Showing posts with label Syubhat. Show all posts
Showing posts with label Syubhat. Show all posts

PERINGATAN MAULID NABI DENGAN ALASAN SEBAGAI WASILAH BERBAGAI KEBAIKAN, APALAGI TRADISI MASYARAKAT KITA YANG SELALU MELAKSANAKAN BERSAMA-SAMA



Alasan yang bersifat sosiologis, bahwa peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan wasilah untuk melaksanakan berbagai kebaikan, apalagi tradisi masyarakat kita yang selalu melaksanakan bersama- sama.

Jawaban:

Alasan seperti ini juga merupakan kebatilan yang tidak ada nilainya dalam perspektif al-Qur`ân dan Sunnah, karena beberapa hal berikut.

Pertama. Bahwasanya landasan beragama adalah al-Qur`ân dan Sunnah, bukan keadaan sosial suatu masyarakat dan tradisi yang berkembang di kalangan mereka, atau warisan para leluhur. Semua itu merupakan landasan sangat rapuh dan alasan yang batil.

Allâh Ta’ala berfirman:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [al-A’râf/7:3].

Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil-amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur`ân) dan Rasul (sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ`/4:59].

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا 

Dan apa yang dibawa oleh Rasul maka ambil-lah, dan apa yang dicegahnya maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/59:7].

Juga ayat-ayat lain yang senada dengan ayat-ayat di atas yang memerintahkan untuk mengikuti wahyu dari Allâh dan Rasul-Nya, dan larangan mengikuti hawa nafsu.

Begitu juga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dalam banyak hadits telah memerintahkan untuk mengikuti sunnah-nya, diantaranya sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَعَليْكُمْ بسُنَّتِي وسُنَّةِ الخُلَفاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِيِّنَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بالنَّواجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ؛ فإنَّ كلَّ بدعة ضلالة وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Ikutilah oleh kalian sunnah-ku dan sunnah para khulafa ar-rasyidîn yang telah mendapat petunjuk sepeninggalku. Gigitlah (peganglah) sunnah tersebut dengan gigi gerahammu, dan tinggalkan olehmu perkara-perkara yang baru (dalam agama). Setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka.[1]

Demikian pula hadits-hadits lain yang banyak memerintahkan untuk berpegang teguh kepada Sunnah dan melarang mengada-adakan dalam agama. Termasuk perkara yang diada-adakan dalam agama adalah menjadikan sosiologi (perilaku dan perkembangan masyarakat) sebagai landasan dalam beragama.

Kedua. Berdalil dengan tradisi untuk melegitimasi suatu amalan dan ritual merupakan wujud pendalilan yang sangat rancu dan keliru. Yang seperti itu tiada lain adalah dalil untuk menentang kebenaran dan menolak petunjuk dari kalangan orang-orang musyrikin, munafikin dan yang mengikuti langkah-langkah mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam banyak ayat di dalam al-Qur`ân, diantaranya:

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allâh dan mengikuti Rasul,” mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? [al-Mâ-idah/5:104].

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allâh,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? [al-Baqarah/2:170].

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allâh,” mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? [Luqman/31:21]

Ketiga. Sesungguhnya ukuran (barometer) kebenaran bukan terletak pada banyaknya masyarakat dan kebersamaan mereka dalam melakukan suatu amalan atau ritual, karena mayoritas manusia berada dalam kesesatan dan kebatilan, sebagaimana firman Allâh Ta’ala yang melarang Nabi-Nya agar tidak mengikuti mayoritas penduduk bumi:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allâh). [al-An’âm/6:116].

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman -walaupun kamu sangat menginginkannya-. [Yusuf/12:103].

Akan tetapi takaran kebenaran adalah kecocokan suatu perkara atau pendapat dengan al-Qur`ân dan Sunnah kendati pengikut dan pelakunya sedikit. Wallâhu a’lam.

Keempat. Dalam Islam, hubungan antara wasilah dengan tujuan sangatlah erat. Bahkan wasilah dalam agama dihukumi dengan hukum tujuan, sebagaimana dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan :

الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ

Hukum perantara sama dengan hukum tujuan

Namun, satu hal yang harus dipahami dalam perkara ini, bahwa wasilah (perantara) yang digunakan untuk mewujudkan tujuan hendaklah wasilah yang baik dan tidak bertentangan dengan kaidah syari’at. Jika bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, maka wasilah tersebut tidak diperbolehkan oleh Islam. Sehingga untuk melaksanakan berbagai macam kebaikan, hendaklah menggunakan wasilah yang disyari’atkan oleh agama, bukan mengada-adakan wasilah bid’ah yang bertentangan dengan prinsip agama.

Demikian pula, tidak diragukan bahwa peringatan maulid merupakan wasilah yang masuk dalam kategori bid’ah dan menyelisihi Sunnah karena tidak pernah dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para salafush-shâlih. Jika pelaksanaan peringatan tersebut wasilah syar’i, tentu para salafush-shâlih lebih dahulu menggunakannya karena mereka sangat bersungguh-sungguh dalam melakukan bermacam kebaikan.

Perlu diketahui, bahwa kecintaan kepada Rasul, mengekspresikan kegirangan dan kegembiraan dengan kelahiran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta keinginan untuk melaksanakan kebaikan hendaklah dibuktikan dengan kesungguhan dalam mempelajari dan mengikitui ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , melaksanakan apa yang mampu dikerjakan dari sunnah-sunnah beliau, bukan dengan mengada-adakan hal-hal baru yang tidak ada tuntunannya dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hal ini pada hakikatnya bertentangan dengan makna kecintaan dan kegembiraan.

Fenomena yang tidak bisa dipungkiri, selama ini peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kepada banyak kesesatan dan menimbukan dampat negatif dalam keyakinan dan sikap orang-orang yang gemar melakukan ritual tersebut, seperti sikap berlebihan dalam memuji Rasul n , keyakinan tentang kehadiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam acara tersebut, dan dampak negatif lainnya. Bahkan jika sekiranya tidak ada bentuk kerusakan dalam acara tersebut kecuali hanya menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan salafush-shâlih dalam beragama, tentu hal itu pun telah cukup untuk menghukumi kebatilan peringatan tersebut. Bahkan orang-orang yang memperingati ritual tersebut menunjukkan, bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat jauh dari Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dalam masalah akidah, ibadah, akhlak, dakwah, dan lainnya, bahkan mereka lebih gemar melakukan tradisi-tradisi yang tidak ada landasan dalam agama daripada mengamalkan Sunnah yang telah jelas shahîh–nya. Jika demikian, maka kebaikan apakah yang akan didapatkan dalam menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melakukan peringatan maulid yang bid’ah?

Mencermati syubhat-syubhat yang dilontarkan para pendukung ritual maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka nampaklah tidak ada satupun dalil yang digunakan mereka dalam melegitimasi peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut yang bisa dijadikan sebagai hujjah dalam pandangan ilmu syar’i yang berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush-shâlih. Wallâhu a’lam.

(Dringkas dari Syubhat Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, DR Muhammad Nur Ihsan MA)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote

[1] HR Tirmidzi (no. 2.676) dan Ibnu Mâjah (no. 42).

@Sumber : Almanhaj.or.id

PERINGATAN MAULID NABI DENGAN ALASAN KISAH ABU LAHAB YANG MEMERDEKAKAN BUDAKNYA PADA HARI KELAHIRAN RASULULLAH



Pentingnya memperingati maulid Nabi adalah bertolak dari kisah Abu Lahab, paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerdekakan budaknya bernama Tsuwaibah al-Aslamiyyah pada hari kelahiran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu girangya Abu Lahab atas kelahiran keponakannya yang bernama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia memerdekakan Tsuwaibah al-Aslamiyyah yang sekaligus berlaku sebagai orang pertama yang menyusui Muhammad.

Jawaban:

Kisah Abu Lahab di atas tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk melegitimasi peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dikarenakan beberapa hal berikut.

Pertama. Kisah ini merupakan riwayat yang mursal (diriwayatkan oleh tabi’in dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) yang tidak shahîh, bukan kisah yang maushûl (yang diriwayatkan langsung oleh sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Riwayat yang mursal tidak bisa dijadikan hujjah (dalil) untuk suatu amalan atau ritual sebagaimana dimaklumi di kalangan para ulama.

Kedua. Tidak terdapat riwayat shahîh yang menjelaskan Abu Lahab bergembira dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan begitu juga bahwa Tsuwaibah mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Nabi, kemudian Abu Lahab memerdekakannya disebabkan hal itu. Semua itu tidak benar. Barangsiapa yang mengatakan hal itu, maka hendaklah ia mendatangkan dalil shahîh tentang kebenaran dakwaannya.

Ketiga. Dalam kisah tersebut dijelaskan bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah tatkala mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini bertentangan dengan riwayat yang terdapat dalam kitab sirah bahwa Abu Lahab memerdekakannya sebelum Hijrah Rasul ke Madinah, dan itu terjadi setelah menyusui dengan selang waktu yang lama. Jadi, bukan ketika Tsuwaibah mengabarkan kepadanya tentang hal itu.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Yang terdapat di dalam (kitab-kitab) sejarah menyelisihi hal itu; yaitu Abu Lahab memerdekaan Tsuwaibah sebelum Hijrah; yang demikian itu setelah menyusui dengan waktu yang lama”.[1]

Ibnu Sa’ad dalam kitabnya, ath-Thabaqât, meriwayatkan dari Muhammad bin Umar al-Wâqidiy dari banyak ulama, mereka menuturkan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan silaturrahmi kepada Tsuwaibah ketika beliau berada di Makkah, dan Khadijah juga memuliakannya sedangkan ia pada waktu itu masih berstatus budak. Beliau meminta kepada Abu Lahab untuk menjualnya untuk dimerdekakan, akan tetapi Abu Lahab tidak mau. Tatkala Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah hijrah ke Madinah, lalu Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengirimkan kepadanya (sesuatu) untuk menyambung silaturrahim dan pakaian, sampai datang berita wafatnya beliau pada tahun ketujuh saat kepulangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Khaibar.”[2]

Keempat. Apa yang dilakukan oleh Abu Lahab, saat ia dalam keadaan kafir, sama sekali tidak bermanfaat baginya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allâh  Azza wa Jalla dalam banyak ayat, bahwa amalan orang-orang kafir akan sirna tidak ada gunanya. Allâh  Azza wa Jalla berfirman :

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [al-Furqân/25:23].

Dan firman Allâh:

مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ ۖ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ ۖ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَىٰ شَيْءٍ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ

Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. [Ibrâhim/14:18].

Kedua ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa amalan orang-orang kafir akan sirna dan tidak bermanfaat selama mereka berada dalam kekafiran. Allâh  Azza wa Jalla menjadikan amalan tersebut bagaikan debu yang beterbangan.

Jika demikian amalan orang-orang kafir, maka pantaskah hal itu dijadikan sebagai landasan untuk memperingati maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Sungguh bentuk pendalilan yang sangat aneh, rancu, dan rapuh.

Kelima.  Dalam sebagian perkataan mereka yang melegitimasi peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kisah Abu Lahab menyebutkan, bahwa “Abu Lahab mendapatkan keringanan adzab setiap hari Senin disebabkan ia memerdekakan Tsuwaibah ketika mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.

Pendapat ini juga merupakan perkataan batil dan riwayat yang tidak shahîh, karena bertentangan dengan al-Qur`ân. Sungguh, di dalam al-Qur`ân terdapat banyak ayat yang menjelaskan bahwa adzab tidak akan diringankan atau pun dikurangi bagi orang-orang kafir, diantaranya firman Allâh:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ ﴿٣٦﴾ وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ ۚ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ ۖ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ

Dan orang-orang kafir bagi mereka Neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka adzabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir. Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal yang shalih berlainan dengan yang telah kami kerjakan”. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zhalim seorang penolongpun. [Fâthir/35:36-37].

Firman Allâh  Azza wa Jalla :

إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي عَذَابِ جَهَنَّمَ خَالِدُونَ ﴿٧٤﴾ لَا يُفَتَّرُ عَنْهُمْ وَهُمْ فِيهِ مُبْلِسُونَ ﴿٧٥﴾ وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَٰكِنْ كَانُوا هُمُ الظَّالِمِينَ ﴿٧٦﴾ وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ ۖ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُونَ ﴿٧٧﴾ لَقَدْ جِئْنَاكُمْ بِالْحَقِّ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَكُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam adzab Neraka Jahannam. Tidak diringankan adzab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa. Dan tidaklah Kami menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Mereka berseru: “Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja”. Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini). Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan diantara kamu benci pada kebenaran itu. [az-Zukhruf/43:74-78].

Firman Allâh  Azza wa Jalla :

وَمَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِهِ ۖ وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَىٰ وُجُوهِهِمْ عُمْيًا وَبُكْمًا وَصُمًّا ۖ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا﴿٩٧﴾ذَٰلِكَ جَزَاؤُهُمْ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا وَقَالُوا أَإِذَا كُنَّا عِظَامًا وَرُفَاتًا أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقًا جَدِيدًا

Barangsiapa yang Dia sesatkan maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Dia. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah Neraka Jahannam. Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya. Itulah balasan bagi mereka, karena sesungguhnya mereka kafir kepada ayat-ayat Kami dan (karena mereka) berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk baru?” [Al-Isra/17:97-98]

Ketiga ayat di atas berlaku bagi Abu Lahab, karena ia telah kafir kepada Allâh. Yakni, telah datang kepadanya kebenaran dan petunjuk, akan tetapi ia menolak dan berpaling serta membencinya, memusuhi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membawa kebenaran tersebut. Allâh sama sekali tidak akan meringankan adzab baginya. Bahkan dalam ayat lain Allâh  Azza wa Jalla berfirman :

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ﴿١﴾مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ﴿٢﴾سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaidah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. [al-Lahab/al-Masad/111:1-3].

Keenam. Sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab sejarah, Abu Lahab merupakan orang yang paling membenci dan memusuhi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau n diutus, bahkan menyakitinya dengan cara berlebihan.

Sekiranya terbukti Abu Lahab bergembira dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memerdekaan Tsuwaibah yang mengabarkan kepadanya tentang hal itu, maka hal ini sama sekali tidaklah berguna baginya, karena kebencian dan permusuhannya yang berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghancurkan seluruh bentuk kegembiraan dan kebaikannya dalam memerdekaan Tsuwaibah dan amalan-amalannya yang lain, karena ia tidak beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya. Sehingga jelaslah, tidak ada yang berdalil dengan kegembiraan Abu Lahab yang kafir itu untuk melegitimasi perayaan maulid, kecuali orang-orang yang jauh dari kebenaran dan petunjuk.

Ketujuh. Seandainya terbukti kegembiraan Abu Lahab dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai keponakannya, maka itu hanya sekedar kegembiraan biasa yang merupakan tabiat manusia, bukan kegembiraan bersifat ibadah yang bermanfaat.

Seseorang bergembira dengan kelahiran anak saudaranya dan karib kerabatnya, akan tetapi ini tidak bermanfaat di sisi Allâh. Kegembiraan yang berpahala dan bermanfat adalah kegembiraan karena Allâh. Sedangkan kegembiraan seorang mukmin dengan kelahiran Nabi adalah sesuatu yang senantiasa menyertai dirinya, karena ini salah satu konsekuensi dari kecintaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menuntut seseorang meneladani beliau n dalam segala aspek kehidupan, bukan mengada-adakan dalam agama, seperti peringatan maulid Nabi yang tidak ada landasannya dalam al-Qur`an maupun Sunnah.

(Dringkas dari Syubhat Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, DR Muhammad Nur Ihsan MA)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote

[1] Fathul-Bâri, 9/145.

[2] Ath-Thabaqât al-Kubrâ, Cet. Dar Shâdir, Beirut, 1/108-109.

@Sumber : Almanhaj.or.id

PERINGATAN MAULID NABI DENGAN ALASAN ALLAH MEMBERKATI DAN MENGAGUNGKAN HARI DAN TANAH KELAHIRAN PARA NABI



Allâh memberkati dan mengagungkan hari dan tanah kelahiran para nabi. Lihatlah keterangan dalam hadits yang mengaitkan kemuliaan hari Jum’at dengan kelahiran Nabi Adam, dan lain lain. maka apalagi dengan hari kelahiran Rasûlullâh. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai umat Rasûlullâh memuliakan hari kelahirannya.

Jawaban:

Kebatilan syubhat di atas ditinjau dari beberapa sisi, adalah sebagai berikut:

Pertama. Pernyataan bahwa Allâh memberkati dan mengagungkan hari dan tanah kelahiran para nabi.

Kemungkingan yang mereka maksud ialah seperti disebutkan dalam firman Allâh Ta’ala yang mengagungkan maqom Ibrahim Alaihissallam dan perintah untuk menjadikannya sebagai tempat shalat. Firman Allâh Ta’ala:

وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

Dan jadikanlah maqom (bekas telapak kaki) Ibrahim sebagai tempat shalat. [al-Baqarah/2:125].

Akan tetapi perlu diketahui, bahwa dalil pengambilan landasan ibadah dan ketaatan adalah dari al-Qur`ân dan Sunnah, bukan pendapat dan perasaan atau mengada-adakan perkara yang baru. Sehingga sesuatu atau tempat atau waktu yang diagungkan oleh Allâh dan Rasul-Nya, maka kita wajib juga untuk mengagungkannya; jika tidak, maka seseorang juga dilarang untuk mengagungkan hal itu. Adapun maqom Nabi Ibrahim Alaihissallam, sungguh tidak diragukan bahwa Allâh telah mengagungkannya dan memerintahkan untuk menjadi tempat shalat, dan Allâh tidak memerintahkan untuk memperingati hari kelahiran Nabi dan menjadikannya sebagai waktu yang diagungkan dengan ritual-ritual dan tradisi-tradisi yang tidak ada landasanya dalam Islam.

Kedua. Adapun men-qiyas-kan (menganalogikan) hari dan tanah kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan disyariatkan shalat di maqom Ibrahim, maka qiyas seperti ini merupakan analogi sangat batil, dan sejenis dengan qiyas orang-orang yang mengatakan bahwa jual beli itu seperti riba.

Tidak diragukan, mengagungkan tempat-tempat yang berkaitan dengan para nabi dan peninggalan orang-orang shalih merupakan sarana kesyirikan yang sangat besar. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburannya dijadikan sebagai tempat beribadah (perayaan) dan melarang menjadikan kuburan-kuburan sebagai tempat ibadah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan Nasrani yang melakukan hal itu, sebagaimana yang tertera dalam hadits-hadits yang shahîh.

Bahkan dalam riwayat yang shahîh dijelaskan bahwa Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, tatkala mendengar sebagian kaum muslimin mendatangi sebatang pohon yang terjadi di bawahnya Bai’atur-Ridhwan, maka beliau Radhiyallahu anhu memerintahkan untuk memotong pohon tersebut,[1] karena kekhawatirannya terhadap terjadinya fitnah disebabkan oleh pohon tersebut.

Dari al-Ma’rûr bin Suwaid rahimahullah, beliau menuturkan:

Kami pergi bersama Umar dalam sebuah perjalanan haji. Tatkala beliau Radhiyallahu anhu telah selesai melaksanakan haji kemudian pulang. Dalam perjalanan beliau Radhiyallahu anhu melihat sebagian kaum Muslimin bergegas mendatangi sebuah tempat. Melihat hal itu, Umar Radhiyallahu anhu bertanya, “Tempat apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah masjid (tempat shalat) yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat di dalamnya.”

Beliau Radhiyallahu  berkata  :

هَكَذَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَابِ، اتَّخَذُوا آثَارَ أَنْبِيَائِهِمْ بِيَعًا، مَنْ عَرَضَتْ لَهُ مِنْكُمْ فِيهِ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ، وَمَنْ لَمْ تَعْرِضْ لَهُ مِنْكُمْ فِيهِ الصَّلَاةُ فَلَا يُصَلِّ

Beginilah ahlul–kitab (Yahudi dan Nasrani) celaka, mereka menjadikan tempat–tempat peninggalan para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Barangsiapa di antara kalian kedatangan shalat pada tempat tersebut, maka shalatlah; jika tidak kedatangan shalat pada tempat tersebut, maka jangan sengaja mendatanginya untuk shalat.[2]

Perhatikanlah, bagaimanakah sikap Khalifah Umar Radhiyallahu anhu –seorang shahabat yang mendapat ilham dari Allâh Azza wa Jalla ? Beliau Radhiyallahu anhu mengingkari orang yang dengan sengaja mendatangi tempat yang pernah dijadikan tempat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memotong pohon tempat terjadinya Bai’atur-Ridwan. Sekiranya mengagungkan tempat-tempat yang berkaitan dengan sebagian para nabi dan menjadikannya sebagai tempat ibadah sebagai sesuatu yang diperbolehkan dan disyari’atkan, maka tentu Umar Radhiyallahu anhu tidak akan memotong pohon tersebut dan tidak kan melarang orang mendatangi tempat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Begitu juga sikap para ulama Islam dari kalangan salafush-shâlih, mereka membenci mendatangi  dengan sengaja tempat-tempat shalat Nabi dan peninggalan-peninggalan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan ibadah pada tempat tersebut. Hal itu mereka lakukan untuk menutup peluang terjadinya fitnah yang dapat merusak akidah umat.

Imam Ibnu Wadhdhah rahimahullah menjelaskan bahwa Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu dan yang lain dari kalangan Ulama Madinah membenci (tidak menyukai) sikap mendatangi masjid-masjid dan peninggalan-peninggalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut kecuali masjid Quba` dan (kuburan) Uhud. Saya mendengar mereka menyebutkan bahwa Sufyân ats-Tsauri masuk ke dalam masjid Baitul-Maqdis (masjid al-Aqsha) dan melaksanakan shalat di dalamnya dan tidak mendatangi tempat-tempat peninggalan tersebut dan shalat padanya. Begitu juga yang dilakukan oleh yang lain dari kalangan Ulama yang menjadi panutan. Begitu juga Waki’ bin Jarrah mendatangi masjid Baitul-Maqdis dan tidak melebihi apa yang dilakukan oleh Sufyân.

Kemudian Imam Ibnu Wadhdhah menambahkan:

Hendaklah kalian mengikuti para imam yang terkenal dan telah mendapat petunjuk. Sungguh sebagian Ulama terdahulu (salaf) telah mengatakan, “Betapa banyak perkara pada hari ini telah dikenal oleh mayoritas orang sedangkan ia adalah perkara yang mungkar menurut generasi terdahulu; disenangi sedangkan ia adalah hal yang dibenci; dianggap sebagai ketaatan yang mendekatkan diri kepada Allâh, sedangkan ia adalah perkara yang menjauhkan dari-Nya. Setiap bid’ah terlihat indah dan menyenangkan.”[3]

Ketiga. Adapun pernyataan “lihatlah keterangan dalam hadits yang mengaitkan kemuliaan hari Jum’at dengan kelahiran Nabi Adam, dan lain lain. Apalagi hari kelahiran Rasûlullâh. oleh karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai umat Rasûlullâh memuliakan hari kelahirannya”.

Dalam penyataan ini telah terjadi kekeliruan yang sangat fatal. Untuk lebih jelasnya, perlu disimak terlebih dahulu lafazh hadits yang dibawakan oleh para penyelenggara peringatan maulid :

عَنْ أَوْسِ بْنِ أَوْسٍ الثَّقَفِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ : مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَام وَفِيهِ قُبِضَ

Dari Aus bin Aus ats-Tsaqafi Radhiyallahu anhu, beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diantara hari-hari kalian, yang paling utama adalah hari Jum’at; pada hari tersebut diciptakan Adam dan pada hari itu juga beliau diwafatkan[4]

Mencermati hadits yang mulia ini, di dalamnya disebutkan dengan nyata bahwa Adam diciptakan pada hari Jum’at, sedangkan dalam pernyataan di atas disebutkan “…kemuliaan hari Jum’at dengan kelahiran Adam”; setiap yang memiliki akal sehat pasti memahami perbedaan antara dua kalimat tersebut, yaitu diciptakan dan dilahirkan.

Berdasarkan lafazh yang dinukil para penggemar maulid, maka pertanyaan yang harus mereka jawab adalah, siapakah yang melahirkan Adam? Siapakah ayahnya? Dan siapakah ibunya?

Tentu suatu kebatilan yang sangat nyata dan kebodohan yang sangat besar, jika ada yang mengatakan bahwa Adam q dilahirkan. Dan kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dari kejahilan seperti ini. Karena dalam aqidah kaum Muslimin, bahwa Adam Alaihissallam diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla dengan kedua tangan-Nya dari tanah. Tatkala telah sempurna penciptaannya, maka Allâh Azza wa Jalla meniupkan kepadanya ruh, kemudian para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam, dan mereka seluruhnya bersujud kecuali Iblis.

Pernyataan mereka yang merubah lafazh hadits Rasûlullâh فيه خلق آدم (pada hari Jum’at diciptakan Adam) dengan lafazh فيه ولد آدم (pada hari Jum’at dilahirkan Adam), yang dalam pernyataan di atas tertulis “…kemulian hari Jum’at dengan kelahiran Adam”.

Ini adalah bentuk kebohongan yang nyata atas Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah  bersabda:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa yang sengaja berbohong atas (nama)ku, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka.[5]

Keempat. Tidak diragukan bahwa hari Jum’at adalah hari yang mulia di sisi Allâh, akan tetapi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan hari tersebut dengan sesuatu amalan sunnah apapun, bahkan beliau telah melarang mengkhususkan siangnya dengan puasa dan malamnya dengan qiyamul-lail (tahajjud), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhnu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَخُصُّوا لَيْلَة الْجُمْعَة بِقِيَامٍ مِنْ بَيْن اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْم الْجُمْعَة بِصِيَامٍ مِنْ بَيْن الْأَيَّام , إِلَّا أَنْ يَكُون فِي صَوْم يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ  رواه مسلم.

Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at dengan qiyamul-lail diantara malam-malam yang lain, dan jangan pula kalian khususkan hari Jum’at dengan puasa diantara hari-hari yang lain, kecuali apabila seorang berpuasa pada hari itu.[6]

Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan hari Jum’at –sedangkan hari itu adalah hari yang mulia- dengan sesuatu dari amalan-amalan sunat disebabkan Adam diciptakan pada hari tersebut, bahkan melarang mengkhususkannya dengan ibadah tertentu. Dari sisi mana para pelaku bid’ah peringatan maulid Nabi berdalil dengan kemulian hari Jum’at untuk meligitimasi ritual peringatan hari kelahiran Nabi? Demikian ini bentuk analogi yang batil, dan sisi pendalilannya pun sangat rancu.

Kelima. Sebagaimana dimaklumi tentang prinsip agama Aslam, bahwa landasan ibadahnya adalah wahyu, bukan akal, logika atau pun bid’ah. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan hari kelahirannya dengan sesuatu apapun dalam hal amal shalih dan ibadah, maka tentu seseorang juga tidak dibolehkan mengada-adakan amalan (ritual) yang tidak diijinkan oleh Allâh dan tidak diamalkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hal itu merupakan perbuatan bid’ah yang tertolak. Sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ .. وَفِي رِوَايَةٍ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak.[7]

Dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak berlandaskan perintah kami, maka ia tertolak (tidak diterima).“[8]

(Dringkas dari Syubhat Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, DR Muhammad Nur Ihsan MA)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote

[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf (2/120, no. 7.545).

[2] Ibid, (2/151, no. 7.550).

[3] Kitab al-Bida’ wan-Nahyu ‘anha, hlm. 88.

[4] HR Abu Dawud (no. 1.047) dan Ibnu Majah (no. 1.085).

[5] HR Bukhâri (no. 107), dan Muslim (no. 3).

[6] HR Muslim, no. 1.144.

[7] HR Bukhâri (no. 2.697) dan Muslim (no. 1.718).

[8] HR Muslim, no. 1.718.

@Sumber : Almanhaj.or.id

PERAYAAN MAULID DENGAN ALASAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM BERPUASA PADA HARI SENIN YANG MERUPAKAN HARI KELAHIRANNYA



Para pengusung peringatan maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, bahwa diantara alasan peringatan maulid adalah karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mementingkan berpuasa pada hari kelahirannya, yaitu setiap hari Senin seperti yang diriwayatkan oleh Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu :

عَنْ اَبِيْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ اْلِاثْنَيْنِ ؟ فَقاَلَ ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ اَوْ اٌنْزلَ عَلَيَّ فِيْهِ

Dari Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu , sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Senin, maka beliau menjawab: “Hari Senin adalah hari lahirku, hari aku mulai diutus, atau hari mulai diturunkannya wahyu”. [HR Muslim].

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “yauma wulidtu fihi” (itu adalah hari aku dilahirkan) adalah kalimat yang menekankan betapa hari tersebut sangat berharga bagi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau berpuasa pada hari itu. Meskipun tidak ada perintah langsung dari Rasûlullâh mengenai penghormatan tersebut, tetapi bagi umat yang tahu diri, tentu hadits tersebut telah cukup menjadi tanda.

Jawaban :

Menjawab syubhat tersebut, berikut ini adalah bantahan dari beberapa sisi.

Sisi Pertama:

Apabila maksud diadakannya maulid adalah merealisasikan rasa syukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat kelahiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka seharusnya rasa syukur itu diwujudkan dengan puasa sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersyukur kepada Rabbnya. Sehingga dengan dasar ini, kita hendaklah berpuasa pada hari Senin tersebut sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpuasa. Dan apabila ditanya kenapa? Jawabnya ialah hari Senin merupakan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami berpuasa padanya sebagai tanda syukur kepada Allâh Azza wa Jalla. Namun ini, berbeda dengan mereka yang melakukan maulid karena mereka tidak berpuasa pada hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , justru makan-makan.

Sisi Kedua:

Jika puasa yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tiap hari Senin dan Kamis itu sebagai alasan maulid, maka itu tidak tepat, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan puasa pada hari lahirnya tanggal 12 Rabi’ul-Awwal saja, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpuasa pada hari Senin yang berulang sebanyak empat atau lima kali dalam sebulan. Berdasarkan ini, maka melakukan puasa khusus pada tanggal 12 Rabi’ul-Awwal saja tanpa hari Senin lainnya merupakan penambahan dalam syari’at.

Seandainya tujuan utama puasa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu pada hari Senin untuk mengagungkan hari kelahirannya, niscaya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan merayakannya setiap tahun. Namun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan hal itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa setiap pekan pada hari Senin dan juga pada Kamis, kemudian hari Arafah, enam hari bulan Syawal. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, juga Muharram.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengkhususkan hari kelahirannya dengan melakukan ibadah tertentu. Ini menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap hari kelahirannya dan hari-hari lainnya memiliki kedudukan yang sama. Sehingga berdalil dengan puasa pada hari Senin untuk membenarkan maulid, sungguh amat jauh dan terkesan dibuat-buat.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sungguh telah ada pada diri Rasul suri tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Allâh dan hari akhir dan dia banyak menyebut Allâh. [al-Ahzâb/33:21]

Mengikuti Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudnya adalah berpegang teguh dengan petunjuk-petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi segala yang diada-adakan oleh para pelaku bid’ah, diantaranya yaitu bid’ah maulid, karena tidak pernah dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Yang Ketiga:

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan alasan mengapa beliau berpuasa pada hari Senin dan Kamis, yaitu karena pada kedua hari itu amalan-amalan bani Adam diperlihatkan kepada Allâh Azza wa Jalla , dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka saat amalnya diperlihatkan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sedang berpuasa. Dalam hadits Abi Hurairah Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَومَ الإثْنَيْنِ وَالخَمِيسِ ، فَأُحِبُّ أنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأنَا صَائِمٌ  

Semua amalan akan diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis; dan aku suka bila amalku diperlihatkan sedangkan aku dalam keadaan sedang berpuasa.

Juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang jayyid, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam paling sering berpuasa pada hari Senin dan Kamis, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, maka beliau menjawab, “Sesungguhnya semua amalan diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis, atau setiap hari Senin dan Kamis.

Jadi, alasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Senin dan Kamis ialah sebagaimana termaktub pada dua hadits di atas merupakan bantahan telak bagi orang yang berdalil dengan puasa pada hari Senin untuk membolehkan perayaan maulid.

Yang Keempat:

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tatkala berpuasa pada hari Senin sebagai tanda bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat kelahiran juga nikmat penobatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang Rasul kepada seluruh manusia, apakah juga melakukan perayaan lainnya disamping berpuasa ? Tentu jawabannya tidak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berpuasa saja.

Lantas, apakah umatnya tidak merasa cukup dengan sesuatu yang telah dirasa cukup bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Orang yang berakal tidak akan mampu mengatakan “tidak cukup“. Akan tetapi, kenapa menambah dan mengada-adakan syari’at yang baru, padahal Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa-apa yang Rasul berikan pada kalian maka ambillah, dan apapun yang Rasul larang darinya maka janganlah kalian dekati. [al-Hasyr/59:7].

Firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian bersikap lancang di hadapan Allâh dan Rasul-Nya, bertakwalah kepada Allâh, sesungguhnya Allâh Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. [al-Hujurât/49:1].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

 إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Maka jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan, setiap perkara yang diada-adakan merupakan perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan. [HR Ahmad no. 17184,17185. Abu Dawud no.4607]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 إِنَّ اللَّهَ حَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا وَفَرَضَ لَكُمْ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا وَتَرَكَ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَكِنْ رَحْمَةٌ مِنْهُ لَكُمْ فَاقْبَلُوهَا وَلَا تَبْحَثُوا فِيهَا

Sesungguhnya Allâh telah menentukan batasan-batasan maka janganlah kalian melanggarnya; dan Allâh telah mewajibkan kepada kalian kewajiban-kewajiban maka janganlah kalian sia-siakan; Allâh juga mengharamkan banyak hal maka janganlah kalian lakukan, dan Allâh diam dari beberapa hal bukan karena lupa akan tetapi itu merupakan kasih-sayang-Nya kepada kalian maka terimalah dan jangan kalian cari (menyibukkan diri dengannya). [Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir, diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dan beliau shahîhkan, dari Abi Tsa’labah al-Khusani Radhiyallahu anhu].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

@Sumber : Almanhaj.or.id

SEBAB KETERBELAKANGAN KAUM MUSLIMIN KARENA KOMITMEN TERHADAP AGAMA?



Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian orang yang lemah imannya mengklaim bahwa sebab keterbelakangan kaum muslimin adalah karena komitmen mereka terhadap agama. Syubhat yang mereka lemparkan menurut klaim tersebut bahwa tatkala orang-orang Barat tidak meninggalkan seluruh agama dan terbebas dari kungkungannya, sampailah mereka kepada kondisi sekarang ini, yaitu kemajuan peradaban sementara kita karena komitmen terhadap agama masih saja mengekor terhadap mereka, bukannya sebagai orang yang dipanuti. Bagaimana mementahkan tuduhan-tuduhan semacam ini? Barangkali mereka menambahkan lagi satu syubhat lainnya, yaitu ada hujan yang lebat turun di sana, hasil-hasil pertanian dan bumi yang subur menghijau. Mereka mengatakan, ini merupakan bukti kebenaran ajaran mereka.

Jawaban
Kita katakan, bahwa sesungguhnya pertanyaan semacam ini hanyalah bersumber dari penanya yang lemah imannya atau tidak memiliki iman sama sekali, jahil terhadap realitas sejarah dan tidak mengetahui faktor-faktor kemenangan. Justru, ketika umat Islam komitmen terhadap agama pada periode permulaan Islam, mereka memiliki ‘Izzah (kemuliaan diri), Tamkin (mendapatkan posisi yang mantap), kekuatan dan kekuasaan di seluruh lini kehidupan.

Bahkan sebagian orang berkata, “Sesungguhnya orang-orang Barat belum mampu menimba ilmu apapun kecuali dari ilmu-ilmu yang mereka timba dari kaum muslimin pada periode permulaan Islam.”

Akan tetapi umat Islam malah banyak terbelakang dari ajaran diennya sendiri dan mengada-adakan sesuatu di dalam Dienullah yang sebenarnya tidak berasal darinya baik dari sisi akidah, ucapan dan perbuatan. Karena hal itulah, mereka benar-benar mengalami kemunduran dan keterbelakangan.

Kita mengetahui dengan seyakin-yakinnya dan bersaksi kepada Allah Subhanhu wa Ta’ala bahwa andaikata kita kembali kepada manhaj yang dulu pernah diterapkan oleh para pendahulu kita dalam dien ini, niscaya kita akan mendapatkan ‘Izzah, kehormatan dan kemenangan atas seluruh umat manusia. Oleh karena itulah, tatkala Abu Sufyan menceritakan kepada Heraklius, kaisar Romawi yang ketika itu kekaisaran Romawi dianggap sebagai negara adidaya- perihal ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dia mengomentari : “Jika apa yang kamu katakan mengenai dirinya ini benar, maka berarti dia adalah seorang Nabi dan sungguh, kekuasaannya akan mencapai tempat di bawah kedua kakiku ini. ” Dan tatkala Abu Sufyan dan para rekannya berpaling dari sisi Heraklius, dia berkata : “Urusan si Ibn Kabsyah [1] ini sudah menjadi besar, sesungguhnya Raja Bani al-Ashfar (sebutan Quraisy terhadap orang Romawi) gentar terhadapnya.”[2]

Sedangkan mengenai kemajuan di bidang industri, teknologi dan sebagainya yang dicapai di negara-negara Barat yang kafir dan atheis itu, tidaklah agama kita melarang andaikata kita meliriknya akan tetapi sangat disayangkan kita sudah menyia-nyiakan ini dan itu, menyia-nyiakan agama kita dan juga menyia-nyiakan kehidupan dunia kita. Sebab bila tidak, sesungguhnya dien Islam tidak menentang adanya kemajuan seperti itu bahkan dalam banyak ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuhmu.” [Al-Anfal/8 : 60]

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizkiNya.” [Al-Mulk/67 :15].

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” [Al-Baqarah/2:29]

وَفِي الْأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ

“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan. ” [Ar-Ra’d/13 : 4]

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang mengajak secara terang-terangan kepada manusia agar berusaha dan bekerja serta mengambil manfaat akan tetapi bukan dengan mempertaruhkan agama. Kaum kafir tersebut pada dasarnya adalah kafir, agama yang di-klaim juga adalah agama yang batil. Jadi kekufuran dan atheistik padanya sama saja, tidak ada perbedaannya. Dalam hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ

“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. ” [Ali Imran/3: 85]

Jika Ahli Kitab yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan Nashrani memiliki sebagian keunggulan yang tidak sama dengan orang-orang selain mereka akan tetapi mereka sama saja bila dikaitkan dengan masalah akhirat kelak, oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersumpah bahwa tidaklah umat Yahudi atau Nashrani tersebut yang mendengar (dakwah) beliau kemudian tidak mengikuti ajaran yang beliau bawa melainkan ia termasuk penghuni neraka. Jadi, sejak awal mereka itu adalah kafir, baik bernisbah kepada Yahudi ataupun Nashrani bahkan sekalipun tidak bernisbah kepada keduanya.

Sementara adanya banyak curahan hujan dan selainnya yang mereka dapatkan, hal ini hanya sebagai cobaan dan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah memang menyegerakan bagi mereka anugerah kenikmatan-kenikmatan di dalam kehidupan duniawi sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar bin Al-Khaththab tatkala dia melihat beliau lebih mengutamakan tidur beralaskan tikar sehingga membuat Umar menangis. Dia berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang Persi dan Romawi hidup bergelimang kenikmatan sementara engkau dalam kondisi seperti ini?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

 أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَـهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْـحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Masih ragukah engkau wahai Ibn al-Khaththab? Mereka itu kaum yang memang disegerakan untuk mendapatkan kenikmatan-kenikmatan di dalam kehidupan duniawi.” [3]

Kemudian mereka juga ditimpa musibah kelaparan, malapetaka-malapetaka, gempa dan angin-angin topan yang meluluhlantakkan sebagaimana yang diketahui bersama dan selalu disiarkan di radio-radio, koran-koran dan sebagainya.

Akan tetapi orang yang mempertanyakan seperti ini buta. Allah telah membutakan penglihatannya sehingga tidak mengetahui realitas dan hakikat yang sebenarnya. Nasehat saya kepadanya agar dia bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari pandangan-pandangan seperti itu sebelum ajal dengan tiba-tiba menjemputnya. Hendaknya dia kembali kepada Rabb-nya dan mengetahui bahwa kita tidak akan mendapatkan ‘Izzah, kehormatan, kemenangan dan kepemimpinan kecuali bila kita telah kembali kepada dien al-Islam, kembali dengan sebenar-benarnya yang diimplementasikan melalui ucapan dan perbuatan. Dia juga hendaknya mengetahui bahwa apa yang dilakukan orang-orang Kafir itu adalah batil, bukan Haq dan tempat mereka adalah neraka, sebagaimana yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melalui lisan RasulNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pertolongan berupa nikmat banyak yang dianugerahkan Allah kepada mereka tersebut hanyalah cobaan, ujian dan penyegeraan kenikmatan, hingga bilamana mereka telah binasa dan meninggalkan kenikmatan-kenikmatan ini menuju Neraka Jahim, barulah penyesalan, derita dan kesedihan akan semakin berlipat bagi mereka. Ini semua merupakah hikmah Allah dengan memberikan kenikmatan kepada mereka padahal mereka sebagaimana telah saya katakan tadi, tidak akan selamat dari bencana-bencana, gempa, kelaparan, angin topan, banjir dan sebagainya yang menimpa mereka.

Saya memohon kepada Allah agar orang yang mempertanyakan ini mendapatkan hidayah dan taufiq, mengembalikannya ke jalan yang haq dan memberikan pemahaman kepada kita semua terhadap dien ini, sesungguhnya Dia Mahakaya lagi Mahamulia. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad Wa ‘Ala Alihi Wa Ala Ashhabihi Ajma ‘in.

(Alfazh Wa Mafahim Fi Mizan asy-Syari’ah, h.4-9, dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin)

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
_______
Footnote
[1]. Ibn Kabsyah adalah salah seorang dari suku Khuza’ah yang menyembah sesuatu yang bertentangan dengan ibadah bangsa Arab karenanya Abu Sufyan menjuluki Rasulullah demikian, karena beliau juga mengingkari dari apa yang mereka anut, pent.
[2]. HR. Al-Bukhari, Bad’ul Wahyi (7) al-Jihad (2941); Muslim, al-Jihad (1773).
[3]. HR. Al-Bukhari, Al-Mazhalim (2467), An-Nikah (5191).

@Sumber : Almanhaj.or.id

HUKUM TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI ADANYA KEHIDUPAN AKHIRAT



Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum terhadap orang yang mengingkari kehidupan akhirat dan mengklaim bahwa hal itu hanyalah khurafat yang ada pada abad-abad pertengahan? Dan bagaimana membungkam argumentasi mereka?

Jawaban.
Barangsiapa yang mengingkari kehidupan akhirat dan mengklaim bahwa hal itu merupakan khurafat yang ada pada abad-abad pertengahan, maka dia kafir. Hal ini berdasarkan firman-firman Allah berikut:

1. FirmanNya.

وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ﴿٢٩﴾وَلَوْ تَرَىٰ إِذْ وُقِفُوا عَلَىٰ رَبِّهِمْ ۚ قَالَ أَلَيْسَ هَٰذَا بِالْحَقِّ ۚ قَالُوا بَلَىٰ وَرَبِّنَا ۚ قَالَ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

“Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), ‘Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, da kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan.’ Dan seandainya kamu melihat ketika mereka dihadapkan kepada Rabbnya (tentulah kamu melihat peristiwa yang meng-harukan). Berfirman Allah,’ Bukankah (kebangkitan) itu benar,’ Mereka menjawab,’ Sungguh benar, demi Rabb kami.’ Berfirman Allah, ‘Karena itu rasakanlah adzab ini, disebabkan kamu mengingkari(nya) ” [Al-An’am/6:29-30]

2. FirmanNya.

وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ ﴿١٠﴾ الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ ﴿١١﴾ وَمَا يُكَذِّبُ بِهِ إِلَّا كُلُّ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ ﴿١٢﴾ إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ ﴿١٣﴾ كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ ﴿١٤﴾ كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ ﴿١٥﴾ ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُو الْجَحِيمِ ﴿١٦﴾ ثُمَّ يُقَالُ هَٰذَا الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُونَ

“Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. (yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan. Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampui batas lagi berdosa. yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu.” Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. Kemudian, dikatakan (kepada mereka), ‘ Inilah adzab yang dahulu selalu kamu dustakan’.” [Al-Muthaffifin/83 :10-17]

3. FirmanNya.

بَلْ كَذَّبُوا بِالسَّاعَةِ ۖ وَأَعْتَدْنَا لِمَنْ كَذَّبَ بِالسَّاعَةِ سَعِيرًا

“Bahkan mereka mendustakan hari kiamat. Dan Kami sediakan neraka yang menyala-nyala bagi siapa yang mendustakan hari kiamat.” [Al-Furqan/25 : 11].

4. FirmanNya.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَلِقَائِهِ أُولَٰئِكَ يَئِسُوا مِنْ رَحْمَتِي وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmatKu, dan mereka itu mendapat adzab yang pedih. ” [Al-Ankabut/29 : 23]

Sedangkan untuk membungkam argumentasi mereka yang mengingkari tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sesungguhnya riwayat tentang perkara kebangkitan sudah dinukil secara mutawatir oleh para Nabi dan Rasul di dalam kitab-kitab Ilahi dan syari’at-syari’at langit serta telah diterima secara meluas oleh umat-umat mereka. Bagaimana mungkin kalian mengingkarinya sementara kalian malah membenarkan riwayat yang dinukil para filosof atau pemilik suatu aliran atau prinsip tertentu kepada kalian sekalipun informasi tentang hal itu tidak mencapai tingkatan informasi mengenai perkara kebangkitan, baik dari aspek sarana periwayatannya ataupun persaksian realitas.

2. Sesungguhnya perkara kebangkitan dapat diterima oleh akal. Hal itu ditinjau dari beberapa aspek,

a. Setiap orang tidak ada yang mengingkari bahwa makhluk diciptakan dari tidak ada dan bahwa ia baru terjadi dari tidak terjadi. Maka tentunya, bahwa Yang menciptakan dan menjadikannya ada setelah tidak ada juga mampu mengembalikannya (menghidupkannya) kelak adalah lebih berhak lagi. Hal ini sebagaimana firmanNya,

وَهُوَ الَّذِي يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ

“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkannya kembali itu adalah lebih mudah bagiNya.” [Ar-Rum/30 : 27]

Dan firmanNya.

كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ ۚ وَعْدًا عَلَيْنَا ۚ إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” [Al-Anbiya/21 : 104]

b. Setiap orang tidak ada yang mengingkari keagungan penciptaan langit dan bumi karena bentuk keduanya yang besar dan pembuatannya yang demikian indah. Maka tentunya, bahwa Yang menciptakan keduanya juga mampu mengembalikannya (seperti semula) adalah lebih berhak lagi. Sebagaimana firman-firmanNya.

لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia.” [Ghafir/40 : 57]

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَمْ يَعْيَ بِخَلْقِهِنَّ بِقَادِرٍ عَلَىٰ أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَىٰ ۚ بَلَىٰ إِنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, kuasa menghidupkan orang-orang mati Ya (bahkan) sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. ” [Al-Ahqaf/46 : 33]

أَوَلَيْسَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِقَادِرٍ عَلَىٰ أَنْ يَخْلُقَ مِثْلَهُمْ ۚ بَلَىٰ وَهُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيمُ ﴿٨١﴾ إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

“Dan Tidaklah Rabb yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencita lagi Maha Mengetahui, Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah! ‘ maka terjadilah ia.” [Yasin /: 81-82].

c. Setiap orang yang memiliki pengetahuan menyaksikan bumi yang kering dan tumbuh-tumbuhannya mati, lalu turun hujan menyiraminya sehingga menjadi subur dan tumbuh-tumbuhan hidup kembali setelah mati. Yang Mahakuasa untuk menghidup-kannya setelah ia mati adalah juga Yang Mahakuasa untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati dan membangkitkannya. Allah Subanahu wa Ta’ala berfirman.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ ۚ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۚ إِنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya (Rabb) Yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” [Fushshilat /41: 39]

3. Sesungguhnya perkara kebangkitan dapat dirasakan oleh fisik dan realitas terhadap kejadian-kejadian hidup kembalinya orang-orang yang sudah mati. Di dalam surat Al-Baqarah, Allah menyinggung lima kejadian, yaitu firmanNya,

أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَىٰ قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىٰ يُحْيِي هَٰذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۖ فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ ۖ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۖ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۖ قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَىٰ طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۖ وَانْظُرْ إِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِلنَّاسِ ۖ وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا ۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“ Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang-orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh’ Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, ‘Berapakah lamanya kamu tinggal disini?’ la menjawab, ‘Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari. ‘ Allah berfirman, ‘ Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupnya kembali dengan daging. ‘ Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata, ‘Saya yakin bakwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” [Al-Baqarah/2 : 259]

4. Sesungguhnya hikmah menuntut adanya kebangkitan setelah kematian agar setiap jiwa mendapatkan balasan perbuatannya sebab bila tidak demikian, maka tentunya penciptaan manusia akan menjadi sia-sia, tidak ada nilainya, tidak ada hikmahnya serta tidak akan ada perbedaan antara manusia dan binatang-binatang di dalam kehidupan duniawi ini. Hal ini sebagaimana firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut.

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ ﴿١١٥﴾ فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

“ Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya;tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy Yang Mulia. [Al-Mu’minun/ : 115-116]

إِنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَىٰ

“Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.” [Thaha/20 : 15]

وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ ۙ لَا يَبْعَثُ اللَّهُ مَنْ يَمُوتُ ۚ بَلَىٰ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٣٨﴾ لِيُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي يَخْتَلِفُونَ فِيهِ وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّهُمْ كَانُوا كَاذِبِينَ ﴿٣٩﴾ إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh, ‘Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.’ (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitkan-nya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. Agar Allah menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, dan agar orang-orang kafir itu mengetahui bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, ‘Kun (jadilah) Maka jadilah ia.” [An-Nahl/16 : 38-40]

زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا ۚ قُلْ بَلَىٰ وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ ۚ وَذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah, ‘Tidak demikian, demi Rabb-ku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [At-Taghabun/64 : 7]

Maka, bila anda telah menjelaskan argumentasi-argumentasi ini kepada para pengingkar adanya hari kebangkitan namun mereka terus ngotot dengan hal itu, berarti mereka itu adalah orang-orang sombong lagi pembangkang. Dan, orang-orang yang berbuat kezhaliman akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.

(Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Syaikh ibn Utsaimin, Juz.11, hal. 22-25)

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

@Sumber : Almanhaj.or.id

BERDIALOOG DENGAN PEMELUK AGAMA LAIN [1]



Oleh

Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan

Segala puji bagi Allâh Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Muhammad; Penutup para Nabi. Juga atas keluarga dan semua sahabat. Wa ba’du;

Dewasa ini, telah muncul fenomena dialog antara kelompok-kelompok yang berseberangan. Dialog bersama orang yang berseberangan itu sendiri, bila tujuannya untuk menjelaskan kebenaran dan menampik kebathilan, maka merupakan suatu hal yang diperlukan dan disyariatkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Katakanlah, “Hai Ahli Kitab! Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allâh dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allâh.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allâh).” [Ali Imrân/3: 64]

Jadi, kita mengajak mereka menuju tauhid, yaitu beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla semata, dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Tidak cukup hanya sekedar mengakui rububiyyah Allâh saja. Kemudian setelah menjelaskan kebenaran, pihak penentang yang bersikeras pada kebathilannya diajak untuk mubâhalah; yaitu mendoakan laknat atasnya (atas yang bersikeras memegang kebathilannya). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubâhalah kepada Allâh dan kita minta supaya la’nat Allâh ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. [Ali Imrân/3:61]

Namun, bila maksud dari dialog antara kita dengan pihak yang menyelisihi kita dalam masalah akidah ini adalah agar kita menerima sebagian dari kebatilannya, atau agar kita rela berlepas dari sebagian kebenaran yang kita yakini, maka ini adalah hal yang batil. Sebab ini adalah bentuk mudâhanah (bersikap lembut dengan mengorbankan agama dan membiarkan kebathilan). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). [Al-Qalam/68:9]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

أَفَبِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَنْتُمْ مُدْهِنُونَ

Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Quran ini? [Al-Wâqi`ah /56: 81]

Namun terkait intraksi, maka tidak ada penghalang (tidak ada masalah) bagi kita untuk berinteraksi secara adil dengan orang yang menyelisihi akidah kita dalam batasan kemaslahatan duniawi. Tidak mengapa bila kita berbuat baik kepada mereka yang tidak berbuat buruk, sebagaimana Allâh firmankan:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allâh tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berlaku adil. [Al-Mumtahanah/60:8]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. [Al-Ma’idah / 5:8]

Kita juga harus memberikan apa yang menjadi janji kesepakatan dengan kafir mu’âhad[2] dan memberikan jaminan aman kepada kafir musta’man.[3] Kita menghormati darah dan hartanya sebagaimana kita menghormati darah dan harta kaum Muslimin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Barangsiapa yang membunuh seorang mu’âhad, ia tidak mencium aroma surga. Dan sesungguhnya aroma surga benar-benar bisa didapati dari jarak perjalanan 40 tahun. [HR. Al-Bukhâri, no. 3166]

Ini adalah perkara yang sudah menjadi ketetapan dalam syariat Islam; tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil atau yang keras kepala.

Untai kata ini yang singakat ini, saya maksudkan untuk membantah dua kelompok manusia:

Pertama: yang mengingkari kebolehan berinteraksi dengan orang yang berseberangan dalam akidah secara mutlak.

Kedua: kelompok yang lembek (suka menggampangkan dalam masalah agama), yaitu mereka memandang bahwa tidak ada perbedaan antara para pengikut akidah yang sahih dan pengikut akidah yang batil; yaitu paham yang turut memandang pada pendapat lain (bahwa itu ada benarnya).

Dan sudah menjadi kewajiban kita untuk berhati-hati terhadap prinsip-prinsip batil ini.

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, [Ali –Imrân/3:85]

Yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan di atas jalan tersebut para Sahabat berjalan juga  tabi`in serta ahlussunnah sepeninggal mereka. Yang dimaksudkan bukanlah Islam yang dibuat-buat (direkayasa) yang menyelisihi apa yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah yang ingin saya jelaskan.

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ 

Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. [Hud / 11: 88]

Dan yang kami maksudkan dengan orang yang berseberangan dengan kita dalam akidah adalah setiap orang yang memilih agama selain Islam. Kita tidak rela selain al-Quran dan as-Sunnah menjadi dalil petunjuk kita. Kita tidak rela selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri tauladan kita. Allâh berfirman:

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allâh agar kamu bertakwa. [Al-An’âm / 6:153]

Kita tidak bisa menerima perbuatan mencampur-adukkan, menjilat, dan bersikap nifaq.

Semoga shawalat dan salam tercurah atas Nabi kita Muhammad, dan juga keluarga dan sahabatnya sekalian.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diterjemahkdan dari Al-Bayân Li Akhthâ’i Ba`dhil Kuttâb karya Syaikh Shalih Al-Fauzan cet. Pertama Dâr Ibnil Jauzi 3/50.

[2] Kafir mu`âhad yaitu kafir yang ada perjanjian damai dengan kaum muslimin untuk tidak saling berperang dalam rentang waktu tertentu.

[3] Musta’man yaitu mereka yang masuk ke Negara Islam dengan jaminan keamanan.

@Sumber : Almanhaj.or.id