Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum mengikuti para ulama atau umara dalam hal menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah atau sebaliknya ?
Jawaban.
Mengikuti para ulama atau umara di dalam hal menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah atau sebaliknya terbagi kepada tiga klasifikasi.
Klasifikasi Pertama.
Mengikuti mereka dalam hal itu sementara dirinya rela terhadap ucapan mereka, mendahulukannya dan mendongkol terhadap hukum Allah. Orang yang melakukan ini adalah kafir karena telah membenci apa yang diturunkan Allah, dan benci terhadap ayang yang diturunkan Allah adalah suatu kekufuran. Hal ini berdasarkan firman Allah.
“Artinya : Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kapada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”.[Muhammad : 9]
Semua perbuatan tidak akan dihapuskan kecuali karena kekufuran. Oleh karena itu, setiap orang yang membenci apa yang diturunkan Allah, maka dia telah menjadi Kafir.
Klasifikasi Kedua.
Mengikuti mereka dalam hal itu sementara dirinya hanya rela terhadap hukum Allah dan mengetahui benar bahwa ia adalah lebih utama dan lebih sesuai dengan bagi para hamba dan negeri akan tetapi karena mengikuti hawa nafsunya, dia kemudian mengikuti mereka dalam hal itu. Maka, orang seperti itu tidak kafir akan tetapi fasiq. Jika dipertanyakan, kenapa dia tidak kafir ?
Jawabnya, karena dia tidak menolak hukum Allah akan tetapi rela terhadapnya namun dia menentangnya karena mengikuti hawa nafsunya. Maka dia sama seperti para pelaku perbuatan maksiatnya.
Klasifikasi Ketiga
Mengikuti mereka karena ketidaktahuannya. Dia mengira bahwa hal itu adalah sesuai dengan hukum Allah. Kondisi seperti ini terbagi lagi kepada dua klasifikasi lainnya :
Pertama : Memungkinkan bagi dirinya untuk mengetahuinya. Maka dalam hal ini dia adalah seorang yang melampaui batas ataupun teledor dan berdosa atas hal itu sebab Allah memerintahkan agar bertanya kepada para ulama ketika tidak tahu.
Kedua : Dia tidak mengetahuinya dan tidak memungkinkan bagi dirinya sendiri untuk mengetahui mana yang benar sehingga dia mengikuti mereka dengan tujuan taqlid. Dia mengira bahwa hal itulah yang haq, maka dia tidak berdosa sebab dia sudah melakukan apa yang diperintahkan kepadanya dan karenanya udzurnya diterima (secara syar’i). Oleh karena itu terdapat hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi.
“Artinya : Barangsiapa yang diberi fatwa tanpa ilmu, maka dosanya (dipikul oleh) orang yang memberikan fatwa kepadanya”. [Hadits Riwayat Abu Daud, kitab Al-Ilm 3657, Ibn Majah semisalnya dalam Mukaddimah 53 dan Ad-Darimi dalam Mukaddimah juga 159]
Andaikata kita katakan terhadap hal di atas, bahwa dia berdosa karena kesalahan orang lain, maka konsekuensinya adalah timbulnya kesulitan dan kesukaran (dan hal ini tidak mungkin terjadi dalam dien ini sebab dien ini telah menghapus kesulitan bagi pemeluknya, -pent). Akibatnya, tidak ada manusia yang menaruh kepercayaan lagi kepada siapapun karena sangat dimungkinkan dia melakukan kesalahan.
[Al-Majmu Ats-Tsamin, Juz II, hal 129-130, dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
@Sumber Almanhaj.or.id
Post a Comment