan yang paling berhak untuk didahulukan yaitu orang yang paling besar haknya atas engkau, mereka itu adalah kedua orangtua yang wajib bagi engkau untuk berbakti kepada mereka dan haram atas engkau mendurhakai mereka. Dan diantara bentuk berbakti kepada mereka yang paling agung adalah engkau memberi nafkah kepada mereka, dan termasuk bentuk durhaka yang paling besar adalah engkau tidak memberi nafkah kepada mereka, oleh karena itu memberi nafkah kepada kedua orangtua hukumnya adalah wajib atas seorang anak yang lapang (tidak miskin)” [Tafsir As-Sa’di 1/96]
Apalagi jika kondisi ekonomi sang anak hanyalah pas-pasan maka semakin banyak celaan dan kalimat-kalimat yang pedis yang terlontar dari sang anak kepada kedua orang tua. Maka durhaka mana lagi yang lebih besar daripada ini.
(2) Sebagian orang yang telah lama menikah jika terjadi cekcok antara ia dan istrinya maka ia langsung melaporkan hal ini kepada kedua orang tuanya
Hal ini jelas semakin menjadikan kedua orang tua terbebani dengan banyaknya permasalahan. Orang tua yang semestinya di masa tuanya diusahakan agar tenang sehingga bisa lebih banyak beribadah kepada Allah akhirnya menjadi pusing karena mendengar keluhan-keluhan anaknya. Dan kebanyakan orang tua perasa, jika anaknya tersakiti maka merekapun otomatis akan merasa tersakiti. Bahkan terkadang akhirnya hal ini menjadikan orang tua menjadi sakit karena memikirkan beban anaknya.
Sesungguhnya orang tua tatkala menikahkan anaknya yang ia tunggu adalah agar sang anak membahagiakannya dan menyenangkannya –bukan malah ia yang sibuk menyenangkan anaknya-, menunggu agar sang anak memperhatikannya dan merawatnya –bukan malah sebaliknya-…!!!.
Oleh karena jika seseorang menghadapi cekcok keluarga maka hendaknya ia berusaha mengatasinya sendiri, hendaknya ia bertanya kepada orang yang berilmu, dan tidak mengapa terkadang ia meminta pendapat kedua orang tuanya. Namun bukan setiap kali ada permasalahan langsung ia kabarkan kepada kedua orang tuanya.
Terutama seorang ibu, jika mendengar cekcok yang terjadi antara sang anak dengan suaminya, maka ia akan merasa sangat sedih..bahkan hal ini sangat mungkin menjadikan sang ibu benci kepada sang istri akhirnya menganjurkan sang anak untuk bercerai..!!!. Sesungguhnya ibulah yang biasanya merasa sangat kehilangan anaknya setelah anaknya menikah. Dan terkadang sang ibu cemburu dengan istri anaknya. Terkadang kecemburuan ini mengantarkan sang ibu untuk mengatakan yang tidak-tidak tentang sang istri. Apalagi jika sang ibu mendengar kejelekan-kejelekan istri anaknya…maka ia akan semakin semangat untuk memerintahkan anaknya untuk bercerai. Meskipun demikian namun sang anak harus tetap menyikapi sang ibu dengan baik. Oleh karena itu hal ini harus dipahami dengan baik oleh sang anak.
Terkadang orang tua memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangganya yang tidak sesuai dengan pandangan sang anak… maka apakah yang harus dilakukan???. Jika perintah orangtuanya bertentangan dengan syari’at maka hendaknya ia tidak mentaati orang tuanya, adapun jika tidak demikian maka hendaknya sang anak menimbang antara kemaslahatan dan kemudhorotan. Jika kemaslahatannya banyak maka hendaknya ia mentaati orang tuanya, namun jika kemudhorotannya lebih banyak maka tidak mengapa ia menyelisihi orang tuanya namun dengan tetap beradab dan menghormati orang tuanya.
Bersambung …
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
lihat juga:
Post a Comment