Allah yang Maha Bijak dan Maha Lebih Mengetahui kemaslahatan para hamba ciptaanNya dari para hamba itu sendiri telah membuat syari’at bolehnya berpoligami.
Syaikh Muhammad Al-Amiin Asy-Syingqithy berkata:
“Diantara petunjuk Al-Qur’an yang lurus adalah dibolehkannya berpoligami hingga empat istri dan bahwasanya seorang suami jika kawatir tidak mampu berbuat adil diantara istri-istrinya maka wajib baginya untuk bermonogami atau menggauli budak-budak wanitanya sebagaimana firman Allah
(وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ) (النساء : 3 )
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4:3)
Dan tidak diragukan lagi bahwasanya jalan yang terlurus dan yang teradil adalah bolehnya berpoligami karena perkara-perkara yang nampak yang diketahui oleh seluruh orang yang berakal.
Diantara perkara-perkara tersebut adalah:
1. Satu orang wanita mengalami haid, sakit, nifas, dan perkara-perkara yang lainnya yang menghalanginya untuk bisa menjalankan kewajiban rumah tangganya yang terkhusus (yaitu jimak dengan sauminya). Adapun lelaki maka selalu siap untuk menjadi sebab bertambahnya umat (siap untuk aktifitas biologis). Jika ia terhalang dari menjimaki sang wanita dikarenakan udzur-udzurnya maka produkitifitasnya akan tersia-siakan tanpa dosa.
2. Allah menjadikan kebiasaan yang berlaku yaitu para lelaki lebih sedikit jumlahnya dibandingkan para wanita di seluruh penjuru dunia. Dan para lelaki lebih banyak terjun dalam perkara-perkara yang bisa menyebabkan kematian dalam seluruh sisi kehidupan. Jika para lelaki hanya bermonogami maka akan terlalu banyak para wanita yang terhalang dari pernikahan sehingga mereka akhirnya terjerumus dalam perbuatan-perbuatan keji. Maka berpaling dari petunjuk Al-Qur’an dalam permasalahan ini merupakan sebab terbesar hilangnya akhlak bahkan terperosok hingga sampai pada derajat binatang dimana mereka para wanita tidak terlindungi dan tidak terpelihara di atas kemuliaan dan kehormatan serta akhlak yang mulia. Sungguh maha suci Allah Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui.
(كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ) (هود : 1 )
(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, (QS. 11:1)
3. Seluruh wanita (kondisinya) siap untuk dinikahi, adapun para lelaki banyak diantara mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan perkara-perkara yang merupakan konsekuensi dari pernikahan karena miskinnya mereka. Maka yang siap menikah dari kaum lelaki lebih sedikit dari yang siap menikah dari kaum wanita, karena wanita tidak ada penghalangnya (untuk menikah), berbeda dengan lelaki yang terhalangi untuk menikah karena kemiskinannya dan tidak adanya kemampuan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban setelah proses pernikahan. Jika para lelaki hanya bermonogami maka akan banyak para wanita yang siap untuk menikah yang akan tersia-siakan, dan juga karena tidak adanya para lelaki yang siap untuk menikah. Maka hal ini merupakan sebab hilangnya kemuliaan dan tersebarnya keburukan dan terporosnya akhlak serta hilangnya pondasi kemanusiaan sebagaimana kenyataan yang nampak dengan jelas.” (Adhwaaul Bayaan III/22 (Tafsir surat Al-Israa’ ayat 9))
Beliau juga berkata,
“Adapun yang disangkakan oleh sebagian orang-orang kafir yang merupakan musuh-musuh Islam bahwasanya poligami melazimkan selalu timbulnya permusuhan dan percekcokan yang mengantarkan kepada rusaknya kehidupan (kekeluargaan). Hal ini karena kapan saja ia membuat salah seorang istrinya ridho dan senang maka istrinya yang lain akan marah, maka ia akan selalu berada diantara dua kemarahan (kalau tidak dimarahi oleh istri yang pertama maka akan dimarahi oleh istri yang kedua-pen), oleh karenanya poligami bukanlah sikap yang bijak.
Perkataan mereka ini merupakan perkataan yang batil yang sangat nampak kebatilannya bagi setiap orang yang berakal, karena permusuhan dan percekcokan antara anggota keluarga tidak akan bisa hilang. Akan terjadi antara seorang pria dan ibunya, atau antara ia dan ayahnya, atau antara dia dan anak-anaknya, atau antara dia dan istrinya satu-satunya. Ini merupakan perkara yang biasa, dan sangat tidak berpengaruh jika dibandingkan dengan kemaslahatan yang besar yang diperoleh dengan adanya poligami seperti terpelihara dan terjaganya para wanita, kemudahan pernikahan bagi seluruh wanita, banyaknya jumlah umat untuk bisa menghadapi musuh-musuh Islam. Karena kemaslahatan yang besar lebih didahulukan untuk diperoleh daripada menolak kemudhorotan yang kecil.
Jika sendainya percekcokan yang dipersangkakan timbul akibat poligami itu merupakan suatu mafsadah atau sakit hati istri yang pertama karena istri yang kedua merupakan suatu mafsadah maka tetap akan didahulukan kemaslahatan-kemasalatan yang besar yang telah kami jelaskan. Hal ini merupakan perkara yang sudah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh…”[1]
Beliau juga berkata, “Al-Qur’an membolehkan poligami demi kemaslahatan wanita sehingga tidak terhalangi dari pernikahan, dan untuk kemaslahatan pria agar produktifitasnya tidak tersia-siakan tatkala sang wanita memiliki udzur (sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya untuk memenuhi kebutuan biologis suaminya-pen), serta demi kemaslahatan umat agar semakin banyak jumlahnya sehingga memungkinkan untuk menghadapi musuh mereka agar kalimat Allah yang tertinggi. Ini merupakan syari’at dari Allah Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Tidak ada yang mencela syari’at ini kecuali orang yang telah dibutakan hatinya dengan bertumpuk-tumpuk kegelapan kekafiran. Dan pembatasan poligami hanya sampai empat istri merupakan pembatasan dari Allah Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Pembatasan ini merupakan perkara yang tengah-tengah antara jumlah istri yang sedikit (monogami) yang mengakibatkan tersia-siakannya produktifitas para lelaki dan antara jumlah istri yang banyak (yang lebih dari empat atau tanpa batas-pen) yang biasanya seorang lelaki tidak mampu untuk menegakkan perkara-perkara yang merupakan konsekuensi dari pernikahan bagi seluruh istri-istrinya”. (Adhwaaul Bayaan III/24 (Tafsir surat Al-Israa’ ayat 9))
Namun kenyataan yang menyedihkan yang terjadi di masyarakat, ada sebagian orang yang begitu bersemangat untuk berta’addud (berpoligami) dengan menggembar-gemborkan bahwa niatnya adalah untuk menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka bahkan ada yang terus terang menyatakan bahwa niat mereka berpoligami adalah untuk menyelamatkan sebagian wanita yang mungkin “kesulitan” mencari suami apalagi di zaman sekarang ini yang jumlah para wanita berlipat ganda dibanding jumlah para lelaki. Sungguh ini merupakan niat mulia yang harus dimasyarakatkan sehingga masyarkat tidak “pobi” atau merasa tabu dengan sunnah Nabi mereka[2]. Namun yang menyedihkan mereka tidak memperhatikan hukum-hukum yang berkaitan dengan poligami sebagaimana yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantara mereka ada yang hanya bermodal semangat namun tidak dilandasi dengan ilmu, akhirnya yang terjadi poligami tersebut berakhir dengan perceraian, kalau tidak maka akan berakhir dengan percekcokan keluarga…yang semua ini mayoritasnya akibat tidak diterapkan keadilan dalam menyikapi para istri.
Marilah kita perhatikan bagaimana syari’at begitu memperhatikan masalah keadilan diantara para istri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap adil diantara istri-istrinya, baik dalam nafkah maupun dalam pembagian jatah giliran nginap. Telah lalu tuturan Aisyah…
عن عَائِشَةُ رضي الله عنها قَالَتْ : ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا ، وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا (امْرَأةً امْرَأةَ) فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا
Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendahulukan sebagaian kami di atas sebagian yang lain dalam hal jatah menginap diantara kami (istri-istri beliau), dan beliau selalu mengelilingi kami seluruhnya (satu persatu) kecuali sangat jarang sekali beliau tidak melakukan demikian. Maka beliau pun mendekati (mencium dan mencumbui) setiap wanita tanpa menjimaknya hingga sampai pada wanita yang merupakan jatah menginapnya, lalu beliau menginap ditempat wanita tersebut”. (HR Abu Dawud no 2135, Al-Hakim di Al-Mustadrok no 2760, Ahmad VI/107. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (Ash-Shahihah no 1479))
Ibnu Qudamah menjelaskan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat adil (diantara istri-istrinya) sampai-sampai pada pembagian ciuman. (Al-Mughni VII/235)
Allah berfirman
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ (النساء : 3 )
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4:3)
Maksudnya yaitu, “Apabila kalian takut tidak berbuat adil dalam pembagian (jatah gilir nginap) dan nafkah jika menikahi dua atau tiga atau empat maka nikahlah seorang wanita saja…dan hanyalah ditakutkan jika ditinggalkan suatu perkara yang wajib, maka hal ini menunjukan bahwa berbuat adil diantara para istri baik dalam pembagian jatah giliran nginap maupun nafkah hukumnya adalah wajib. Hal ini diisyaratkan pada akhir ayat ((Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya)). Dan aniaya hukumnya adalah haram.” (Bada’i’ As-Shonai’ II/332)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda’
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Barangsiapa yang memiliki dua istri kemudian ia condong kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tubuhnya miring”. (HR Abu Dawud no 2123 dan At-Thirmidzi no 1141 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Berkata Al-‘Aini, “Dan balasan sesuai dengan perbuatan, tatkala seseorang tidak berbuat adil atau berpaling dari kebenaran menuju aniaya dan kecondongan maka adzabnya pada hari kiamat ia datang pada hari kiamat di hadapan seluruh orang dalam keadaan setengah tubuhnya miring”. (Umdatul Qori’ XX/199)
Adapun masalah batin maka ini berada diluar kekuasaan manusia oleh karena itu jika seorang suami lebih mencintai salah seorang istrinya daripada yang lainnya maka tidak mengapa yang penting dalam masalah yang dzohir ia berbuat adil diantara mereka.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ فَيَعْدِلُ وَيَقُوْلُ اللَّهُمَّ هَذَا قَسَمِي فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِي فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ
Dari Aisyah bahwsanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi antara istri-istrinya dengan adil lalu ia berkata, “Ya Allah inilah pembagianku pada perkara yang aku bisa maka janganlah engkau mencelaku pada perkara yang engkau miliki dan tidak aku miliki (yaitu hatinya)” ( HR Abu Dawud no 2134, At-Thirmidzi no 1140, An-Nasai no 3943, dan Ibnu Majah no 1971. Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad berkata, “Isnadnya shahih dan seluruh perawinya tsiqoh dan Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa sanadnya adalah jayyid di Misykaat (komentar beliau terhadap Misykat) namun beliau melemahkan hadits ini di Al-Irwa’, beliau menjelaskan bahwa hadits ini datang melalui jalan Hammad bin Salamah (secara musnad) namun telah datang dari riwayat Hammad bin Zaid dan Isma’il bin ‘Ulaiyah secara mursal, dan kedua orang ini lebih didahulukan (lebih tsiqoh) daripada Hammad bin Salamah maka hukum hadits ini adalah mursal….Akan tetapi jika terjadi pertentangan antara irsal dan washl (sambung) dan washl tersebut datang dari rawi yang tsiqoh maka tambahannya tersebut diterima…”. (Syarh Abu Dawud kaset no 161). Syaikh Al-Abbad juga berkata, “Bagaimanapun juga (kedudukan hadits ini) namun maknanya benar”)
Yaitu rasa cinta yang terdapat pada hati, yang lebih condong kepada salah satu istri daripada yang lain, inilah yang seseorang tidak mampu untuk berbuat adil
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mencintai Aisyah daripada istri-istrinya yang lain. ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ عَائِشَةُ. فَقُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ؟ فَقَالَ أَبُوْهَا. قُلْتُ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ عُمَرُ بْنِ الْخَطَّابِ. فَعَدَّ رِجَالاً
“Siapakah yang paling engkau cintai?”, beliau berkata, “Aisyah”. Kemudian aku berkata, “Dari kalangan lelaki?”, beliau berkata, “Ayahnya”, kemudian aku berkata, “Kemudian siapa?” ia berkata, “Umar bin Al-Khotthob”, kemudian beliau menyebut beberapa orang.” (HR Al-Bukhari III/1139 no 3462, IV/1584 no 4100 dan Muslim IV/1856 no 2384)
Bahkan kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah lebih daripada istri-istrinya yang lain diketahui oleh Umar bin Al-Khotthob radhiyallahu ‘anhu. (Lihat HR Al-Bukhari V/2001 no 4920). Bahkan hal ini juga diketahui oleh para sahabat yang lain dan lebih-lebih lagi diketahui oleh istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah
أَنَّ نِسَاءَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنَّ حِزْبَيْنِ، فَحِزْبٌ فِيْهِ عَائِشَةُ وَحَفْصَةُ وَصَفِيَّةُ وَسَوْدَةُ وَالْحِزْبُ الآخَرُ أُمُّ سَلَمَةَ وَسَائِرُ نِسَاءِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَكَانَ الْمُسْلِمُوْنَ قَدْ عَلِمُوْا حُبَّ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَائِشَةَ، فَإِذَا كَانَتْ عِنْدَ أَحَدِهِمْ هَدِيَّةٌ يُرِيْدُ أَنْ يُهْدِيَهَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَخَّرَهَا حَتَّى إِذَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِ عَائِشَةَ بَعَثَ صَاحِبُ الْهَدِيَّةِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِ عَائِشَةَ، فَكَلَّمَ حِزْبُ أُمِّ سَلَمَةَ فَقُلْنَ لَهَا كَلِّمِي رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُكَلِّمُ النَّاسَ فَيَقُوْلُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُهْدِيَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم هَدِيَّةً فَلْيُهْدِهَا إِلَيْهِ حَيْثُ كَانَ مِنْ بُيُوْتِ نِسَائِهِ فَكَلَّمَّتْهُ أُمُّ سَلَمَةَ بِمَا قُلْنَ لَهَا فَلَمْ يَقُلْ لَهَا شَيْئًا فَسَأَلْنَهَا فَقَالَتْ مَا قَالَ لِي شَيْئًا فَقُلْنَ لَهَا فَكَلِّمِيْهِ قَالَتْ فَكَلَّمَتْهُ حِيْنَ دَارَ إِلَيْهَا أَيْضًا فَلَمْ يَقُلْ لَهَا شَيْئًا فَسَأَلْنَهَا فَقَالَتْ مَا قَالَ لِي شَيْئًا فَقُلْنَ لَهَا كَلِّمِيْهِ حَتَّى يُكَلِّمَكِ فَدَارَ إِلَيْهَا فَكَلَّمَتْهُ فَقَالَ لَهَا لاَ تُؤْذِيْنِي فِي عَائِشَةَ فَإِنَّ الْوَحْيَ لَمْ يَأْتِنِي وَأَنَا فِي ثَوْبِ امْرَأَةٍ إِلاَّ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَالَتْ أَتُوْبُ إِلَى اللهِ مِنْ أَذَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ثُمَّ إِنَّهُنَّ دَعَوْنَ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأُرْسِلَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم تَقُوْلُ إِنَّ نِسَاءَكَ يُنْشِدْنَكَ اللهَ الْعَدْلَ فِي بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ فَكَلَّمَتْهُ فَقَالَ يَا بُنَيَّة أَلاَ تُحِبِّيْنَ مَا أُحِبُّ؟ قَالَتْ بَلَى (فَأَحِبِّى هَذِهِ) فَرَجَعَتْ إِلَيْهِنَّ فَأَخْبَرَتْهُنَّ فَقُلْنَ (مَا نَرَاكِ أَغْنَيْتِ عَنَّا مِنْ شَيْءٍ فَارْجِعِى إِلَى رَسُوْلِ اللهِ فَقُوْلِي لَهُ إِنَّ أَزْوَاجَكِ يُنْشِدْنَكَ الْعَدْلَ فِي ابْنَةِ أَبِي قُحَافَةَ) فَأَبَتْ أَنْ تَرْجِعَ (قالت : وَاللهِ لاَ أُكَلِّمُهُ فِيْهَا أَبَدًا) فَأَرْسَلْنَ زَيْنَبَ بِنْتَ جَحْشٍ فَأَتَتْهُ فَأَغْلَظَتْ وَقَالَتْ إِنَّ نِسَاءَكَ يُنْشِدْنَكَ اللهَ الْعَدْلَ فِي بِنْتِ أَبِي قُحَافَةَ فَرَفَعَتْ صَوْتَهَا حَتَّى تَنَاوَلَتْ عَائِشَةَ وَهِيَ قَاعِدَةٌ فَسَبَّتْهَا حَتَّى إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَيَنْظُرُ إِلَى عَائِشَةَ هَلْ تَكَلَّمَ قَالَ فَتَكَلَّمَتْ عَائِشَةُ تَرُدُّ عَلَى زَيْنَبَ حَتَّى أَسْكَتَتْهَا قَالَتْ فَنَظَرَ النَّبِيُ صلى الله عليه وسلم إِلَى عَائِشَةَ وَقَالَ إِنَّهَا بِنْتُ أَبَِي بَكْرٍ
“Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi dua kelompok[3], kelompok pertama yaitu Aisyah, Hafshoh, Sofiyah, dan Saudah. Adapun kelompok kedua adalah Ummu Salamah dan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya.
Kaum muslimin telah mengetahui kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah, maka jika salah seorang diantara mereka memiliki hadiah yang hendak ia hadiahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia mengakhirkan pemberian hadiah tersebut. Hingga tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginap di rumah Aisyah maka sang pemiliki hadiahpun mengirim hadiah tersebut untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah Aisyah.
Kelompok Ummu Salamah berkata kepada Ummu Salamah, “Sampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar ia menyampaikan kepada orang-orang, “Barangsiapa yang hendak memberi hadiah maka hendaknya ia memberikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumah-rumah para istri beliau”. Maka Ummu Salamahpun menyampaikan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengucapkan apa-apa. Mereka (para istri yang lain) bertanya kepada Ummu Salamah dan ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengucapkan seuautupun kepadaku”. Mereka berkata kepadanya, “Sampaikanlah kepadanya!!”. Maka Ummu Salamah menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tidak mengucapkan sesuatupun kepadanya. Merekapun bertanya kepadanya dan ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengucapkan seuautupun kepadaku”. Mereka berkata kepadanya, “Sampaikanlah kepadanya hingga ia berbicara kepadamu!!”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendatanginya dan Ummu Salamah menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Janganlah engkau menggangguku tentang Aisyah !!, sesungguhnya tidaklah wahyu turun kepadaku dan aku sedang berada dalam kain bersama seorang wanitapun kecuali Aisyah”. Ummu Salamah berkata, “Aku bertaubat kepada Allah dari mengganggumu ya Rasulullah”.
Kemudian merekapun memanggil Fathimah putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu iapun diutus kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Sesungguhnya istri-istrimu memintamu dengan nama Alalah untuk berbuat adil dalam menyikapi putri Abu Bakar”. Maka Fathimah pun menyampaikan hal itu kepada Rasulullah dan Rasulullah berkata, “Wahai putriku tidakkah engkau mencintai apa yang aku cintai?”, Fathimah berkata, “Tentu”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Maka cintailah wanita ini (Aisyah)!” Maka Fathimahpun kembali kepada para istri Rasulullah (yang mengutusnya) lalu mengabarkan kepada mereka. Mereka berkata ((“Menurut kami engkau tidak memuaskan kami sama sekali, kembalilah kepada Rasulullah dan katakanlah kepadanya bahwa istri-istrimu mengnginkan engkau berbuat adil dalam menyikapi putri Abu Quhafah”)). Namun Fathimah enggan untuk kembali ((ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan berbicara kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Aisyah”)). Merekapun mengutus Zainab binti Jahsy, lalu Zainabpun berbicara dengan keras dan berkata, “Sesungguhnya istri-istrimu memintamu dengan nama Alalah untuk berbuat adil dalam menyikapi putri Abu Quhafah”. Ia mengangkat suaranya hingga menyebut kejelekan Aisyah dan Aisyah sedang dalam keadaan duduk. Iapun mencela Aisyah hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang kepada Aisyah apakah Aisyah akan berbicara?. Maka Aisyahpun berbicara membantah Zainab dan akhirnya menjadikan Zainab terdiam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang kepada Aisyah dan berkata, “Dia adalah putri Abu Bakar”. (HR Al-Bukhari II/911 no 2442 dan Muslim IV/1891 no 2442. Dan lafal yang terdapat dalam kurung adalah riwayat Muslim)
Berkata An-Nawawi, “Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dia adalah putri Abu Bakar” maknanya adalah isyarat akan sempurnanya pemahaman Aisyah dan pandangannya yang bagus” (Al-Minhaj XV/207)
Berkata An-Nawawi. “Makna perkataan “Istri-istrimu memintamu untuk berbuat adil dalam menyikapi putri Abu Quhafah (Aisyah)” yaitu bahwasanya para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau berbuat adil diantara mereka dalam hal rasa cinta yang ada di hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat adil diantara mereka dalam hal sikap perbuatan, giliran menginap, dan yang semisalnya, adapun rasa cinta di hati maka beliau lebih mencintai Aisyah daripada yang lainnya.” (Al-Minhaj XV/205)
Diantara dalil bahwasanya Aisyah adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit parah beliau meminta idzin kepada istri-istrinya yang lain untuk menginap di tempat Aisyah yang kemudian akhirnya beliau meninggal di pangkuan Aisyah.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا
Aisyah berkata, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala sakit yang menyebabkan beliau mati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bertanya, “Saya besok menginap di mana?, saya besok menginap di tempat siapa?” yaitu beliau ingin menginap di tempat Aisyah. Maka istri-istri beliaupun mengidzinkan beliau untuk menginap di mana saja beliau kehendaki. Maka beliaupun menginap di rumah Aisyah hingga beliau meninggal”( HR Al-Bukhari V/2001 no 4919)[4]
Oleh karena itu Allah berfirman
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً (النساء : 129 )
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:129)
Berkata Muhammad bin Sirin, “Aku bertanya kepada ‘Abidah tentang ayat ini maka ia berkata “Rasa cinta dan jimak”. (Sebagaimana diriwayatkan oleh At-Thobari dalam tafsirnya V/314)
Berkata Ibnul ‘Arobi, “Sungguh benar ‘Abidah (As-Salmani), seseorang tidak bisa menguasai hatinya karana hatinya berada diantara dua jari dari jari-jari Ar-Rahman, Allah membolak-balikannya sesukaNya. Demikian juga jimak, seseorang terkadang semangat untuk menjimak salah seorang istrinya namun ia tidak semangat dengan istri yang lain. Jika ia tidak sengaja untuk bermaksud demikian maka tidak mengapa, karena hal itu termasuk perkara yang tidak ia mampui…”. (Ahkamul Qur’an I/634-635)
Berkata Ibnu Qudamah, “Kami tidak mengetahui adanya (perselisihan) antara para ulama bahwa tidak wajib pembagian rata antara istri-istri dalam jimak…namun jika seorang suami mampu untuk membagi rata dalam jimak maka itulah yang terbaik dan lebih utama dan lebih sempurna dalam berbuat adil…dan tidak wajib juga pembagian rata dalam perkara-perkara selain jimak seperti ciuman, sentuhah (usapan) dan yang semisalnya. Karena jika tidak wajib pembagian rata pada jimak maka pada perkara-perkara yang mengantarkan kepada jimak juga lebih tidak wajib”. (Al-Mughni VII/234-235)
Syaikh Utsaimin berkata, “Sebagian ulama berpendapat wajib bagi seorang suami untuk membagi rata dalam hal jimak jika ia mampu. Dan inilah pendapat yang benar karena ini merupakan konsekuensi dari ‘illah (sebab tidak diwajibkannya adil dalam jimak, yaitu karena ketidakmampuan sang suami). Karena tatkala kita menyatakan bahwa ‘illah (sebab) tidak wajibnya berbuat adil dalam hal jimak dikarenakan sang suami tidak mungkin bersikap adil, maka jika sang suami ternyata mampu untuk berbuat adil dalam hal jimak, hilanglah ‘illahnya dan tetaplah hukumnya yaitu wajib berbuat adil (dalam hal jimak).
Atas dasar ini maka jika seseorang mengatakan bahwasanya ia bukanlah orang yang kuat syahwatnya sehingga jika ia menjimaki istrinya yang pertama pada suatu malam iapun tidak mampu untuk menjimaki istrinya yang kedua pada malam itu juga, atau sulit baginya untuk melakukannya, lantas ia berkata, “Kalau begitu aku akan mengumpulkan kekuatanku untuk istriku yang pertama bukan untuk yang kedua” maka hukumnya tidak boleh, karena ia mampu untuk bertindak adil (yaitu semalam untuk istri yang pertama dan malam yang lainnya untuk istri yang kedua-pen). Intinya perkara-perkara yang tidak mungkin bagi sang suami untuk bersikap adil maka Allah tidak membebani seseorang kecuali yang dimampuinya. Dan perkara-perkara yang memungkinnya untuk berbuat adil maka wajib baginya untuk berbuat adil.” (Asy-Syarhul Mumti’ XII/429)
Dan diantara perkara-perkara yang mungkin bagi sang suami untuk berbuat adil adalah pemberian hadiah diantara para istrinya. (Asy-Syarhul Mumti’ XII/429 dan Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/375 no 21418)
Peringatan 1
Berkata Ibnu Taimiyyah, “Jika ia menginap pada salah seorang istrinya semalam atau dua malam atau tiga malam maka dia juga menginap pada istri yang lainnya demikian juga dan ia tidak melebihkan salah satu istrinya atas yang lainnya. (Majmu’ Fatawa XXXII/269)
Beliau juga berkata, “(Namun) jika ia bersepakat (shulh) dengan istri yang hendak diceraikannya bahwasanya dia tinggal di tempat istrinya tersebut tanpa ada aturan pembagian giliran kemudian sang istri ridho maka hal itu boleh sebagaimana firman Allah
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ (النساء : 128 )
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). (QS. 4:128)
Dan dalam kitab shahih (Yaitu shahih Imam Muslim IV/2316 no 3021 -pen) dari Aisyah berkata, “Ayat ini turun tentang seorang wanita yang telah lama bersama suaminya, kemudian suaminya ingin menceraikannya. Sang wanita berkata, “Janganlah engkau menceraiku dan biarkanlah aku bersamamu dan silahkan engkau bebas pada waktu hari giliranku”, lalu turunlah ayat ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ingin menceraikan Saudah maka Saudah lalu menghadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersamanya (tidak menceraikannya) tanpa jatah giliran. Dan demikian juga Rofi’ bin Khodiij mengalami hal yang sama, dan dikatakan bahwa ayat ini turun tentang dirinya”. (Majmu’ Fatawa XXXII/270)
Peringatan 2
Jika seorang wanita menghadiahkan jatahnya kepada istri yang lain kemudian ia menariknya kembali maka tidak mengapa, karena para ulama menjelaskan bahwa hadiah yang tidak boleh untuk ditarik kembali adalah hadiah yang telah di qobdh (pindah tangan), adapun hadiah yang belum pindah tangan maka bisa ditarik kembali. Dan hadiah jatah giliran berkaitan dengan masa depan dan tidak mungkin bisa di qobdh, oleh karena itu boleh bagi sang wanita untuk menariknya kembali. Kecuali jika kasusnya terjadi As-Shulh (kesepakatan antara sang suami dan istri yang merasa akan diceraikan oleh suaminya) sebagaimana yang terjadi antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Saudah, maka sang wanita tidak boleh menarik kembali hadiah jatah nginap yang telah ia berikan kepada istri suaminya yang lain. Wallahu A’lam. (Faedah dari guru kami Syaikh DR Abdullah Alu-Musa’id)
Peringatan 3
Jika seorang wanita telah menghadiahkan jatah gilirannya kepada istri yang lain kemudian sang suami tetap ingin menginap ditempatnya maka sang wanita tidak boleh menolaknya. Karena hak jimak merupakan hak yang sama-sama dimiliki oleh dua belah pihak, jika salah satunya menjatuhkan namun yang lainnya tetap ingin mengambil haknya maka tetap boleh baginya untuk mengambilnya. (Faedah dari guru kami Syaikh DR Abdullah Alu-Musa’id)
Bersambung …
Kota Nabi -shallahu ‘alaihi wa sallam -, 5 Februari 2006
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Adhwaaul Bayaan III/23 (Tafsir surat Al-Israa’ ayat 9)
Beliau juga berkata,
“Membebaskan kaum muslimin yang ditawan oleh musuh merupakan kemaslahatan yang lebih berat dan membayar musuh sebagai tebusan pembebasan mereka merupakan kemudhorotan yang ringan maka kemaslahatan yang berat didahulukan. Adapun jika sama antara kemaslahatan dan kemafsadahan atau kemafsadahan lebih berat seperti menebus para tawanan dengan memberikan senjata kepada musuh yang bisa menyebabkan musuh menggunakan senjata tersebut untuk membunuh sejumlah tawanan yang mau ditebus atau lebih banyak lagi maka kemasalahatan dibuang karena kemafsadahan yang lebih berat…
Demikian juga dengan anggur yang bisa dibuat bir yang merupakan induk dari segala keburukan. Akan tetapi kemasalahatan dari adanya anggur dan juga zabib (anggur yang telah dikeringkan) dengan mengambil manfaat dari keduanya di penjuru dunia merupakan maslahat yang rojih (lebih berat) dari pada mafsadah dibuatnya bir dari perasan anggur.
Berkumpulnya lelaki dan wanita di satu negeri bisa jadi merupakan sebab timbulnya zina, hanya saja kerjasama diantara masyarakat yang terdiri dari para lelaki dan para wanita merupakan maslahat yang lebih rajih daripada mafsadah tersebut. Oleh karenanya tidak seorang ulamapun yang mengatakan bahwa wajib untuk memisahkan para wanita di tempat khusus yang terpisah dari para lelaki dan wajib untuk membentengi mereka dengan benteng yang kuat yang tidak mungkin bisa ditembus dan kuncinya diserahkan kepada orang yang terpercaya…” (Adhwaaul Bayaan III/23 (Tafsir surat Al-Israa’ ayat 9))
[2] Betapa sangat dibutuhkan poligami di zaman sekarang ini… betapa banyak wanita yang akhirnya menjadi perawan tua… betapa banyak wanita yang jika telah dicerai (padahal masih muda) kemudian tidak bisa menikah lagi karena para lelaki mencari gadis yang jumlahnya masih sangat banyak…, demikian juga betapa banyak lelaki yang tidak cukup dengan seorang istri akhirnya harus bersabar karena tidak berpoligami…
Yang lebih menyedihkan lagi sunnah poligami semakin diperangi oleh masyarakat secara umum, bahkan diperangi oleh kaum muslimin sendiri. Terutama para wanita yang terpengaruh dengan pola hidup dan pemikiran orang-orang kafir..???. Bahkan diantara wanita kaum muslimin ada yang lebih suka suaminya berzina dengan wanita lain daripada berpoligami…???!!!
Kondisi seperti inilah yang akhirnya mengantarkan timbulnya banyak penyakit sosial mulai dari timbulnya tempat-tempat perzinahan, timbulnya penyakit-penyakit sekskologi seperti homo seksual dan yang lainnya.
[3] Berkata Ali Al-Qoori’, “Yang dimaksud dengan dua kubu disini adalah dua kelompok yang masing-masing kelompok para anggotanya sepakat model dan pendapapat mereka tentang cara menggauli dan menyikapi Nabi” (Mirqootul Mafaatiih XI/333)
[4]
Peringatan
Hadits ini jelas dan sangat jelas tanpa ada keraguan sama sekali bahwa Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai Aisyah hingga akhir hayat beliau. Lantas apakah ada seorang muslim yang meimiliki iman meskipun hanya sebesar atom melaknat Aisyah..??!!, wanita yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ??!!. Bahkan diantara mereka ada yang menyatakan bahwa Aisyah adalah seorang pezina, padahal Allah telah menyatakan kesuciannya tatkala orang-orang munafik menuduhnya berzina..??!!!, Apakah pantas Allah memberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia yang paling baik di muka bumi ini seorang istri yang terlaknat dan bejat…????
Allah berfirman
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُوْلَئِكَ مُبَرَّؤُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (النور : 26 )
Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).Mereka (yang di tuduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (yaitu surga). (QS. 24:26)
Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai seorang pezina..???. Bahkan yang lebih parah daripada itu ada suatu adat yang sangat jelek yang berlaku di salah satu negara yang mengaku menerapkan negara Islam, adat tersebut yaitu mereka memanggil seorang wanita pezina dengan sebutan “Aisyah”. Semoga Allah melaknat mereka
Allah berfirman
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (النور : 19 )
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. 24:19)
lihat juga:
Post a Comment