Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda
2. Cantik dan sejuk dipandang
Tabi’at dan naluri manusia mendambakan dan merindukan kecantikan, jika ia tidak memperoleh kecantikan maka seakan-akan ada sesuatu yang kurang yang ingin diraihnya. Dan jika ia telah meraih kecantikan tersebut maka seakan-akan hatinya telah tenang dan seakan-akan kebahagian telah merasuk dalam jiwanya. Oleh karena itu Syari’at tidak melalaikan kecantikan sebagai faktor penting dalam memilih istri. Diantara bukti yang menunjukan pentingnya faktor yang satu ini, bahwasanya kecintaan dan kedekatan serta kasih sayang akan semakin terjalin jika faktor ini telah terpenuhi.
Dari Al-Mughiroh bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau melamar seorang wanita maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepadanya
اُنْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَْن يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah ia (wanita yang kau lamar tersebut) karena hal itu akan lebih menimbulkan kasih sayang dan kedekatan diantara kalian berdua[1]
Oleh karenanya disunnahkan bagi seseorang untuk mencari wanita yang cantik jelita.
Berkata Ibnu Qudamah, “Hendaknya ia memilih wanita yang cantik jelita agar hatinya lebih tentram serta ia bisa lebih menundukkan pandangannya dan kecintaannya (mawaddah) kepadanya akan semakin sempurna, oleh karena itu disyari’atkan nadzor (melihat calon istri) sebelum dinikahi. Diriwayatkan[2] dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda,
إِنَّمَا النِّسَاءُ لُعَبٌ فَإِذَا اتَّخَذَ أَحَدُكُمْ لُعْبَةً فَلْيَسْتَحْسِنْهَا
“Para wanita itu ibarat mainan, maka jika salah seorang dari kalian hendak memiliki sebuah mainan maka hendaknya ia memilih mainan yang baik (yang cantik) [3]
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Terkadang seseorang termasuk golongan para pendamba kecantikan maka ia tidak bisa menjaga kemaluannya kecuali jika menikahi wanita yang cantik jelita”[4]
Berkata Al-Munawi, “Jika pernikahan disebabkan dorongan kecantikan maka pernikahan ini akan lebih langgeng dibandingkan jika yang mendorong pernikahan tersebut adalah harta sang wanita, karena kecantikan adalah sifat yang senantiasa ada pada sang wanita adapun kekayaan adalah sifat yang bisa hilang dari sang wanita”[5]
Peringatan 1
Imam Ahmad berkata, “Jika seseorang ingin mengkhitbah (melamar) seorang wanita maka hendaknya yang pertama kali ia tanyakan adalah kecantikannya, jika dipuji kecantikannya maka ia bertanya tentang agamanya. Jika kecantikannya tidak dipuji maka ia menolak wanita tersebut bukan karena agamanya namun karena kecantikannya”[6]
Perkataan Imam Ahmad ini menunjukan akan tingginya fiqh dan pemahaman beliau karena jika yang pertama kali ditanyakan oleh seseorang tentang sang wanita adalah agamanya lalu dikabarkan kepadanya bahwa sang wanita adalah wanita yang shalihah, kemudian tatkala ia memandangnya ternyata sang wanita bukan merupakan seleranya, lantas iapun tidak menikahi wanita tersebut, maka berarti ia telah meninggalkan wanita tersebut padahal setelah ia mengetahui bahwa wanita tersebut adalah wanita yang shalihah.. Jika demikian maka ia telah termasuk dalam celaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “maka hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya (jika tidak kau lakukan) maka tanganmu akan menempel dengan tanah”
Peringatan 2
Kecantikan adalah hal yang relatif, terkadang seorang wanita sangatlah cantik di mata seseorang namun menurut orang lain tidaklah demikian, oleh karena itu disyari’atkan bagi seseorang yang hendak menikah untuk melihat calon istrinya sehingga bisa diketahui wanita tersebut cantik atau tidak, dan hendaknya janganlah ia hanya mencukupkan dengan informasi yang masuk kepadanya tentang kecantikan sang wanita tersebut tanpa memandangnya secara langsung.
Allah ta’ala berfirman
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء
“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi…” (QS 4:3)
Berkata Syaikh As-Sa’di, “Ayat ini menunjukan bahwasanya seyogyanya seseorang yang hendak menikah untuk memilih (wanita yang disenanginya), bahkan syari’at telah membolehkan untuk melihat wanita yang hendak dinikahinya agar ia berada di atas ilmu tentang wanita yang akan dinikahinya”[7]
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Sesungguhnya penglihatan orang lain tidak mewakili penglihatan sendiri secara langsung. Bisa jadi seorang wanita cantik menurut seseorang namun tidak cantik menurut orang yang lain. Terkadang seseorang –misalnya- melihat seorang wanita dalam suatu kondisi tertentu bukan pada kondisi sang wanita yang biasanya. Terkadang seseorang dalam kondisi gembira dan yang semisalnya maka ia mengalami kondisi tersendiri. Demikian juga tatkala ia sedang sedih maka ia memiliki kondisi yang tersendiri. Kemudian juga terkadang seorang wanita tatkala mengetahui bahwa ia akan dinadzor maka iapun menghiasi dirinya dengan banyak hiasan-hiasan, sehingga tatkala seorang lelaki memandangnya maka ia menyangka bahwa wanita tersebut sangat cantik jelita, padahal hakekatnya tidaklah demikian”[8]
Namun jika memang seseorang tidak memungkinkan untuk melihat sang wanita secara langsung maka disunnahkan baginya untuk mewakilkan nadzornya kepada wanita yang dipercayainya.
Berkata As-Shon’aanii, “Dan jika tidak memungkinkan untuk melihat sang wanita (secara lagsung) maka disunnahkan[9] untuk mengutus seorang wanita yang dipercaya untuk melihat wanita tersebut kemudian mengabarkan kepadanya sifat-sifat wanita tersebut”[10]
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَأَةً فَبَعَثَ امْرَأَةً لِتَنْظُرَ إِلَيْهَا فَقَالَ شُمِّي عَوَارِضَهَا وَانْظُرِي إِلَى عُرْقُوْبَيْهَا
Dari Anas bin Malik shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menikahi seorang wanita maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengutus seorang wanita (yaitu Ummu Salamah) untuk melihat wanita tersebut seraya berkata, ((Ciumlah (bau) gigi ‘aridhnya (yaitu gigi-gigi yang terletak antara gigi seri dan gigi geraham)[11] dan lihatlah ‘uqrubnya (‘uqrub adalah bagian belakang mata kaki yang terletak antara betis dan sendi (tungkak) kaki)[12])) [13]
Peringatan 3 (Syarat bolehnya melihat calon istri)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Syarat untuk boleh melihat calon istri ada enam :
1. Tidak berkholwat (berdua-duaan) dengan sang wanita tatkala memandangnya.
Karena sang wanita masih merupakan wanita ajnabiah bagi sang lelaki. Dan wanita ajnabiah tidak boleh berkholwat dengan seorang lelaki karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
Dan janganlah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali jika sang wanita bersama mahromnya[14]
Dan larangan ini menunjukan akan haramnya hal ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثُهُمَا الشَّيْطَانُ
Tidaklah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali syaitan adalah orang ketiga diantara mereka berdua[15]
Hadits ini menunjukan bahwa pengharamannya yang ditekankan[16]
Jika memungkinkan baginya untuk menadzor sang wanita melalui kesepakatan dengan wali sang wanita yaitu sang wali ikut hadir bersamanya maka ia bisa melakukannya. Dan jika tidak memungkinkan maka boleh baginya untuk bersembunyi ditempat yang biasanya dilewati oleh sang wanita dan tempat-tempat yang semisalnya kemudian ia melihat kepada sang wanita tersebut.[17]
2. Hendaknya memandangnya dengan tanpa syahwat karena nadzor (memandang) wanita ajnabiah karena syahwat diharamkan. Dan maksud dari melihat calon istri adalah untuk mengetahui kondisinya bukan untuk menikmatinya
3. Hendaknya ia memiliki prasangka kuat bahwa sang wanita akan menerima lamarannya.
Jika dikatakan bagaimana ia bisa tahu bahwa ia akan diterima oleh sang wanita (ada kemungkinan bahwa lamarannya diterima-pen)??.
Jawabannya bahwsanya Allah menjadikan manusia bertingkat-tingkat sebagaimana firmanNya
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضاً سُخْرِيّاً وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ (الزخرف : 32 )
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. (QS. 43:32)
Jika salah seorang tukang sapu maju untuk melamar anak seoang mentri maka biasanya ia akan ditolak. Demikian juga seseorang yang telah tua dan tuli ingin maju melamar seorang gadis yang cantik maka ia tentunya memiliki persangkaan kuat bahwa ia akan ditolak.[18]
4. Hendaknya ia memandang kepada apa yang biasanya nampak (terbuka) dari tubuh sang wanita.
Seperti wajah, leher, tangan, kaki, dan yang semisalnya. Adapun ia melihat bagian-bagian tubuh sang wanita yang biasanya tidak terbuka maka hal ini tidak diperbolehkan. Perkataan “yang biasanya (nampak dari diri seorang wanita)” terkait dengan ‘urf (adat) yang berlaku di zaman As-Salaf As-Sholeh bukan dengan adat sembarang orang[19]. Karena kalau hal ini kita kembalikan kepada adat setiap orang maka perkaranya akan tidak teratur dan akan timbul banyak perselisihan. Akan tetapi maksudnya adalah apa yang biasanya terbuka pada diri sang wanita dihadapan mahromnya. Dan yang paling penting dalam hal ini adalah wajah.[20]
Syaikh Utsaimin juga memboleh sang wanita untuk menampakkan rambutnya kepada sang lelaki yang hendak melamarnya.[21]
Dan boleh juga sebaliknya bagi sang wanita untuk melihat kepada sang lelaki, melihat kepada wajahnya, kakinya, lehernya, dan rambutnya sebagaimana sang lelaki melihatnya, karena kedua belah pihak butuh untuk melihat pasangannya.[22]
5. Hendaknya ia benar-benar bertekad untuk melamar sang wanita. Yaitu hendaknya pandangannya terhadap sang wanita itu merupakan hasil dari keseriusannya untuk maju menemui wali wanita tersebut untuk melamar putri mereka. Adapun jika ia hanya ingin berputar-putar melihat-lihat para wanita (satu per satu) maka ia tidaklah diperbolehkan.
6. Hendaknya sang wanita yang dinadzornya tidak bertabarruj, memakai wangi-wangian, memakai celak, atau yang sarana-sarana kecantikan yang lainnya. Karena bukanlah maksudnya sang lelaki ditarik hatinya untuk menjimaki sang wanita hingga sang wanita berpenampilan dan bermacak sebagaimana seorang wanita yang berhias di hadapan suaminya agar menarik suaminya untuk berjimak. Hal ini juga bisa menimbulkan fitnah, dan asalnya adalah haram karena ia masih merupakan wanita ajnabiah. Selain itu sikap sang wanita yang demikian ini dihadapan sang lelaki pelamar akan memberikan akibat buruk kepada sang lelaki, karena jika sang lelaki kemudian menikahinya lalu mendapatinya tidak sebagaimana tatkala ia menadzornya maka jadilah ia tidak tertarik lagi kepadanya, serta berubahlah penilaian sang lelaki kepadanya. Terutama bahwasanya syaitan menghiasi dan menjadikan wanita yang tidak halal bagi seorang lelaki lebih cantik dipandangan lelaki tersebut dibanding istrinya. Oleh karena itu engkau dapati –semoga Allah melindungi kita- sebagian orang istrinya sangat cantik jelita, kemudian ia melihat seorang wanita yang jelek namun wanita tersebut menjadikannya bernafsu, karena syaitan menghiasi sang wanita tersebut dipandangan sang lelaki karena wanita tersebut tidak halal baginya. Jika tergabung antara perbuatan syaitan ini dengan tingkah sang wanita yang juga berhias diri sehingga menambah kecantikannya dan keindahannya, lantas setelah pernikahan sang lelaki mendapati sang wanita tidak sebagaimana gambarannya maka akan timbul akibat yang buruk”[23]
Boleh bagi sang lelaki untuk mengulang-ngulangi nadzor kepada sang wanita karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
Jika salah seorang dari kalian ingin melamar seorang wanita maka jika dia mampu untuk memandang pada wanita tersebut apa yang mendorongnya untuk menakahi sang wanita maka hendaknya ia lakukan[24]
Jika pada nadzor yang pertama yang dilakukannya ia tidak mendapati pada diri wanita tersebut apa yang memotivasinya untuk menikahi sang wanita maka hendaknya ia menadzor lagi sang wanita untuk yang kedua kali dan yang ketiga kalinya.[25]
Hukum berbicara dengan wanita yang akan dikhitbah??, atau dengan wanita yang sudah ia khitbah namun belum akad nikah??
Syaikh Utsaimin berkata, “Suara wanita bukanlah aurat berdasarkan nash Al-Qur’an. Allah berfirman kepada Ummahatul Mukminin para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ (الأحزاب : 32 )
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya (QS. 33:32)
Firman Allah ((Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara)) merupakan idzin (bagi wanita) untuk berbicara dengan lelaki, dan suara wanita boleh untuk didengar oleh lelaki akan tetapi tanpa menunduk-nundukan suara tatkala berbicara. Demikian juga para wanita di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang diantara mereka datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di majelis beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para lelaki hadir tatkala itu. Maka tidak mengapa bagi seorang lelaki untuk mendengar suara seorang wanita. Akan tetapi sekarang permasalahannya apakah para lelaki yang mendengar suara wanita menikmati dan berlezat-lezat mendengarkan suara wanita tersebut?. Maka yang bertanggung jawab adalah sang lelaki yang berlezat-lezat mendengar suara wanita. Adapun suara wanita itu sendiri bukanlah aurat”[26]
Demikian juga fatwa Syaikh Bin Baaz bahwa suara wanita bukanlah aurat.[27]
Jika pembicaraan yang terjadi antara seorang lelaki dengan wanita yang akan dikhitbahnya adalah pembicaraan yang biasa sebagaimana jika sang lelaki berbicara dengan wanita yang lainnya, maka hal ini tidak mengapa. Dan ini merupakan pendapat Syaikh Bin Baaz dan dzohir dari perkataan Syaikh Al-Albani (sebagaimana akan datang), karena asalnya suara wanita bukanlah aurat.
Syaikh Bin Baaz berkata, “Boleh bagi seorang lelaki jika ingin mengkhitbah seorang wanita untuk berbicara dengan wanita yang akan dikhitbahnya tersebut, dan boleh untuk memandangnya dengan tanpa kholwat….dan memandang lebih parah daripada berbicara (padahal melihat wanita yang akan dikhitbah diperbolehkan maka bagaimana lagi dengan berbicara-pen). Maka jika pembicaraan dengan sang wanita tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan pernikahan atau tempat tinggal, perjalanan hidup sang wanita hingga diketahui apakah sang wanita mengetahui ini dan itu, maka tidaklah mengapa jika sang lelaki ingin mengkhitbahnya. Adapun jika ia tidak ingin mengkhitbahnya maka tidak boleh baginya untuk berbicara dengannya. Namun selama ia ingin mengkhitbahnya maka tidak mengapa baginya untuk membahas dengan sang wanita perkara-perkara yang berkaitan dengan khitbah, tentang keinginannya menikahi sang wanita, dan sang wanita juga demikian tanpa adanya kholwat, akan tetapi dari jarak jauh (misalnya melalui telepon-pen[28]) atau ditemani ayahnya atau saudara laki-lakinya atau ibunya dan yang semisalnya”[29]
Syaikh Bin Baaz juga ditanya, “Apa hukum pembicaraan melalui telepon antara seorang lelaki dengan wanita yang telah dikhitbahnya, dan maksud dari pembicaraan ini adalah untuk (lebih) saling mengenal sebelum keduanya terikat dengan tali pernikahan..??”
Syaikh Bin Baaz Menjawab, “Kami tidak mengetahui adanya larangan pembicaraan antara seorang lelaki dengan wanita yang telah dikhitbahnya jika pembicaraan yang berlangsung terlepas dari perkara-perkara yang dilarang dan tidak mengantarkan kepada keburukan akan tetapi maksudnya adalah untuk saling mengenal (menjajaki), yang lelaki bertanya dan yang wanita juga bertanya. Hal ini tidak mengapa. Sang wanita bertanya tentang keadaan sang lelaki, pekerjaannya…, dan sang lelaki juga bertanya kepada sang wanita dengan pertanyaan-pertanyaan yang semisal dengan maksud untuk lebih mendapatkan keyakinan sebelum melanjutkan pada jenjang pernikahan, maka hal ini tidak mengapa. Adapun jika maksud dari pembicaraan adalah selain dari pada itu seperti untuk menikmati suara sang lelaki atau suara sang wanita atau membuat janji-janji yang akhirnya mengantarkan kepada perbuatan keji maka inilah yang tidak diperbolehkan. Maka yang wajib bagi mereka berdua adalah berbicara pada perkara-perkara yang memang diperlukan dalam urusan khitbah.. Adapun perkara-perkara yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah maka wajib untuk dijauhi”[30]
Jika seorang lelaki kawatir dirinya tatkala berbicara dengan sang wanita melalui telepon bisa menimbulkan fitnah –atau ia berledzat-ledzatan dengan pembicaraan tersebut sehingga pembicaraannya melebar dan tidak ada kaitannya dengan proses khitbah- maka hendaknya dia tidak berbicara dengan sang wanita. Oleh karena itu Syaikh Ibnu Utsaimin pernah berkata, “Bolehkah bagi sang lelaki untuk berbicara dengan sang wanita (yang mau ia nadzor)?, jawabannya adalah tidak, karena pembicaraan lebih memotivasi syahwat dan rasa nikmat mendengar suaranya. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ((Hendaknya ia melihat kepadanya)), dan tidak berkata, ((Hendaknya ia mendengar suaranya))”[31]
Terlebih lagi jika sang lelaki telah mengkhitbah sang wanita, maka biasanya mereka berdua merasa seakan-akan telah terangkat hijab yang membatasi mereka berdua, seakan-akan telah ada perasaan khusus yang mengalir di hati mereka berdua. Perasaan khusus inilah yang dimanfaatkan oleh syaitan untuk menggelincirkan mereka berdua, padahal sang wanita hukumnya adalah masih wanita ajanabiah bagi sang lelaki sebagaimana wanita-wanita yang lainnya. Oleh karena itu pembicaraan yang terjadi antara seorang lelaki dengan wanita yang telah dikhitbahnya biasanya lebih dikhawatirkan lagi bahayanya.
Syaikh Al-Albani pernah ditanya, “Bolehkah aku berbicara dengan wanita yang telah aku khitbah (lamar) melalui telepon?”, maka beliau menjawab, “Tidak boleh selama engkau belum melaksanakan akad nikah dengannya”. Penanya berkata, “Meskipun aku meneleponnya dalam rangka untuk menasehatinya?”, Syaikh berkata, “Tidak boleh”
Penanya berkata, “Bolehkah aku -tatkala mengunjunginya- berbicara dengannya jika dia disertai mahromnya?”, Syaikh berkata, “Boleh, akan tetapi engkau hanya boleh berbicara dengannya sebagaimana engkau berbicara dengan wanita yang lain” [32]
Peringatan 4
Sebagian salaf membenci untuk menikahi wanita yang terlalu cantik, berkata Al-Munawi, “…dan para salaf membenci wanita yang terlalu cantik karena hal ini menimbulkan sikap mentang-mentang (terlalu pede) pada wang wanita yang akhirnya mengantarkannya kepada sikap perendahan terhadap sang pria”[33]
Ada sebuah hadits yang menunjukan larangan menikahi seorang wanita karena selain agamanya, dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda
لاَ تُنكِحوا النساءَ لِحُسْنِهن فَلَعَلَّهُ يُرْدِيْهِنَّ، ولا لِمَالِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُطْغِيْهِنَّ وَانْكِحُوْهُنَّ لِلدِّيْنَ. وَلَأَمَةٌ سَوْدَاءُ خَرْمَاءُ ذاتُ دِينٍ أَفْضَلُ
“Janganlah kalian menikahi para wanita karena kecantikan mereka karena bisa jadi kecantikan mereka menjerumuskan mereka kedalam kebinasaan (karena akan menimbulkan sifat ujub dan takabbur pada mereka), dan janganlah kalian menikahi para wanita karena hartanya karena bisa jadi harta mereka menjadikan mereka berbuat hal-hal yang melampaui batas (menjatuhkan mereka kedalam kemaksiatan dan kejelekan), namun nikahilah para wanita karena agama mereka, sesungguhnya seorang budak wanita yang hitam dan terpotong sebagian hidungnya dan telinga yang berlubang namun agamanya baik itu lebih baik” [34]
Namun hadits ini lemah, tidak bisa dijadikan hujjah.
Bersambung …
Di susun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda
Artikel www.firanda.com
Catatan kaki
——————-
[1] HR At-Thirmidzi III/397 no 1087, Ibnu Majah no 1865 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani. (Lihat As-Shahihah no 96)
[2] Hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dho’ifah 1/675 no 462
[3] Al-Mugni 7/82
[4] Ceramah Syikh Ibnu Utsaimin (Syarh Bulugul Maram, kitab An-Nikaah kaset no 2)
[5] Faidhul Qodir 3/271
[6] Syarh Muntaha Al-Irodaat 2/623
[7] Tafsir As-a’di I/164
[8] Asy-Syarhul Mumti’ XII/20.
Sebagian orang tatkala mencari informasi tentang wanita yang diincarnya maka iapun menanyakan dan meyerahkan hal ini pada seorang wanita, baik adik wanitanya, atau seorang wanita yang ia percayai. Namun yang perlu diingat pandangan seorang wanita tidak sama dengan pandangan seorang lelaki dalam menilai kecantikan seseorang. Yang lebih menyedihkan terkadang jika sang wanita yang ia percayai tersebut merupakan sahabat wanita yang diincarnya maka sang wanita akan mengabarkan bahwa wanita yang diincarnya tersebut sangatlah cantik, karena ia merupakan sahabatnya sehingga penilaiannya tidaklah objektif. Sebaliknya jika terjadi permusuhan antara kedua wanita tersebut maka kebenciannya itu akan menjadikannya sang wanita buruk dipandangannya. Oleh karena itu jalan keluarnya adalah hendaknya seorang lelaki melihat calon istrinya secara langsung. Memang benar sebelum ia memandang hendaknya ia mencari informasi yang akurat tentang wanita incarannya itu, namun ia sebaiknya tetap melihatnya.
[9] Dan Al-‘Aini telah menyatakan hal ini sebelum As-Shon’aani dalam Umdatul Qori’ XX/119
[10] Subulus Salam III/113
[11] Subulus Salam III/113. Berkata As-Shon’aani, “Maksudnya adalah mencium bau mulutnya”
[12] Lihat An-Nihayah fi ghoriibil hadits III/221
[13] HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/180 no 2699 kemudian berkata, “Ini adalah hadits shahih sesuai dengan kriteria Mjuslim dan tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim”. Dikeluarkan juga oleh Ahmad III/231 no 13448 dan ‘Abd bin Humaid I/408 no 1388.
[14] HR Al-Bukhari no 3006 dan Muslim 1341
[15] HR Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat shahih Ibnu Hibban 1/436), At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184 , dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/792 no 430
[16] Asy-Syarhul Mumti’ XII/22
[17] Asy-Syarhul Mumti’ XII/20
[18] Asy-Syarhul Mumti’ XII/23
[19] Kalau kita kembalikan kepada adat wanita sekarang ini maka akan sangat bahaya sekali, apalagi adat wanita barat yang biasa membuka auratnya dengan begitu bebasnya dihadapan umum…!!!
[20] Asy-Syarhul Mumti’ XII/21
[21] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 165 side B
Peringatan
Memang ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang bagian tubuh wanita yang boleh dilihat tatkala nadzor. Mayoritas ulama berpendapat bahwa bagian tubuh wanita yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua tangan (Nailul Authoor VI/240). Akan tetapi pendapat ini masih perlu diteliti lagi mengingat ada atsar yang menyelisihi hal ini
Berkata Ibnu Hajar dalam At-Talkhiis Al-Habiir (III/147), “Abdurrozzaaq (Al-Mushonnaf VI/163 no 10352), Sa’iid bin Manshuur, dan Ibnu Abi ‘Amr meriwayatkan dari Sufyaan, dari ‘Amr bin Diinaar dari Muhammad bin ‘Ali bin Al-Hanafiyah, bahwasanya Umar bin Al-Khotthoob melamar Ummu Kaltsuum putri Ali bin Abi Tholib. Lalu Ali menjelaskan kepada Umar bahwa putrinya masih kecil. Ali berkata, “Aku akan mengutusnya kepadamu, jika ia ridho maka ia adalah istrimu”. Maka Alipun mengutus putrinya (Ummu Kaltsuum) ke Umar, lalu Umar menyingkap betis Ummu Kaltsuum. Ummu Kaltsuumpun berkata, “Kalau engkau bukanlah pemimpin kaum muslimin maka aku akan menampar matamu”.
Dan atsar ini merupakan problem bagi orang-orang yang menyatakan bahwa tidak boleh melihat tatkala nadzor kecuali wajah dan kedua tangan”
Adapun pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (X/30) bahwasanya boleh melihat seluruh tubuh sang wanita dengan berdalil kisah Jabir yang bersembunyi untuk melihat wanita yang ingin dipinangnya maka ini merupakan pendapat yang aneh dan sepanjang pengetahuan penulis hanya beliau yang berpendapat demikian.
Ketika kami (penulis) bertanya kepada guru kami Syaikh Abdul Qoyyum tentang pendapat Ibnu Hazm maka beliau berkata, “Buruknya pendapat ini tidak perlu dibantah, apakah sang wanita yang diintip Jabir suka berjalan sambil bertelanjang??, tentunya ia berjalan sambil membuka yang biasanya terbuka di hadapan mahramnya”
Syaikh Al-Albani mengomentari pendapat Ibnu Hazm, “Dan hadits Jabir meskipun tidak menunjukan pendapat Ibnu Hazm akan tetapi tidak diragukan lagi bahwasanya hadits ini menunjukan ukuran yang lebih dari pendapat Jumhur (yaitu lebih daripada wajah dan kedua tangan), Wallahu A’lam” (At-Ta’liiqoot Ar-Rodhiyyah ‘ala Ar-Roudhoh An-Nadiyyah II/154)
Oleh karena itu pendapat yang dipilih oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas merupakan pendapat yang paling tengah.
[22] Fatwa Syaikh Utsaimin dalam Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 318 side B. Dan ini merupakan pendapat jumhur ahli fiqih dari madzhab Hanafiah, Malikiah, As-Syafi’iah, dan Hanabilah. Hal ini dikarenakan bahwa seluruh perkara (hikmah) yang tersebutkan dalam hadits-hadits yang menunjukan alasan dibolehkannya seorang lelaki melihat wanita yang akan dilamarnya juga berlaku bagi sang wanita. Wanita juga berhak untuk mencari seorang suami yang tampan dan terbebas dari aib karena hal ini juga akan mendukung langgengnya rumah tangga. Bahkan terkadang hal sangat penting bagi sang wanita karena ia tidak bisa meninggalkan suaminya jika ternyata suaminya tidak membahagiakannya atau terdapat aib-aib pada suaminya kecuali dengan sangat sulit sekali. Berbeda dengan lelaki, yang jika istrinya tidak menyenangkannya maka mudah baginya untuk menceraikannya. Wallahu A’lam (Lihat Ahkaam Ar-Ru’yah ‘indal khitbah 18-19)
[23] Asy-Syarhul Mumti’ XII/22-23
[24] HR Ahmad IV/245, At-Thirmidzi no 1087. An-Nasai no 1865 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah no 204)
[25] Asy-Syarhul Mumti’ XII/21
[26] Liqoo Al-Baab Al-Maftuuh kaset no 145 side A
[27] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 890
Sebagian wanita terlalu berlebihan sehingga berbicara dengan para lelaki dengan suara yang keras karena salah menerapkan firman Allah ((Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara)).
Syaikh Bin Baaz berkata, “Hendaknya seorang wanita berbicara dengan wajar (sikap tengah), tidak berlebih-lebihan (dengan mengangkat suaranya) dan tidak pula menunduk-nundukan suaranya. Oleh karena itu Allah berfirman وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا ((Dan hendaknya kalian berucap dengan ucapan yang ma’ruf)). Inilah yang semestinya seorang wanita, hendaknya bersikap tengah (wajar) tatkala berbicara…” (Silsilah Al-Huda wan Nuur kaset no 269)
[28] Karena soal yang ditujukan penanya kepada Syaikh Bin Baaz berkaitan dengan hukum sang penanya yang berbicara dengan wanita yang akan dikhitbahnya melalui telepon (Lihat teks pertanyaannya dalam Majmu’ Fatawa wa maqoolaat mutanawwi’ah XX/431)
[29] Majmu’ Fatawa wa maqoolaat mutanawwi’ah XX/431
[30] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 342
[31] Asy-Syarhul Mumti’ XII/21
[32] Silsilah Al-Huda wan Nuur kaset no 269
[33] Faidhul Qodir 3/271
[34]HR Ibnu Majah, Al-Bazzar, dan Al-Baihaqi, dan didhoifkan oleh Syaikh Al-Albani (Ad-Dho’ifah 3/172), Dhoful Jami’ no 6216.
Seri 1
Seri 2
Seri 3
Seri 4
@sumber Firanda.com
Post a Comment