BAB KEEMPAT
SEJARAH DUSTA VERSI IDAHRAM
(Koleksi kedustaan idahram)
Prolog :
Senjata yang paling utama yang digunakan oleh orang-orang yang hasad terhadap dakwah salafy wahabi adalah tuduhan bahwasanya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan untuk memerangi mereka. Tuduhan inilah yang selalu digembar-gemborkan oleh mereka, dan tuduhan inilah yang menjadi pembahasan utama idahram untuk menggambarkan karakter bengis yang haus darah dari sosok seorang wahabi.
Akan tetapi yang benar adalah, barang siapa yang memperhatikan sejarah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab maka ia akan mendapati perkara-perkara berikut:
Pertama : Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab dan para pengikutnya seperti Alu Sa’uud mereka berada di atas manhaj salaf dalam hal tidak bolehnya menghalalkan darah kaum muslimin kecuali dengan dalil syar’i. Secara umum mereka berpegang teguh dengan manhaj ini dan tidak keluar dari jalan ini, kecuali mungkin dalam beberapa peristiwa yang sangat jarang, dan yang merupakan kesalahan atau kesalahan praktek dari sebagian pengikut mereka. Akan tetapi mereka sendiri mengingkari kesalahan-kesalahan dalam praktek-praktek yang keliru
Kedua : Musuh-musuh merekalah yang pertama kali memulai mengangkat pedang dan senjata untuk melawan mereka. Bahkan sejak awal kali muncul dakwah Syaikh Muhammad di daerah Uyainah, dimana Gubernur Ahsaa’ (dari Bani Kholid) telah mengancam gubernur Uyainah Utsman bin Mu’ammar untuk membunuh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (sebagaimana akan datang penjelasannya lebih lanjut). Sebagaimana juga yang dilakukan oleh ibnu Syamis al-‘Anazi.
Kemudian tatkala dakwah Syaikh sudah mantap di daerah Dir’iyah maka pemimpin kota Riyadh –tatkala itu- Dahhaam bin Dawwaas dialah yang pertama kali memulai peperangan.
Ketiga : Para musuh sering kali menipu dan mengkhianati para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Beliau mengirim para dai, para ulama, para pengajar di kampung-kampung untuk mengajarkan syari’at Islam, akan tetapi para musuh di kampung-kampung tersebut berkhianat. Padahal mereka telah menyatakan berbai’at kepada Muhammad bin Sa’ud rahimahullah. Mereka lalu menyatakan pembangkangan secara terang-terangan dan membatalkan bai’at dan perjanjian. Kondisi seperti ini mengkonsekuensikan adanya penyerangan terhadap para pembangkang dan pemberontak tersebut untuk memberi pelajaran bagi mereka.
Keempat : Para penguasa Hijaz (Mekah dan Madinah sering kali menyatakan secara terang-terangan permusuhan mereka terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Permusuhan yang mereka lancarkan bervariasi baik yang berkaitan dengan agama maupun politik. Bahkan terkadang mereka membunuh sebagian ulama dan dai, serta utusan yang dikirim oleh para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dari Dir’iyah.
Kelima : Mereka para pemimpin kota Mekah sering kali menghalangi hak-hak para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Seperti melarang mereka untuk berdakwah dan melarang mereka untuk menunaikan ibadah haji. Syarif Gholib telah melarang mereka untuk berhaji selama bertahun-tahun, hingga akhirnya ia mengizinkan pada tahun 1198 H. Lalu ia kembali melarang untuk yang kedua kalinya pada tahun 1203 dan tahun-tahun selanjutnya, hingga akhirnya ia pun menyerang para pengikut Syaikh Muhammad. Syarif Gholib dan penguasa lainnyalah yang pertama kali memulai peperangan untuk menyerang para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab.
(Lihat penjelasan kelima perkara di atas dalam kitab “Islaamiyah Laa Wahhaabiyah”, karya Prof. DR Nashir bin Abdil Kariim al-‘Aql hal 241-242, terbitan Daar Kunuuz Isybiliyaa, cetakan kedua 1425 H/2004 M)
Maka jika ternyata justru musuh-musuh dakwah Wahabi yang memulai peperangan dan permusuhan maka sangatlah wajar jika kemudian para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab kemudian memilih metode tegas dan juga menyerang tatkala kondisi mengharuskan demikian, memandang kekuatan musuh dan juga bercokolnya hawa nafsu dalam hati-hati mereka sehingga tidak mau menerima kebenaran.
Dongeng Idahram
Buku Idahram yang berjudul “Sejarah Berdarah Sekte Salafy Wahabi, Mereka Telah Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama”, ternyata berisi terlalu banyak kedustaan dan manipulasi –sebagaimana yang akan kita simak bersama- koleksi kedustaan-kedustaan tersebut. Idahram mengambil sumber sejarahnya dari beberapa sumber:
Pertama : Dari buku-buku karya orang kafir, seperti buku God’s Terrorits, karya sejarawan Inggris kelahiran india, yang disinyalir beragama budha, karena telah menulis sebuah buku yang membela agama budha, sebagaimana akan datang penjelasannya.
Diantaranya juga buku As-Sijil At-Taarikhi li al-Khaliij wa ‘Umman wa Awshoth al-jazirah al-‘Arabiyah. Buku ini adalah buku terjemahan dari sebuah buku yang berjudul Gazetteer of the Persian Gulf, Oman, and Central Arabia karya Seorang sejarawan Inggris yang bernama J.G Lorimer, yang bekerja di pemerintahan Inggris di India.
Dan disebutkan para peneliti buku ini, bahwasanya sang penulis dalam ungkapan-ungkapannya sangat nampak mendukung adanya penjajahan yang dilakukan oleh negaranya Inggris, hal ini juga sebagaimana diingatkan oleh para penerjemah buku ini di bagian muqoddimah buku ini. (silahkan lihat penjelasan hal ini di http://www.almajara.com/forums/showthread.php?6770-quot-). Karenanya buku ini memang awalnya dicetak oleh pemerintah Inggris untuk kepentingan pemerintahan (lihat http://ar.wikipedia.org/wiki/دليل_الخليج)
Kedua : Dari buku-buku karya orang syi’ah. Diantaranya buku Kasyf al-Irtiyaab karya Muhsin Al-Amiin, dan akan datang penjelasannya tentang hakekat orang ini. Idahram juga menukil dari website milik orang-orang syi’ah.
Ketiga : Dari buku-buku musuh dakwah salafy wahabi dari kalangan sufiah dan lain-lain. Diantaranya kitab Ad-Duror As-Saniyyah fi ar-rod ‘ala Al-Wahhabiyah dan kitab Khulaasot al-Kalaam fi ‘Umaroo al-Balad al-Haroom, yang kedua kitab ini adalah karya Ahmad Zaini Dahlan yang sangat membenci dakwah salafy wahabi. Akan datang penjelasan lebih dalam tentang hakekat orang ini. Juga buku Sidq al-Khobar fi Khawarij al-Qorn ats-Tsaani ‘Asyar, karya Syarif Abdullah
Keempat : Dari buku-buku kaum wahabi sendiri, seperti buku Ad-Duror As-Saniyyah, kitab Unwaan al-Majd fi Taariikh Najd, karya Ibnu Bisyr, dan kitab Taariikh Najd karya Ibnu Ghonnaam.
Adapun buku-buku karya orang kafir orang yang membela agama budha atau pembela penjajahan Inggris maka saya tidak tertarik untuk membacanya apalagi membahasnya. Demikian juga buku-buku kaum syi’ah yang terkenal dengan gemar berdusta. Adapun buku-buku para musuh dan pembenci dakwah salafy wahabi maka jika saya mendapati kitab aslinya maka saya akan berusaha mengecek keotentikannya, akan tetapi jika saya tidak mendapatkannya maka tidak akan saya bahas.
Adapun buku-buku kaum wahabi yang dijadikan sumber berita idahram maka saya berusaha untuk meneliti dan mencocokkan serta mengecek kebenaran nukilan-nukilan idahram dari kitab-kitab tersebut.
Berikut ini beberapa penggal sejarah yang diuraikan oleh idahram yang menggambarkan kebengisan dan keganasan kaum salafy wahabi, beserta dengan pembongkaran kedustaan-kedustaan idahram dalam versi sejarah dongengnya !!!
KISAH PENYERANGAN KOTA KARBALA
Idahram berkata,
Sumber lain menyebutkan, salafy wahabi telah melakukan keganasan dan kekejaman di kota Karbala dengan pembunuhan yang tidak mengenal batas perikemanusiaan dan tidak bisa dibayangkan. Mereka telah membunuh puluhan ribu orang islam, selama kurun waktu 12 tahun ketika mereka menyerang dan menduduki kota Karbala serta kawasan sekitarnya, termasuk Najaf. Al-Amir Sa’ud menyudahi perbuatan keji dan kekejamannya di sana dengan merampas khazanah harim al-Imam al-Husain ibnu Ali k.w. yang di sana terdapat banyak barang berharga, harta, perhiasan dan hadiah yang dikaruniakan oleh raja, pemerintah, dan lain-lain kepada makam suci ini. Selepas melakukan keganasan itu, dia kemudian menaklukkan Karbala untuk dirinya sehingga para penyair menyusun kasidah-kasidah penuh dengan rintihan, keluhan, dukacita mereka. Para penulis Syi’ah bersepakat bahwa serangan dan sebuan itu terjadi pada hari ‘Id al-Ghadir ketika umat Islam Iraq sedang memperingati wasiat Nabi saw. kepada Sayidina Ali k.w. yang berisi penunjukannya sebagai khalifah setelah beliau wafat (www.annabaa.org/nbanews/63/95.htm…)
demikian perkataan idahram dalam bukunya hal 71-72
Sangat jelas dari pemaparan ini beberapa perkara :
PERTAMA : idahram mengambil berita ini dari orang-orang syi’ah, karenanya idahram menyebutkan situs sekte syi’ah www.annabaa.org
Tentunya para pembaca yang budiman mengetahui bagaimana dahsyatnya kedustaan kaum sekte syi’ah. Sampai-sampai Imam As-Syafii berkata :
لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّورِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“Aku tidak melihat seorangpun yang paling bersaksi dusta lebih dari para Rofidhoh” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubro no 21433)
Adapun lafal yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Asbahani adalah :
لَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ الْأَهْوَاءِ أَشْهَدَ بِالزُّورِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“Aku tidak pernah melihat seorangpun dari para pengikut hawa nafsu yang lebih bersaksi dusta dari Rofidhoh’ (Hilyatul Awliyaa’ 9/114)
KEDUA : idahram menyebutkan bahwa kaum yang diserang oleh Sa’ud bin Abdil Aziz adalah kaum Syi’ah, dan penyerangan tersebut terjadi pada hari perayaan ‘id Al-Ghodiir, yaitu hari peringatan tentang wasiat Nabi saw. kepada Sayidina Ali k.w. yang berisi penunjukannya sebagai khalifah setelah beliau wafat. Tentunya para pembaca dari kalangan ahlus sunnah bisa mengetahui keburukan-keburukan yang timbul dibalik perayaan ini, seperti pengkafiran Abu Bakar, Umar, dan Utsman yang telah melanggar wasiat Nabi, melangkahi Ali dan merebut kekuasan khalifah dari Ali bin Abi Tholib !!!. Hari perayaan ini adalah hari pendirian agama aqidah Imaamiyah… bahwasanya yang berhak menjadi Imam adalah Ali bin Abi Tholib dan keturunannya, dan barang siapa yang tidak meyakinin aqidah imamiyah ini maka telah kafir menurut kacamata Syi’ah Rofidhoh.
Sebagaimana telah lalu, diantara ibadah kaum syi’ah adalah melaknat dan mengkafirkan para sahabat, terutama Abu Bakar dan Umar yang menurut mereka(Syi’ah Rofidhoh) telah merebut kekuasaan dari Ali bin Abi Thoolib.
KETIGA : Idahram menyebutkan bahwa penyerangan tersebut karena merebut barang berharga yang terdapat di “Makam Suci” Al-Husain bin Ali bin Abi Tholib.
Selain mengambil berita dari kaum pembohong Rofidhoh Syi’ah idahram juga mengambil sumber berita dari seorang sejarawan inggris kelahiran india yang bernama Charles Allen dalam bukunya yang berjudul God’s Terrorist.
Charles Allen ini sepertinya beragama Budha atau minimal pendukung agama Budha (silahkan lihat biografinya di http://www.martinrandall.com/expert-lecturers/?filter=a-b), karenanya ia juga memiliki sebuah karya tulis yang berjudul “The Buddha and the Sahibs: the Men who Discovered India’s Lost Religion”.
Dengan bersumber buku ini idahram berkata,
Mereka mengepung kota Karbala, membunuhi penduduknya, menjarah makam Imam Husain cucu Nabi dan putra Ali bin Abi Talib, dan membantai siapa saja yang berusaha merintangi jalan mereka.
Demikian perkataan idahram dalam bukunya hal 71.
Pernyataan idahram ini jelas mengisyaratkan bahwa penyerangan Karbala disebabkan karena makam suci Husain. Ada apa gerangan di makam suci tersebut??. Ternyata makam tersebut adalah makam yang ditinggikan, dan diatasnya dibangun kubah yang tinggi. Dan sebagaiamana telah lalu (pernyataan-pernyataan Khomeini) bahwasanya agama kaum syi’ah adalah agama kesyirikian dengan meminta dan berdoa kepada para wali dalam kuburan. Karenanya adanya kubbah di atas kuburan Husain merupakan kemungkaran yang harus dihilangkan selama tindakan penghilangan tersebut tidak menimbulkan kemudhorotan yang lebih besar.
Keberadaan kubah besar di atas maka Al-Husain radhiallahu ‘anhu telah dijelaskan oleh Ibnu Bisyr dalam kitabnya ‘Unwaan al-Majd, sebagaimana juga telah dinukil oleh idahram dalam bukunya hal 72-74.
Ibnu Bisyr berkata :
وهدموا القبة الموضوعة بزعم من اعتقد فيها على قبر الحسين وأخذوا ما في القبة وما حولها ، وأخذوا النصيبة التي وضعوها على القبر ، وكانت مرصوفة بالزمرد والياقوت والجواهر
“Merekapun meruntuhkan kubah yang diletakkan di atas kuburan Al-Husain –karena persangakaan orang-orang yang berkeyakinan pada kubah tersebut-. Dan mereka mengambil apa yang terdapat di kubah dan sekitarnya, mereka mengambil pusara yang diletakkan di atas kuburan, yang pusara tersebut dihiasi dengan zamrud, batu mulia dan berbagai permata indah” (‘Unwaan al-Majd 1/257)
Dari kesimpulan-kesimpulan di atas bisa kita fahami bahwasanya Sa’ud bin Abdil Aziz menyerang kota Karbala dalam rangka untuk menghacurkan kubah yang dibangun di atas kuburan Al-Husain radhiallahu ‘anhu, dimana kubah tersebut sangat diagungkan –seperti halnya ka’bah-. Karena banyak hadiah dan permata yang diletakkan di kubah tersebut. Terlebih lagi kubah tersebut menjadi situsnya kaum syi’ah rofidhoh yang gemar melakukan kesyirikan menyembah para wali yang berada di kuburan. Ternyata penyerangan tersebut juga pas terjadi tatkala hari peringatan wasiat Nabi kepada Ali untuk menjadi khalifah, yang tentunya peringatan tersebut berisi laknat dan pengkafiran kepada Abu Bakar dan Umar secara khusus dan kepada para sahabat secara umum. Maka jika Sa’ud bin Abdil Aziz kemudian berijtihad untuk menghancurkan kubah tersebut maka ini merupakan ijtihad yang baik. Karena meratakan kuburan merupakan sunnah dan perintah Nabi, terlebih lagi jika menjadi icon kesyirikan, wallahu A’lam. Karenanya Sa’ud memerangi penduduk karbala, kaum syi’ah yang hendak menghalangi tekadnya, sehingga terbunuh sekitar 2000 orang diantara mereka .
Menghancurkan Bangunan Tinggi Yang Dibangun Di atas Kuburan Merupakan Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Ali Bin Abi Thalib –sahabat yang paling diagungkan sekte syi’ah- untuk menghancurkan kuburan yang tinggi
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ «أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ»
Dari Abul Hayyaaj al-Asady rahimahullah berkata, “Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata kepadaku, “Tidakkah aku mengutusmu (menugaskanmu) atas apa yang Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menugaskanku?, Tidaklah engkau tinggalkan patung kecuali telah engkau hancurkan, dan tidaklah engkau tinggalkan kuburan yang tinggi kecuali telah engkau ratakan” (HR Muslim no 969)
Imam Muslim juga meriwayatkan dalam shahihnya dari Tsumaamah bin Syufay berkata:
كُنَّا مَعَ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ بِأَرْضِ الرُّومِ بِرُودِسَ، فَتُوُفِّيَ صَاحِبٌ لَنَا، فَأَمَرَ فَضَالَةُ بْنُ عُبَيْدٍ بِقَبْرِهِ فَسُوِّيَ، ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا
Kami bersama Fadholah bin ‘Ubaid radhiallahu ‘anhu di negeri Romawi, yaitu di Rudis, maka salah seorang sahabat kami meninggal. Fadholah bin ‘Ubaid pun memerintahkan agar kuburannya diratakan, kemudian ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk meratakan kuburan” (HR Muslim no 968)
Al-Imam As-Syaukani rahimahullah berkata :
((Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ((Dan tidaklah kau biarkan kuburan yang tinggi kecuali kau ratakan)) menunjukkan bahwa sunnahnya adalah tidak meninggikan sekali kuburan, tanpa ada perbedaan antara mayat orang yang mulia atau yang tidak mulia. Dzohirnya bahwasanya meninggikan kuburan –lebih dari pada ukuran yang diizinkan- hukumnya adalah haram. Sebagaimana telah ditegaskan oleh para sahabat Imam Ahmad, dan sekelompok dari para sahabat Imam As-Syafii, dan juka Imam Malik…
Dan diantara bentuk meninggikan kuburan yang pertama masuk dalam larangan hadits adalah kubah-kubah dan situs-situs kuburan yang dibangun di atas kuburan, dan ini juga termasuk bentuk menjadikan kuburan sebagai masjid yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pelakunya sebagaimana akan datang penjelasannya.
Sungguh betapa banyak mafsadah/kerusakan -yang membuat umat Islam menangis karenanya- yang ditimbulkan akibat membangun dan menghiasi kuburan. Diantara kerusakan tersebut adalah keyakinan orang-orang bodoh terhadap kuburan sebagaimana keyakinan orang-orang kafir terhadap patung-patung mereka.
Dan perkaranya parah, mereka menyangka bahwa kuburan-kuburan tersebut mampu untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudhorotan, maka merekapun menjadikan kuburan-kuburan tersebut tujuan untuk tempat meminta dipenuhinya kebutuhan dan sandaran untuk meraih keberhasilan. Mereka meminta kepadanya apa-apa yang (seharusnya) diminta oleh para hamba kepada Rob mereka, mereka bersafar kepada kuburan-kuburan tersebut, mereka mengusap-ngusapnya dan beristighotsah kepadanya.
Secara umum mereka tidak meninggalkan sesuatupun yang dilakukan oleh kaum jahiliyah terhadap patung-patung mereka kecuali mereka juga melakukannya. Innaa lillahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Meskipun adanya kemungkaran yang sangat buruk ini dan kekufuran yang sangat mengerikan akan tetapi engkau tidak mendapati orang yang marah karena Allah, dan marah karena membela agama yang lurus, engkau tidak mendapati baik orang alim, maupun yang belajar, gubernur, menteri, maupun raja !!! . . .
Wahai para ulama agama, wahai para raja kaum muslimin, dosa apakah dalam agama Islam yang lebih parah daripada kekufuran??, dan bencana apakah yang menimpa agama ini yang lebih berbahaya daripada bencana beribadah kepada selain Allah??!!, musibah apakah yang menimpa kaum muslimin yang sebanding dengan musibah ini??! Kemungkaran manakah yang wajib diingkari jika mengingkari kesyirikan ini bukan kewajiban??!!
Sungguh engkau telah memperdengarkan kalau seandainya engkau menyeru orang yang hidup…
Akan tetapi orang yang kau seru tidak memiliki kehidupan…
Kalau seandarinya api yang kau tiup tentu akan memberikan penerangan…
Akan tetapi engkau meniup di debu…)) (Nailul Awthoor 5/164-165)
Beliau juga berkata :
Sungguh benar perkataan Al-Imam As-Syaukany rahimahullah yang mendapati di masanya orang-orang yang mengagungkan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan.
Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah (salah seorang ulama besar dari madzhab As-Syafiiah yang dikenal juga sebagai muhaqqiq madzhab setelah zaman Ar-Rofii dan An-Nawawi) telah menjelaskan bahwa pendapat yang menjadi patokan dalam madzhab As-Sayfii adalah dilarangnya membuat bangunan di atas kuburan para ulama dan sholihin.
Dalam Al-fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubroo Ibnu Hajar Al-Haitami ditanya :
وما قَوْلُكُمْ فَسَّحَ اللَّهُ في مُدَّتِكُمْ وَأَعَادَ عَلَيْنَا من بَرَكَتِكُمْ في قَوْلِ الشَّيْخَيْنِ في الْجَنَائِزِ يُكْرَهُ الْبِنَاءُ على الْقَبْرِ وَقَالَا في الْوَصِيَّةِ تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِعِمَارَةِ قُبُورِ الْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ لِمَا في ذلك من الْإِحْيَاءِ بِالزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ بها هل هذا تَنَاقُضٌ مع عِلْمِكُمْ أَنَّ الْوَصِيَّةَ لَا تَنْفُذُ بِالْمَكْرُوهِ فَإِنْ قُلْتُمْ هو تَنَاقُضٌ فما الرَّاجِحُ وَإِنْ قُلْتُمْ لَا فما الْجَمْعُ بين الْكَلَامَيْنِ؟
“Dan apa pendapat anda –semoga Allah memperpanjang umar anda dan memberikan kepada kami bagian dari keberkahanmu- tentang perkataan dua syaikh (*Ar-Rofi’i dan An-Nawawi) dalam (*bab) janaa’iz : “Dibencinya membangun di atas kuburan”, akan tetapi mereka berdua berkata dalam (*bab) wasiat : “Dibolehkannya berwasiat untuk ‘imaaroh kuburan para ulama dan solihin karena untuk menghidupkan ziaroh dan tabaaruk dengan kuburan tersebut”. Maka apakah ini merupakan bentuk kontradiksi?, padahal anda mengetahui bahwasanya wasiat tidak berlaku pada perkara yang dibenci. Jika anda mengatakan perkataan mereka berdua kontradiktif maka manakah yang roojih (*yang lebih kuat)?, dan jika anda mengatakan : “Tidak ada kontradikisi (*dalam perkataan mereka berdua)”, maka bagaimana mengkompromikan antara dua perkataan tersebut? (Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubro 2/17)
Maka Ibnu Hajr Al-Haitami Asy-Syafii rahimahullah menjawab :
الْمَنْقُولُ الْمُعْتَمَدُ كما جَزَمَ بِهِ النَّوَوِيُّ في شَرْحِ الْمُهَذَّبِ حُرْمَةُ الْبِنَاءِ في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ فَإِنْ بُنِيَ فيها هُدِمَ وَلَا فَرْقَ في ذلك بين قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَالْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ وما في الْخَادِمِ مِمَّا يُخَالِفُ ذلك ضَعِيفٌ لَا يُلْتَفَتُ إلَيْهِ وَكَمْ أَنْكَرَ الْعُلَمَاءُ على بَانِي قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ عنه وَغَيْرِهَا وَكَفَى بِتَصْرِيحِهِمْ في كُتُبِهِمْ إنْكَارًا وَالْمُرَادُ بِالْمُسَبَّلَةِ كما قَالَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَغَيْرُهُ التي اعْتَادَ أَهْلُ الْبَلَدِ الدَّفْنَ فيها أَمَّا الْمَوْقُوفَةُ وَالْمَمْلُوكَةُ بِغَيْرِ إذْنِ مَالِكِهَا فَيَحْرُمُ الْبِنَاءُ فِيهِمَا مُطْلَقًا قَطْعًا إذَا تَقَرَّرَ ذلك فَالْمَقْبَرَةُ التي ذَكَرَهَا السَّائِلُ يَحْرُمُ الْبِنَاءُ فيها وَيُهْدَمُ ما بُنِيَ فيها وَإِنْ كان على صَالِحٍ أو عَالِمٍ فَاعْتَمِدْ ذلك وَلَا تَغْتَرَّ بِمَا يُخَالِفُهُ
“Pendapat yang umum dinukil yang menjadi patokan -sebagaimana yang ditegaskan (*dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (*Al-Majmuu’) syarh Al-Muhadzdzab- adalah diharamkannya membangun di kuburan yang musabbalah (*yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum), maka jika dibangun di atas pekuburan tersebut maka dihancurkan, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara kuburan sholihin dan para ulama dengan kuburan selain mereka. Dan pendapat yang terdapat di al-khoodim (*maksud Ibnu Hajar adalah sebuah kitab karya Az-Zarkasyi, Khodim Ar-Rofi’i wa Ar-Roudhoh, wallahu a’lam) yang menyelisihi hal ini maka pendapat tersebut adalah lemah dan tidak dipandang. Betapa sering para ulama mengingkari para pembangun kubah (*di kuburan) Imam Asy-Syafii radhiallahu ‘anhu dan kubah-kubah yang lain. Dan cukuplah penegasan para ulama (*tentang dibencinya membangun di atas kuburan) dalam buku-buku mereka sebagai bentuk pengingkaran. Dan yang dimaksud dengan musabbalah –sebagaimana yang dikatakan Al-Isnawiy dan yang ulama yang lain- yaitu lokasi yang biasanya penduduk negeri menguburkan mayat disitu. Adapun pekuburan wakaf dan pekuburan pribadi tanpa izin pemiliknya maka diharamkan membangun di atas dua pekuburan tersebut secara mutlaq. Jika telah jelas hal ini maka pekuburan yang disebutkan oleh penanya maka diharamkan membangun di situ dan harus dihancurkan apa yang telah dibangun, meskipun di atas (*kuburan) orang sholeh atau ulama. Jadikanlah pendapat ini sebagai patokan dan jangan terpedaya dengan pendapat yang menyelisihinya. (al-Fataawaa al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/17)
Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafii juga berkata :
وَوَجَبَ على وُلَاةِ الْأَمْرِ هَدْمُ الْأَبْنِيَةِ التي في الْمَقَابِرِ الْمُسَبَّلَةِ وَلَقَدْ أَفْتَى جَمَاعَةٌ من عُظَمَاءِ الشَّافِعِيَّةِ بِهَدْمِ قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ عنه وَإِنْ صُرِفَ عليها أُلُوفٌ من الدَّنَانِيرِ لِكَوْنِهَا في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ وَهَذَا أَعْنِي الْبِنَاءَ في الْمَقَابِرِ الْمُسَبَّلَةِ مِمَّا عَمَّ وَطَمَّ ولم يَتَوَقَّهُ كَبِيرٌ وَلَا صَغِيرٌ فَإِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Dan wajib atas para penguasa untuk menghancurkan bangunan-bangunan yang terdapat di pekuburan umum. Sekelompok ulama besar madzhab syafii telah berfatwa untuk menghancurkan kubah (*di kuburan) Imam As-Syafi’i radhiallahu ‘anhu, meskipun telah dikeluarkan biaya ribuan dinar (*untuk membangun kubah tersebut) karena kubah tersebut terdapat di pekuburan umum. Dan perkara ini –maksudku yaitu membangun di pekuburan umum- merupakan perkara yang telah merajalela dan tidak menghindar darinya baik orang besar maupun orang kecil” (al-Fataawa al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/25)
(Pembahasan yang lebih dalam tentang permasalahan larangan beribadah di kuburan telah saya kupas dalam buku saya “Ketika Sang Habib Dikritik” diterbitkan oleh penerbit Nashirus Sunnah)
Intinya bahwa meruntuhkan bangunan yang ditinggikan di atas kuburan merupakan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang pertama kali ditugaskan untuk melakukannya adalah Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu.
Perintah ini dilanjutkan oleh para ulama sebagaimana yang tercatat dalam sejarah. Diantara contoh praktek yang dilakukan oleh para ulama adalah,
Pertama : Al-Haarits bin Miskin, Abu ‘Amr Muhammad bin Yusuf salah seorang ulama besar madzhab Maliki (wafat 250 H)
Ibnu Farhuun Al-Maliki berkata tentang Al-Haarits bin Miskiin
“Imam Ahmad bin Hanbal memujinya dengan baik, Ibnu Ma’iin berkata, “Laa Ba’sa bihi”, Ibnu Waddhooh berkata, “Dia adalah tsiqoh-nya para tsiqoot (para perawi yang terpercaya)”
Ia adalah seorang yang faqih dan wara’, zuhud dan selalu jujur dalam berkata. Ia adalah seorang hakim yang adil dalam hukum-hukumnya di mesir, sejarahnya baik. Ia telah meruntuhkan sebuah masjid yang dibangun oleh seorang dari Khurosaan, dibangun di antara kuburan. Di sisi Al-Maqthob di padang pasir. Orang-orang dulu berkumpul di masjid tersebut untuk membaca (al-Qur’an), menceritakan kisah-kisah dan nasehat-nasehat” (Ad-Diibaaj Al-Mudzhab fi Ma’rifati A’yaan Ulamaa al-Madzhab, karya ibnu Farhuun Al-Maaliki, tahqiq : DR Muhammad Al-Ahmad Abu An-Nuur, Daar at-Turoots, al-Qoohiroh, Mesir, 1/339)
Kedua : Al-Khalifah Al-‘Abbaasi Al-Mutawakkil, pada tahun 236 H meruntuhkan kuburan Al-Husain bin Ali.
Al-Imam Ibnu Katsiir As-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitab sejarah beliau :
“Kemudian masuk tahun 236 H, pada tahun tersebut Al-Mutawakkil memerintahkan untuk meruntuhkan kuburan Al-Husain bin Ali bin Abi Tholib, serta rumah-rmah dan tempat-tempat yang ada di sekitar kuburannya. Lalu diumumkan kepada masyarakat : “Barang siapa yang masih ada di sini setelah tiga hari maka akan dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah”. Maka tidak tersisa seorangpun, lalu lokasi tersebut dijadikan sawah perkebunan dan digunakan untuk dimanfaatkan” (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 14/346, tahqiq Abdullah bin Abdilmuhsin At-Turki, Daar Hajr, cetakan pertama)
Lihatlah…, sebelum Sa’ud bin Abdil Aziz ternyata pembongkaran kuburan Al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhumaa telah dilakukan atas perintah khalifah Al-Mutawakkil, bahkan dengan tegas barang siapa yang masih ada di lokasi tersebut akan dipenjara !!!
Catatan : Syi’ah akhirnya membalas dendam dengan membunuh Abdul Aziz.
Utsman bin Abdillah bin Bisyr menyebutkan dalam kitabnya ‘Unwaan Al-Majd tentang kisah terbunuhnya Abdul Aziz bin Muhammad bin Sa’ud oleh seorang syi’ah pada tahun 1218 H. Beliau terbunuh dalam keadaan sujud pada waktu sholat ashar di masjid Al-Thoriif di kota Ad-Dir’iyah. Pembunuh beliau adalah seorang syi’ah dari Karbala yang mengaku bernama Utsman dan berhijrah menuju kota Ad-Dir’iyah, serta menampakkan bahwasanya ia adalah soerang yang taat. Sehingga orang inipun dimuliakan oleh Abdul Aziz. Abdul Aziz memberikan kepadanya makanan dan pakaian, bahkan Abdul Aziz meminta sebagian alhi ilmu untuk mengajari orang ini.
Tatkala suatu hari ketika sholat ashar berjamaa’ah, ketika jama’ah masjid sedang sujud maka orang inipun dari saf ke tiga menyerang Abdul Aziz lalu menikamkan belatinya (yang ia sembunyikan tatkala sholat) ke lambung Abdul Aziz bin Muhammad bin S’aud, yang menyebabkan beliau meninggal dunia. (Lihat Unwaan Al-Majd 1/264-266)
Maka kita katakan kepada idahram:
- Lihatlah bagaimana busuknya kaum rofidhoh yang membunuh dengan cara berkhianat, Abdul Aziz telah memuliakan sang pembunuh akan tetapi dibalas dengan cara yang curang, keji, dan pengecut. Hal ini sebagaimana nenek moyang mereka Abu Lu’lu’ Al-Majusi yang telah dimuliakan oleh Umar bin Al-Khotthoob malah justru membunuh Umar dengan cara yang pengecut, yaitu tatkala Umar sedang sholat.
- Sebagaimana yang dikatakan oleh idahram : Apakah Abdul Aziz adalah seorang kafir?, aneh orang kafir kok sholat berjama’ah??, malah dibunuh tatkala sedang sholat??. Namun hal ini tidak mengherankan bagi idahram, karena menurut kacamata idahram kaum salafy wahabi adalah kaum kafir murtad…!!! Innaa lillahi wa inaa ilaihi raji’uun.
bersambung…
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Lanjutan:
Post a Comment